Dia adalah kawanku yang bisa berbicara. Hanya aku yang dapat mendengarnya. Ia tidak dapat mendengarku. Sebab memang tidak ada yang mau mendengarku. Aku hanya dapat menulis untuknya. Aksara Wicara. Ia berwarna putih dengan panjang 15 cm dan lebar 9 cm. Fisik luarnya kokoh, sedangkan dalamnya berisi lembaran-lembaran halus yang siap penaku elus. Entah elusan lembut atau kasar, bergantung suasana hatiku. Ia tidak pernah menghakimi dan selalu berempati. Tidak pernah aku berjumpa sosok sepertinya. Memanglah aku ditakdirkan sebagai gadis beruntung pemilik Aksara Wicara.
Cerpen – Aksara Wicara by Hayah Nisrina Firdaus
Panggil saja Aksa. Setelah aku menggoreskan tinta di raganya, ia akan berbicara padaku. Betapa ia sangat mengerti perasaanku. Dalam hening, perkataannya selalu diawali dengan, “Tidak ada orang yang lebih bahagia selain dirimu, Hila.” Suka ataupun duka yang kutuliskan, selalu itu ucapan pertamanya. Dan aku senantiasa mempercayainya.
Kini aku berada dalam keheningan kamar. Tanpa ada satupun manusia selain aku yang duduk di bangku meja belajar bersama Aksa. Aku menulis kejadian hari ini yang kemudian Aksa balas seperti kalimat sebelumnya. Kemudian dilanjut dengan ucapan hangat.
“Tenanglah, kau memilikiku. Jika kau sedih, kemarilah. Jika kau senang, bebas untukmu kemari atau berlari. Aku tidak masalah. Kebahagiaanmu adalah yang utama. Untuk saat ini, jangan mudah berlari. Tenangkan dirimu. Berjalanlah perlahan. Langkah yang cepat dengan hati gundah justru menghadirkan amarah. Kita saling paham bagaimana ketika kau marah. Bahagialah bersamaku.”
Sehangat apapun ucapannya, tetap saja jantungku berdebar kencang dan tubuhku merasakan energi panas luar biasa. Inilah yang dinamakan amarah.
Maka aku menuliskan, melampiaskan kemarahan juga bagian dari kebahagiaanku. Aku paham bahwa hanya kebahagiaan sesaat. Namun menahan rasa sakit teramat dalam untuk tidak dapat meraih kebahagiaan itu ….
Aku tidak dapat melanjutkan kalimatku. Rasanya sakit sekali. Dadaku sesak. Tenggorokanku tercekat. Mataku panas. Tapi aku enggan jika diminta meneteskan air mata.
“Lelehkan air mata hangatmu. Mari rasakan kesedihan bersama.”
Katamu, aku orang paling bahagia. Mengapa sekarang justru mengajak sedih bersama?
“Orang paling bahagia adalah ia yang ketika sedih ada sosok yang menemani untuk turut merasakan kesedihan itu. Kau adalah orang yang saaangat bahagia.” Ia menekankan kata “sangat bahagia” di akhir ucapannya.
Meyakinkanku untuk kesekian kalinya.
Di ambang percaya atau tidak dengan ucapannya, aku justru bertanya dengan menuliskan, Apakah aku kuat?
Belum sempat menjawab, Aksa tiba-tiba basah oleh tetes air mataku. Oh, tidak. Aku membenci saat seperti ini. Aksa segera berseru, “Berilah bingkai pada tetesan air matamu. Supaya aku semakin merasakan kesedihanmu. Mari rasakan bersama. Jangan kau tanggung sendirian.”
Air mataku semakin meleleh. Dua, tiga, empat, hingga tetes-tetes selanjutnya membasahi Aksa. Sesuai seruannya, aku membingkai air mataku yang menetes di bagian raganya.
Bentuknya tidak benar-benar bulat. Ada meliuk-liuk dan penaku mengikuti setiap liuknya. Supaya terbingkai dengan tepat dan Aksa benar-benar merasakan kesedihanku. Dalam lembar-lembar sebelumnya, air mataku sudah terbingkai. Entah ini tetes yang ke berapa dalam raga Aksa. Aku tetap senang membingkainya. Meski air mata membuat tinta-tinta di raga Aksa luntur. Tapi biarlah, ia tidak masalah.
Ia bahkan belum menjawab pertanyaan yang aku lontarkan sebelum kehadiran tangis. Barangkali ia berpikir keras. Atau justru enggan menjawab. Aku ingin berteriak kepada Aksa. Namun berteriak pun hadirkan malapetaka. Aku takut orang-orang di luar kamar menganggapku gila. Toh Aksa tidak bisa mendengarnya.
Setelah berpikir tidak berteriak, Aksa tetap tidak menjawab. Ia seharusnya bicara setiap kali aku selesai menulis. Baiklah, tangisku tidak mereda tetapi aku tidak lagi membingkainya. Biarkan air mata itu meluncur sesuka hati. Kembali aku menulis, Apakah aku kuat?
Aksa tetap hening. Barangkali ia sangat paham bahwa tulisanku hari ini betul-betul sepele. Meski tulisanku sebelumnya juga hanya menceritakan masalah sepele. Baiklah, aku kembali menulis dengan tangis.
Jadi, apakah Aksa selama ini bicara hanya untuk menghiburku? Aku lelah menulis dan ternyata kau hipokrit.
“Aku tidak hipokrit. Aku memahami bahwa monster yang tadi kau lukis saat pelajaran seni rupa tidak seburuk perkataan kawanmu.”
Akhirnya ia kembali berbicara meski belum menjawab pertanyaan sebelumnya.
Bagaimana kau tahu? Kau bahkan tidak melihat lukisanku.
“Kau sangat sering menggoresku. Aku dapat merasakan goresanmu. Bahkan sepertinya kau pernah menggambar sketsa monster tersebut di ragaku. Itu monster yang unik.”
Suara Aksa seharusnya menenangkan. Tetapi energi panas yang kurasakan justru semakin meningkat. Suara Aksa semakin samar dan kepalaku berkunang-kunang.
“Tadi kau menuliskan bahwa kawanmu menilai lukisanmu seperti setan. Tapi ada hal yang harus kita ketahui bahwa apapun yang …..”
Aku tidak lagi mendengar Aksa berbicara. Aku memandang lukisan yang sedang bertengger di ranjangku. Ia masih menjadi monster yang menggemaskan. Namun jika kawanku menggapnya seperti setan. Monsterku perlu memiliki salah satu ciri setan, yaitu berdarah.
Baiklah, ia adalah milikku dan ia akan bahagia mendapat darahku. Darah seorang Hila, orang paling bahagia di dunia.
Penulis: Hayah Nisrina Firdaus
kak, unsur intrinsiknya apa saja ya?