Pandangan Dera terlihat kosong. Tidak ada lagi binar bahagia yang selama ini selalu dia pancarkan. Yang ada hanyalah tatapan sendu penuh dengan luka. Gadis ceria itu kini berubah menjadi sosok pendiam.
Kedua mata Dera mengerjap beberapa kali, kemudian beredar memperhatikan ruang keluarga yang tampak kosong. Dalam ruangan yang luas itu, kini hanya ada Dera berdiam seorang diri di sofa empuk yang biasa diduduki keluarganya.
Cerpen – Sebuah Kebahagiaan by Eka Nur Anifah
Dera bangkit. Langkah pelannya membawa Dera pada bingkai foto yang tergeletak pasrah di ujung ruangan. Sejenak Dera terpaku pada potret keluarganya dalam foto itu. Hingga membuat segaris senyum tipis terbit di bibir Dera.
“Aku tidak mau!”
“Kamu saja yang membawa Dera! Calon suamiku tidak akan setuju kalau dia ikut denganku!”
Dera membeku. Kalimat-kalimat barusan berhasil membuat hati Dera tergores. Dia tahu betul siapa pemilik suara itu. Suara ibunya, sosok yang selama ini selalu Dera inginkan keberadaan dan kasih sayangnya.
“Aku juga tidak bisa membawa Dera! Keluarga kekasihku pasti tidak akan menerima Dera!”
Apa lagi sekarang? Kenapa ayah dan ibunya sama sekali tidak menginginkan Dera? Dera sudah seperti barang yang mereka oper ke sana kemari, dan tidak ada yang menginginkannya. Dera terkekeh miris. Menertawakan dirinya sendiri. Takdir kadang suka bercanda dengannya.
“Aku tidak akan ikut kalian berdua,” lirih Dera ketika dia sudah berada di ruang tamu, di mana kedua orang tuanya berada.
“Kalian bisa pergi tanpaku.”