
Januari, 2019
Berulang kali kulihat arlojiku. Setumpuk kalimat kusimpan di kepala, semoga saja aku tak terbata-bata mengatakannya. Dua bulan menghilang Rima menghubungiku, ia bilang ingin bertemu denganku, di Kedai tempat pertama bertemu. Ada hal penting yang harus dibicarakan. Aku pun begitu, maka sejak pagi sudah kususun kata-kata.
Rima datang, menghampiriku tanpa senyum. Tanpa kata-kata manis. Lalu, duduk tegak menatapku. “Kamu mau pesan apa?” tanyaku.
“Samakan saja, Mbak.” Jawab Rima kepada pelayan tanpa menatap.
“Apa kabar, Rim?”
Artikel yang sesuai:
Rima menunduk tak menjawab. Melipat kedua tangan di atas meja, lalu menatapku. Kedua mata dengan lingkaran hitam tak berkedip melihatku. Napas dalam ia tarik, kalimat pembuka terlempar.
“Dua bulan lagi aku nikah.”
Dadaku menggebu, seperti ada ledakan di sana. Kucoba tenang, “Kamu bercandakan?” Rima menggeleng. Dua cangkir kopi diletakan di atas meja. Aku coba mencerna, mencubit keras pergelangan tanganku. Kuharap ini tak nyata. Kuharap aku terbangun dari mimpi buruk di siang bolong.
“Aku kesini ingin menyerahkan ini.” Rima mengeluarkan sepucuk surat warna abu dari dalam tasnya. Menyerahkan persis di samping cangkir kopiku. Pada muka sampul tertera nama: Bimo & Rima. Kucubit lenganku makin keras, rasa sakit mengalir hingga hati. Aku tak terbangun, ini bukan mimpi buruk. Ini kenyataan buruk.
“Kenapa tiba-tiba?”
“Engga, Re, sudah jalan 3 bulan.” Rima menyesap kopi.
“Rim, 3 bulan yang lalu—“
“Itu kesalahan, Re. Kita hanya terbawa suasna. Dan itu sama sekali bukan cinta. Bulan September akhir Bimo beserta keluarga datang ke rumahku. Dia anak rekan bisnis ayahku. Mereka hendak menjodohkan kami, Re. Aku menolak, dan memilih pergi bersamamu.”
“Lantas, kenapa kau terima?” intonasiku lebih tinggi. Aku kehilangan ketenangan.
“Aku tak ingin orangtuaku kecewa.”
“Meskipun tak cinta?”
Rima mengangguk dan kembali mereguk kopinya.
“Lalu, jika bukan cinta, kenapa kita lakukan?”
“Itu hanya nafsu, Re. Sebuah kesalahan. Dan yang kau harus tau. Aku tak mencintaimu.” Rima bangkit meninggalkanku dengan rona merah yang lupa ia hapus pada bibir cangkir.
Penulis: Ardyan Mukhtaram






