
Narka menatapku jahil, walau masih ada tatapan canggungnya. Aku hanya bisa terkekeh dengan sorot mata yang benar-benar mengekspresikan rasa bersalahku.
“Nggak usah nggak enak gitu, aku beneran oke kok, santuy, Nya.”
Aku tahu Narka berusaha menenangkan hatiku, tapi aku malah merasa sebaliknya. Aku tidak tahu kapan kedua mataku memanas, sampai Narka dengan mimik terkejutnya memberiku tisu.
See You When Our Path Cross Again
“Nya, kenapa? Kata-kataku ada yang salah, ya? Sorry bikin kamu ngerasa nggak enak gini. Kamu bisa lupain semua omonganku, kok.”
Suara Narka mengalun lembut memasuki telingaku. Aku menggeleng.
Artikel yang sesuai:
“Sorry, nggak tau kenapa pengin nangis aja. Aku ngerasa sedih kamu mau pindah ke Makassar. Padahal kita juga baru ngobrol santai akhir-akhir ini.” Aku terkekeh di akhir kalimat sembari menghapus air mataku dengan tisu.
“Makasih udah bilang gitu. Semoga waktu kita ketemu nanti, kita udah jauh lebih baik dari ini, ya.” Senyum masih bertahan manis di bibir Narka, “dan kalau bisa, kamu jadi suka sama aku,” lanjutnya.
“Kalau aku jadi suka, tapi kamu udah nggak suka, gimana?” Dahiku mengernyit, menatap cowok itu dengan serius.
“Aduhh … Nya, kebiasaan ya, mikirnya kejauhan terus. Kita ‘kan nggak tau kedepannya kayak gimana, tapi semoga kalaupun berubah, berubahnya ke arah yang lebih baik. Semoga perasaanmu aja yang berubah, jadi suka sama aku.”
Akhirnya wajah jenaka Narka muncul setelah beberapa jam yang lalu dia terjebak dalam wajah orang serius level berat. Aku tidak bisa untuk tidak tertawa. Tentunya dengan air mata yang masih tersisa.
Kami lagi-lagi tertawa bersama tanpa tahu apa yang benar-benar lucu. Dan, aku yakin ada lagi tawa di antara kami tanpa tahu apa yang benar-benar lucu suatu hari nanti.
Penulis: @tiana.rayunda





