Ucapan Dera yang tiba-tiba itu berhasil menghentikan perdebatan kedua orang tuanya. Mereka berdua memandang Dera tanpa ekspresi. Kemudian senyum kelegaan muncul di wajah ibu Dera. Ibu Dera bergegas meraih koper besarnya dan menggenggam dengan erat, seolah takut jika koper itu akan hilang.
“Baguslah kalau begitu. Aku jadi tidak perlu susah-susah untuk melanjutkan perdebatan yang tidak berguna ini,” ujar ibu Dera.
Cerpen – Sebuah Kebahagiaan by Eka Nur Anifah
“Aku akan pergi. Besok adalah sidang terakhir sebelum Ibu resmi bercerai dengan ayahmu. Ibu harap, kamu bisa datang,” ucapnya pada Dera.
Tidak ada salam perpisahan yang manis, ataupun sebuah pelukan untuk Dera. Ibu Dera pergi begitu saja dari rumah, tanpa memikirkan perasaan Dera. Suara roda koper dan sepatu heels milik ibu Dera semakin menyadarkan Dera bahwa semua ini bukanlah sebuah mimpi buruk. Ini benar-benar nyata.
“Ayah juga akan pergi. Kamu bebas dan berhak tinggal di rumah ini. Maafkan Ayah. Ayah pamit.”
Artikel yang sesuai:
Dera bergeming. Dia masih berdiri di tempatnya, bahkan ketika kedua orang tuanya sudah benar-benar pergi meninggalkan dirinya. Perlahan kedua matanya meloloskan bulir-bulir bening, membuat pipinya yang tirus menjadi basah. Isakan Dera mulai mengalun. Bak melodi yang memenuhi seisi rumah. Siapapun yang mendengarnya, dapat dipastikan akan langsung menatap Dera dengan penuh iba.
Dera tersenyum kecut ketika hakim memutuskan perceraian kedua orang tuanya. Matanya kemudian memandang ibunya yang begitu bahagia bercengkerama dengan calon keluarga barunya. Begitu juga ayahnya. Beliau bahkan tersenyum lebar di depan kekasihnya itu. Tidak ada yang terluka dan tersakiti diperceraian ini. Iya tidak ada.
“Aku akan pergi. Keberadaanku tidak begitu penting di sini,” lirih Dera pelan.