Cerpen – Berkat Kue Cokelat by Aisyah Yasmin

Cerpen - Berkat Kue Cokelat by Aisyah Yasmin

Malam itu adalah kali pertama pertemuan kita. Di depan toko kue dengan temaram lampu pinggir jalan yang menjadi cahayanya, kamu memberiku kue karena aku sedang menangis. Masih kuingat betul rupa suasana waktu itu. Saat itu usiaku masih sembilan belas tahun, dan kondisi yang kacau tak memberiku kekuatan untuk hidup kembali, tapi kue cokelat manis yang kamu berikan entah mengapa membuat semua yang kacau mulai hilang dan harapan muncul malam itu juga.

Cerpen – Berkat Kue Cokelat by Aisyah Yasmin

Kupikir kisah suksesku saat ini berawal dari sana, dari toko kue yang tak seluas restoran di sampingnya. Kamu adalah lelaki yang dengan tulusnya mengulurkan tangan padaku di saat aku kehilangan semuanya. Saat tangisku makin menjadi, kamu berikan punggungmu agar aku bisa bersandar tanpa merasa malu.

“Kalau sudah selesai, silakan dimakan kuenya. Setelah itu aku akan menutup tokonya.”

Aku hanya mengangguk dalam diam.

Setelah memakan kue itu, mau tak mau aku harus kembali ke rumah, tempat yang seharusnya ramai dan dipenuhi tawa hari ini karena ulang tahunku kesembilan belas. Tetapi, semuanya menjadi kacau. Ayahku, orang satu-satunya yang merayakan denganku, mengalami kecelakaan di persimpangan jalan. Beliau meninggal dengan kue cokelat di tangannya.

Keesokan harinya aku harus mengurus seluruh pemakaman Ayah. Para bibi, yang sedari kecil tak pernah kukenal wajahnya, datang membawa bunga sekaligus pengakuan yang mungkin membuatku lega karena aku tidak sendiri, tapi entah mengapa juga memberi rasa sakit secara bersamaan. Di tengah pemakaman berlangsung, kamu datang dengan kue cokelat kecil dan memberikannya padaku.

“Saya turut berdukacita.” Lalu kamu pergi dengan cepat.

Sejak saat itu, setiap aku rindu pada Ayah atau saat aku merasakan sulit dalam menjalani semua ini, aku akan datang ke toko kuemu dan memesan kue cokelat kecil. Saat di sana, sesekali aku memperhatikanmu, tapi sepertinya kamu sangat sibuk hingga tidak menghampiriku atau hanya sekadar menyapaku.

Waktu berlalu dengan cepat, tak kusangka ini adalah ketiga tahunku mengunjungi toko kuemu. Hari ini tak ada tanda-tanda kamu akan datang. Entah mengapa rasanya toko kue ini tiba-tiba menjadi kosong. Sungguh, aku tak pernah berharap apa-apa selain melihatmu berdiri dengan seragam koki andalanmu dan dengan lincahnya melayani para pelanggan. Aku yang dulu tak pernah menyadari bahwa ada perasaan yang diam-diam terselip di hatiku.

Sesampainya di rumah, aku tak berhenti berpikir mengapa kamu tak datang ke toko. Di pertengahan, pikiran buruk terus saja muncul. Prasangka yang bahkan terdengar konyol hampir menyelimutiku. Tapi, untungnya, semua dapat cepat kutepis.

Pikiranku masih tenggelam olehmu, pria tinggi yang umurnya jika dilihat tak akan jauh dengan umurku, muda, serta memiliki wajah cerah dan senyum yang ramah. Tapi, setelah kupikir-pikir lagi, kalimat dukacita untuk Ayah adalah kalimat terkahirmu yang diucapkan padaku. Lebih tepatnya, selama ini kamu hanya mengucapkan dua kalimat untukku. Itu adalah kalimat yang kuingat selain tawaranmu saat di toko.

Malam ini mungkin tidurku tak akan senyenyak kemarin dan kemarinnya lagi, karena aku tak melihatmu di toko. Tapi, tak apa, aku bisa mengingatmu dengan jelas. Wajahmu adalah wajah yang kuingat setelah wajah Ayah agar aku tak merasa sendiri.

Hari ini aku tidak bisa ke toko kue itu, karena tiba-tiba saja pekerjaanku bertambah. Sepertinya aku akan lembur hari ini. Kesal rasanya karena tak bisa mengunjungimu sekaligus memesan kue cokelat. Tetapi, mau bagaimana lagi, hanya kantor perusahaan ini yang mau menerima aku dengan segala kekuranganku. Keberlangsungan hidupku tiga tahun ini juga kudapat dari kantor ini.

