
Tadinya aku kira Kak Rama akan menunda melihat kotak yang Ibu maksud dalam suratnya. Sebab aku sendiri belum tergerak melakukannya. Menurutku urusan itu bisa belakangan saja. Rasa sedih dan kehilangan masih menguasai hatiku. Setali tiga uang denganku, Kak Via juga enggan memeriksa isi lemari Ibu detik ini.
Sayangnya, Kak Rama sudah beranjak menuju kamar Ibu di depan ruang tamu. Suara derit pintu kayu yang sudah lapuk terdengar ngilu mengiris hati yang sendu. Di pintu itu aku biasa melihat ibu berdiri mengenakan jilbab instan kesayangannya, memandang kami bertiga yang selonjoran di depan TV. Hah, aku masih belum bisa melupakan kenangan di rumah ini bersama Ibu.
“Dek …” Kak Rama memanggil aku dan Kak Via dari dalam kamar Ibu.
Aku lihat Kak Rama membuka sebuah kotak perhiasan yang tidak pernah kami lihat sebelumnya. Aku sampai bertanya sejak kapan kotak itu ada di sana. Selama ini aku sering membuka lemari di kamar Ibu dan tidak pernah melihatnya. Pintar sekali Ibu menyembunyikan kotak berbahan kayu itu.
Aku dan Kak Via menghampiri Kak Rama. Kotak itu sudah dibuka. Di dalamnya ada tiga lembar kertas bergambar yang berkilau. Itu … Mataku tiba-tiba kabur. Ada kabut tipis menutupi pandangan disusul cairan hangat membasahi kedua pipiku.
Artikel yang sesuai:
Aku menangis. Begitu juga kulihat Kak Via mendongak agar air matanya tidak jatuh.
Dalam kotak itu tidak ada emas, uang dan surat tanah. Mana mungkin kami punya itu. Di sana hanya ada tiga lembar foto anak-anak Ibu–aku, Kak Rama dan Kak Via–yang diambil tahun lalu saat kami lebaran ke rumah Om Ferdi.
Ya, dibanding Ibu, kehidupan Om Ferdi bisa dibilang lebih baik. Om Ferdi punya kamera digital dan dengan itulah gambar kami diambil tahun lalu. Gambar kami berempat lalu dicetak Ibu dan dipajang di ruang tamu rumah ini.
Kak Rama terlihat sulit menyembunyikan tangisnya. Tangannya gemetar meraih lembaran foto itu. Aku pikir inilah warisan Ibu untuk kami. Bukan fotonya, tetapi diri kami masing-masing, yang harus saling menjaga, melindungi dan menyayangi satu sama lain.
“Terima kasih, Ibu. Warisan berharga ini akan kami jaga selalu,” batinku memeluk Kak Rama dan Kak Via di siang yang kelabu.
Penulis: Ulva Yuni






