Aku hanya diam membisu. Apakah Biru sedang menembakku? Di tengah lautan? Dalam kegelapan dan udara dingin ini? Atau mungkin di atas hiu-hiu yang sedang bermimpi menikah dengan ikan Badut?
Ketegangan itu berlalu, ketika ombak besar tiba-tiba datang. Itu peringatan. Sepertinya, laut tak menginginkan para petualang ini diam terlalu lama. Mungkin dia ingin mendengarkan dongeng-dongeng dari Biru. Dia adalah pendongeng handal. Hampir setiap pagi dan sore aku mendengarkan dia mendongeng, di bawah pohon beringin dan ditemani wedang buatan ibuku.
Cerpen – Seni Mencintai Sampai Mati by Eva Zulfa Fauziah
Namun, kali ini Biru masih tetap diam. Dia pasti mengkhawatirkan banyak hal, sama sepertiku.
“Ayah kita adalah petualang handal, pengkritik nyentrik, dan mereka akan gesit menangkap kebayahaan. Kau tidak perlu khawatir,” ucapku mencoba memberi sedikit penenang kepada Biru.
“Dari sekian banyak pilihan untuk hidup, kenapa mereka harus memilih hidup yang membahayakan? dan kenapa mereka terus menerus mencari kemerdekaan, sedang merdeka kita sudah di tangan. Kita sudah mendapatkannya, Ra!” Biru menekankan kalimat terakhirnya.
Artikel yang sesuai:
“Ru, ayahku bilang; kita adalah anak kecil yang belum mengerti sirkulasi bangsa kita. Mata kita masih terbatas untuk melihat itu semua, pemikiran kita hanya kuat menampung novel-novel bocah lanang. Aku mengetahui, kau mempunyai rasa penasaran yang tinggi. Tapi, kaprah kita sekarang bukan untuk itu.”
“Lalu untuk apa?” Biru membalas cepat.
“Untuk menjadi korban dari keegoisan mereka, untuk menjelajahi samudra yang kita tidak tahu rute arahnya kemana?” Biru melanjutkan kalimatnya.
“Kita sudah bukan anak-anak, Ra. Mereka hanya tidak menginginkan kita berpemikiran kiri seperti mereka. Padahal, aku sama sekali tidak berminat untuk menjadi tapol. Yang aku inginkan, aku ingin mengetahui alasan mereka kenapa memilih hidup yang menyengsarakan.”