Sesudah mengerjakan pekerjaan, aku bergegas pulang dan tentu saja melewati jalur menuju tokomu. Tapi, seperti dugaanku, di sana sudah sangat sepi. Tinggallah kasir yang ada di sana dengan beberapa pegawai yang berjaga malam. Karena aku adalah pelanggan tetap tokomu, mereka memperbolehkan aku mampir dan memberiku segelas kopi hangat dengan secarik surat yang tulisannya kata mereka adalah tulisan tanganmu. Kurang lebih isinya begini.

Hai, Rin. Sebelumnya, perkenalkan namaku Taruna Suryadi. Panggil saja aku Aru. Kamu pasti bertanya-tanya dari mana aku mengenalmu. Itu adalah saat ayahmu memesan kue untukmu yang kelima belas. Beliau suka bercerita tentangmu, dan kita menjadi dekat karenamu, Rin.

Terima kasih sudah memberiku sosok ayah yang bahkan tak pernah datang di saat-saat pentingku. Aku tak tahu apakah namamu hanya Rin, atau ayahmu yang usil memberitahuku dengan hanya memanggilmu si Rin.

Maaf jika selama tiga tahun ini kamu merasa seperti diabaikan olehku, padahal sudah jelas betul aku memberimu perhatian dan harapan malam itu. Aku hanya terlalu malu dan takut untuk memulai semuanya. Aku menyukaimu,Rin.

Aku tak mau kamu mengetahui kondisiku dan menjauh seperti hampir sebagian orang-orang di sekitarku. Mungkin ini terdengar konyol, tapi penyakitku sudah mencapai puncaknya. Entah mengapa, dokter pribadiku berkata tubuhku sudah tidak kuat, padahal kemarin ia bilang aku sudah baikan. Hari ini adalah hari operasi besarku. Kamu tak perlu datang. Aku sudah cukup dengan memandang wajah elokmu saat di toko. Terima kasihsudah menyempatkan waktu untuk datang mengunjungiku dan makan kue cokelat buatanku. Maaf, karena aku tak bisa berada di sisimu lebih lama.

Air mataku turun dengan sendirinya. Di balik surat itu, ada surat kepemilikan toko kue ini lengkap dengan tanda tangan Aru. Seketika itu aku berlari ke arah para pegawai dan berteriak.

“Di mana Aru akan dioperasi? Di mana dia?!” tanyaku dengan air mata yang telah tumpah ruah.

Aku segera bergegas lari usai mendengar lokasi Aru dirawat. Saat aku datang, banyak sekali selang yang terpasang di tubuhnya. Aku hanya bisa menangis dan berdoa untuk keadaannya. Mengapa ia bodoh sekali, memberikan kepemilikantoko kue pada gadis yang bahkan hanya bisa ia panggil nama panggilannya saja?

Usai Aru sadar, aku yang mengaku sebagai walinya dipersilakan masuk. Matanya terbelalak karena yang masuk adalah aku. Suasana menjadi hening dan canggung. Aku sangat ngilu melihat pemandangan ini. Tanpa kusadari, satu kalimat muncul dari mulutku.

“Namaku Anggi Riani, memang dipanggil Rin saja.”

Hening.

“Sudah kuterima suratmu. Senang berkenalan denganmu, Ru.”

Ia tersenyum dengan samar. Mata yang tadi kaget, sekarang hanya menatapku nanar. Ia terdiam lagi, sesekali tersenyum. Dan, senyuman yang terakhir ia menutup matanya dengan lembut, diikuti suara rata dari komputer di sebelahnya. Itu seperti badai yang tiba-tiba menghantamku dan membuatku terseok ke dalamnya. Tangisanku untuk yang kesekian kali tumpah lagi.

Begitulah pertemuan terakhir kita. Tak ada detail khusus yang istimewa, kecuali setidaknya sekarang aku mengenal namamu. Namamu adalah Taruna Suryadi. Panggilanmu adalah Aru. Dan, sama halnya denganmu, aku juga menyukaimu.

Biodata Penulis: saya adalah seorang mahasiswi aktif Universitas Airlangga Surabaya Jurusan D3 Pengobat Tradisional. Saya lahir di Surabaya 9 September 2002. Selain menjadi seorang mahasiswi, saya kadang mengisi waktu luang dengan melakukan hobi. Salah satu hobi saya adalah menulis cerita dan menuangkannya ke dalam podcast “Singkat Cerita”.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn