Detik-detik mendebarkan telah menghantui Fauzan. Lelaki itu tidak sabar menunggu momen paling berharga di dalam hidupnya. Dia ingin segera mempersunting seorang perempuan yang telah lama menjadi pujaan hatinya.
Dua minggu yang lalu, Fauzan memberanikan diri untuk melamar Najla. Wanita yang ditemuinya dua tahun silam berhasil membuat dia jatuh hati. Bukan hanya tentang kecantikan parasnya, tetapi juga tentang kebaikan akhlaknya. Dia membuat Fauzan menaruh rasa suka sejak pandangan pertama.
Cerpen – Cinta Terhalang Adat by Iis Sumiati
“Assalamu’alaikum.” Najla menghampiri dua orang yang sedang ribut di pinggir jalan.
“Wa’alaikumsalam,” jawab seorang perempuan.
“Maaf, Bu, tadi saya tidak sengaja melihat Ibu sedang berdebat dengan pemuda ini. Kalau boleh tahu, ada masalah apa?” tanya Najla.
Wanita itu menjelaskan duduk perkara yang membuat barang-barang belanjaannya hancur berantakan. Padahal itu adalah kebutuhan sehari-hari untuknya dan keluarga. Kekecewaannya semakin mendalam di saat orang yang telah menabraknya tidak ingin bertanggung jawab.
Najla menatap pelaku penabrakan, lalu berkata, “Mas tidak ada niatan untuk bertanggung jawab?”
“Saya tidak bersalah. Jadi, untuk apa saya harus bertanggung jawab?” sahutnya santai.
“Mas bisa membohongi manusia, tapi Mas tidak akan pernah bisa membohongi Allah.” Pria bermata elang itu tidak mengerti dengan ucapan Najla.
“Sudahlah, Mbak. Ibu sudah biasa diperlakukan seperti ini. Sebagai orang miskin, kita harus siap diinjak-injak dan diremehkan oleh orang kaya. Kalau begitu, Ibu pamit dulu, ya, Mbak.” Ina beranjak pergi. Namun, Najla menahannya.
“Tunggu sebentar, Bu.” Gadis itu mengambil sebuah amplop coklat dari dalam tas hitam yang dibawanya. Kemudian dia memberikannya kepada Ina.
“Ini apa, Mbak?” tanya Ina.
“Saya punya sedikit uang untuk Ibu berobat dan mengganti barang-barang yang rusak. Semoga ini dapat bermanfaat. Dan saya harap, Ibu dapat memaafkan pemuda ini,” pintanya.
Ina mengucapkan syukur atas nikmat yang telah diterimanya.“Terima kasih banyak, Mbak. Insya Allah Ibu sudah memaafkan Masnya. Semoga kebaikan Mbak dibalas oleh Allah dengan berlipat ganda.”
Najla membalasnya dengan ramah. Walaupun harus merelakan gajinya selama satu bulan ke belakang, akan tetapi dia tetap senang dapat membantu orang yang lebih membutuhkan.
“Kenapa kamu memberi Ibu itu uang? Memangnya kamu tidak curiga kalau ini hanya rekayasa?” tanya laki-laki yang sedari tadi memperhatikan Najla.
“Tidak sama sekali. Saya yakin kalau Ibu itu jujur. Saya lihat, tatapan matanya tulus. Tidak tersirat kebohongan sedikit pun,” jelas Najla.
“Kenapa kamu bisa seyakin itu?” Fauzan heran.
“Saya tidak ingin berburuk sangka kepada orang yang sedang kesulitan,” jawab Najla.
Fauzan menatap lekat wanita di hadapannya. “Baiklah, maafkan saya,” ucapnya kemudian.
“Kamu tidak seharusnya meminta maaf pada saya. Minta maaflah kepada Ibu tadi,” saran Najla.
Fauzan mengangguk. Kemudian dia berlari menjauhi Najla. Perempuan berhijab itu bingung dengan tingkahnya.
“Mau ke mana?” tanya Najla yang masih terdengar oleh Fauzan.
“Menyusul Ibu tadi. Kamu tunggu saja di sana,” jawabnya sedikit berteriak. Najla pun menyetujui permintaan Fauzan.