Febuari, 2019
Air mata mengalir deras, membasahi sebelah pundakku. Ia bercerita satu jam yang lalu, saat masih berdua dengan kekasihnya duduk di teras resto, menikmati tiap suap makan malamnya. Awalnya perbincangan terasa hangat. Hanya saja kekasihnya terus menerus melihat jam tangan. Disela-sela perbincangan, lawan bicaranya tampak gelisah ketika ada pesan masuk di ponselnya. Pandangannya kabur saat dicecar berbagai macam pertanyaan. Hanya menghentakkan jemarinya di atas meja, dan di akhir kalimat kekasihnya memutar balikan kesalahan.
“Aku ingat gelagat itu, Re. Seolah semua yang dilakukannya atas kesalahan diriku,” Tertatih ia mengambil napas. Lalu, ia membasuh air mata sisa dengan punggung tangan. Mulutku kelu, kubiarkan dua telingaku mendengar seluruh ceritanya. Setelah ia menggantung ceritanya, lalu melepaskan dekapan, ia bangkit. Menyusuri kamar kostku yang tidak terlalu luas ini. Mengambil sekaleng bir dari lemari es, dan duduk di sudut kamar lalu memeluk kedua kakinya. Menyandarkan dagu menawannya di atas lutut.
“Kamu punya rokok?” tanyanya.
Aku menghampirinya. Meletekan sebungkus rokok dan pemantiknya tepat di depan jemari kakinya. Asap mengepul dari bibir mungil yang merahnya sudah pindah ke bibir cangkir yang diisi penuh bir.
“Seharusnya waktu itu“
“Engga, Rim. Semuanya sudah berlalu,” aku segera memotong kalimatnya.
“Tapi, dua minggu sebelumnya, aku melihat Bimo bersama perempuan lain! Dan kamu tau, Bimo sangat yakin tindakannya benar. Katanya jika saja aku lebih banyak memberikan perhatian, semua ini tidak akan terjadi. Betapa bajingannya laki-laki itu!”
Hatiku tersentak. Kupikir tangisannya hanya untuk pertengkaran biasa dalam hubungan. Aku mengambil sebatang rokok, menghisapnya, dan menghebuskannya ke udara. “Tanpa ada penjelasan lainnya, Rim?”
“Ya, setelah itu ia bergegas pergi. Bisa kamu bayangkan?” ia menumbuk rokoknya hingga padam di atas kaleng bir kosong. Kembali ia biarkan air matanya jatuh berderai. Sementara aku berdebat dengan pikiranku sendiri.
Cerpen – Bekas Kisah Di Bibir Cangkir by Ardyan Mukhtaram
Juni, 2018
Dua kemeja tergantung di pintu lemariku. Aku memilah, memantaskan dengan celana jeans-ku yang berwarna biru terang. Menyisir rambutku yang biasanya kubiarkan saja tergerai jatuh berantakan. Hari ini adalah hari pertamaku bertemu Rima. Gadis yang kukenal di aplikasi twitter. Kami sering bertukar pesan, berbagi kisah, atau hanya sekadar pertanyaan klise: sedang apa?
Komunikasi terus berlanjut. Obrolan kami berpindah dari Twitter, Instagram, dan Whatsapp. Hingga hari ini jadi pertemuan pertama kami. Seminggu setelah berkenalan. Aku sebenarnya sudah ingin menemuinya. Tapi, Rima tak bisa karena harus menyelesaikan kuliahnya di luar pulau jawa.
Sebulan berlalu, sekarang saatnya aku bertemu dengannya. Aku memutuskan mengenakan kemeja lengan panjang berwarna hitam. Menggulung lengannya hingga ke siku, membubuhi seluruh tubuhku dengan minyak wangi. Tak lupa aku memangkas habis kumis tipisku serta bulu jenggot yang hanya beberapa helai. Setelah semua kurasa selesai, aku bergegas menuju Kedai kopi di tengah-tengah Kota, tempat kami janjian.
Aku datang lebih cepat. Atau lebih tepatnya terlalu cepat. Siang tadi ketika kami membuat janji bertemu, kami sepakat untuk tiba pukul lima sore. Tapi, entah mengapa aku datang tiga puluh menit lebih cepat. Pikirku, lebih baik lelaki yang menunggu bukan?
Empat puluh lima menit berlalu, yang kutunggu datang. Ketika masuk ke kedai ini, matanya mengedar ke seluruh ruangan. Dan terhenti waktu aku melambaikan tangan. Rima bergegas ke arahku. Tiap langkahnya membuat jantungku berdebar bagai bom waktu hendak meledak. Langkahnya terhenti. Senyum manis ia berikan, darahku mendidih hebat, lalu aku sedikit gemetar waktu ia menjulurkan tangan.
“Rima,” ucapnya.
Aku kehabisan kata-kata dan sedikit kaku saat membalas sapaannya dengan namaku. Layaknya patung yang baru selesai dipahat. Lamat-lamat kutatap dirinya yang indah dari kepala hingga kaki. Terlepas dari ekspetasiku, nyatanya memang ia indah. Digunakannya dress biru tua sampai lutut. Rambutnya yang kecoklatan digulung membulat ke atas.
Kupersilahkan ia duduk. Ditariknya bangku, lalu senyum menyemburat dari bibir mungilnya. Sementara aku mencoba mengapai kata-kataku yang melayang, Rima memulai dengan pertanyaan.
“Maaf ya, Re, kamu nunggu lama ya?”
“Oh, tidak-tidak. Aku juga baru sampai.” Pesona pada wajahnya membuat waktuku menunggu tak ada artinya. Pelayan datang, menyerahkan buku menu. Rima memesan es kopi. Lama kupandangi menu yang diberikan pelayan. Satu helaan nafas kujawab, “Samakan saja, Mbak.”
Obrolan kami mengalir deras seperti hujan bulan Desember. Tanpa terasa waktu bergerak cepat. Cahaya matahari tenggelam di sudut barat, langit gelap gulita. Sebelum kami pergi, Rima menghapus jejak lipstick di bibir gelas. Aku tak mengerti mengapa Rima tak mau gunakan sedotan yang disediakan Kedai. Aku membayar tagihan, menanyakan apa Rima ingin diantar pulang. Rima menolak, berbagai alasan kulontarkan. Lalu rona-rona pada wajahnya merekah. Ia mengizinkanku mengantarnya pulang. Lagi pula, tak mungkinkan wanita pulang malam sendirian?