Cerpen – Tiga Harta Berharga Ibu by Ulva Yuni

Cerpen - Tiga Harta Berharga Ibu by Ulva Yuni

Aku menatap nanar gundukan tanah yang masih merah dengan taburan bunga di depanku. Di sampingku, kakak kedua, Kak Via, terpekur mengembalikan bunga-bunga yang turun di bawah kakinya ke atas gundukan itu.

Sementara itu, Kak Rama masih sibuk menerima ucapan belasungkawa dari pelayat yang ikut mengantar ke pemakaman. Ini hari yang berat untuk kami bertiga. Tiga saudara yang kini resmi jadi yatim piatu.

Cerpen – Tiga Harta Berharga Ibu by Ulva Yuni

“Kalian belum mau pulang?” Suara Bibi–saudara Ibu–mengembalikan kesadaranku.

Aku dan Kak Via kompak menggeleng. Kami masih akan di sini, jongkok di antara makam Ayah dan Ibu. Memastikan keduanya sudah bertemu di tempat yang indah. Hah, itu doa dan harapanku. Aku takut Ibu tersesat dan gagal bertemu Ayah.

“Ya sudah. Bibi ke rumah dulu. Banyak yang harus diurus. Kalian baik-baik di sini.” Bibi pergi. Pelayat lain juga pergi. Semua pergi. Meninggalkan tiga kakak-adik yang sedang meratapi hidup, bingung ke mana lagi akan pulang esok hari.

Bau pandan dan bunga kamboja seketika mengintip lubang hidungku. Dengan cepat kututup jalur pernapasan yang mungil ini. Aku benci mereka singgah. Sejak hari ini aku memutuskan untuk membenci pandan dan bunga kamboja.

Aku juga benci hujan sebab kini mereka turun bersamaan tanpa pemberitahuan. Aku dan Kak Via basah. Makam Ibuku jadi becek. Nisannya kotor terkena cipratan air yang menghantam tanah.

Kak Rama bergegas menarik lenganku dan Kak Via. Mungkin dia tidak tega dengan dua adiknya yang masih bertahan di bawah derai hujan. Kami berteduh di bawah sebuah pohon kamboja yang tidak banyak memberi perlindungan.

Daunnya terlalu sedikit dan kecil-kecil untuk mencegah hujan jatuh menimpa kami, tiga anak yatim piatu di hari pemakaman ibunya.

“Pulang, yuk!” Kudengar Kak Rama mengajak kami pulang. Aku hanya mendongak, menatap wajahnya yang kuyu. Di sampingku Kak Via bergeming, tatapannya masih mengawasi makam kedua orang tua kami.

“Ayo!” paksa Kak Rama menarik tanganku dan Kak Via untuk kedua kalinya. Kali ini bukan mencari pohon teduh lainnya, melainkan melangkah makin jauh meninggalkan pemakaman yang berlangit kelabu siang ini.

Setiap langkah yang kuayun terasa tidak menapak bumi. Air hujan yang jatuh mengalir di pipiku bersama air mata yang luruh. “Ayah, Ibu, kami pulang dulu,” batinku terisak menoleh ke belakang. Seakan mereka berdiri di sana, melambaikan tangan perpisahan dengan senyum yang selalu kukenang.

Di rumah kami disambut sanak keluarga dan tetangga yang masih betah mengisi ruang tamu dengan ucapan dukacita mereka. Aku tidak mau peduli lagi. Semakin mereka mengatakannya semakin hatiku nelangsa dan terluka. Maka, melenggang masuk ke kamar adalah pilihanku dan Kak Via.

Baru saja akan membuka pintu kamar yang berada di sudut ruang tamu, suara Om Ferdi menggema memanggil aku dan Kak Via. Kak Rama sudah duduk di samping beliau saat aku berbalik memenuhi panggilannya. Kak Via berjalan di belakangku dengan kepala yang enggan ditegakkan.

Tinggalkan Komentar