Mentari kembali menyapa dunia. Menyambut pagi yang selalu dinanti. Pun jua dengan remaja laki-laki yang sedang bergelut dengan pikirannya. Pikirannya berkelana kesana kemari. Tangannya mulai menghiasi buku dengan secarik kata demi kata yang dirangkainya. Sambil sesekali menatap anak-anak kecil yang berkeliaran di taman kompleks rumahnya.
Remaja laki-laki dengan setelan kaos polos berwarna hitam dan celana training berwarna abu-abu gelap yang membalut tubuhnya. Tak lupa dengan snikers di sepasang kakinya dan jam tangan di pergelangan kirinya. Nampak sekilas tampilannya begitu sederhana. Padahal jika ada kesempatan untuk mentotal keseluruhan pakaian yang digunakannya, jumlahnya bisa untuk membeli beberapa kendaraan roda dua. Muhammad Alif Angkasa. Alif, ialah remaja laki-laki berumur 15 tahun yang hidup dengan sejuta impian di dalam sebuah rumah bak istana. Namun, penuh dengan kesunyian disebalik kisahnya.
Alif merupakan anak yang tumbuh di dalam keluarga yang dapat dikatakan sebagai keluarga yang berkecukupan. Bahkan bisa dikatakan kaya raya.
Kedua orang tuanya sibuk bekerja di luar sana. Lebih tepatnya, berada di negeri Sakura. Kedua orang tua Alif juga selalu mengacuhkan keberadaan Alif. Sekadar menyapa Alif saja, sepertinya mereka terlihat enggan melakukannya.
Alif juga memiliki sebuah keterbatasan fisik. Disaat anak-anak lain dapat berlari dan berjalan dengan bebas, Alif harus menerima kenyataaan bahwa dirinya harus duduk di atas kursi roda.
Artikel yang sesuai:
Perlahan, tangisan Alif yang selama ini selalu ditahan akhirnya pun tak dapat dibendung lagi.
Alif mulai lelah. Alif juga ingin sekadar berkeluh kesah. Setidaknya, ia ingin mempunyai teman barang satu saja. Itu sudah cukup. Namun, teman-temannya juga selalu meremehkan keadaan Alif. Selalu mengacuhkan Alif dikarenakan keterbatasannya.
“Apa Alif tidak berguna di dunia ini?” lirihnya. Sedetik kemudian, “Gapapa Alif! Kamu ngga sendirian, kok. Ada Allah yang selalu ada buat kamu!” lanjutnya. Mencoba menyemangati diri sendiri.
Saat sedang terisak di tengah teriknya mentari, “Hai!” sapa seorang pria dengan badan tegap miliknya. Pria itu berjongkok, mencoba mensejajarkan diri dengan Alif. Tangan milik Alif mencoba untuk menghapus deraian air mata yang bercucuran. Namun ditahan oleh pria itu. “Hei, Boy. Tidak apa untuk menangis,” kembali pria itu berucap. Alif pun menunduk. Dirinya kembali menangis tanpa suara.
Tanpa berucap apapun lagi, pria yang diketahui tetangga Alif itu mengusap dengan lembut kepala Alif. “Nama abang, Abidzar.”
Alif mendongakkan kepalanya. “Aku Alif,” balasnya.
“Alif. Alif mau tau sesuatu?” tanya Abidzar diselingi senyuman yang meneduhkan. Alif mengangguk pelan. “Alif itu hebat. Buktinya, Alif bisa bertahan dengan keadaan Alif yang sekarang. Terima kasih untuk selalu tegar. Satu hal yang perlu Alif tau, di dunia ini tidak ada seorangpun yang diciptakan sia-sia. Mungkin, Alif tidak bisa seperti anak-anak lain. Disaat mereka dengan bebasnya dapat berlari, atau sekadar berjalan. Tapi Alif hanya bisa menonton di atas kursi roda ini. Abang tau perasaan itu. Pasti sakit, ya?” Abidzar menghentikan ucapannya dikala melihat Alif ingin mengatakan sesuatu.
“Bang. Abang orang pertama yang mengatakan hal seperti itu kepada Alif. Boleh lanjutkan ucapan abang lagi?” tawar Alif. Abidzar tertegun mendengarkan itu. Dirinya sempat berpikir ingin menjadi seperti Alif yang serba berkecukupan. Namun, siapa sangka jika kehidupan Alif ternyata tak seberuntung dirinya yang mendapat kasih sayang dan dukungan yang cukup dari kedua orang tua.
Abidzar pun tersenyum, ia memegang tangan milik Alif. Kemudian melanjutkan ucapannya kembali. “Ini menurut abang, tidak apa jika kamu tidak setuju. Okay?” Alif mengangguk. “Cobalah untuk menerima dirimu sendiri. Secara perlahan. Karena kamu berhak bahagia. Gapai mimpi kamu, gapai apapun yang kamu ingin selagi itu baik. Tapi harus dengan cara yang baik, yah. Semangat Alif!” pungkas Abidzar.
Alif yang semula menundukkan kepalanya, lantas menatap Abidzar. “Bang, sekali lagi terima kasih. Terima kasih telah mengatakan hal itu.” Abidzar tersenyum lantas mengangguk, sembari tangannya mengusap dengan lembut kepala Alif. “Mau abang antar kamu ke rumah?” tanya Abidzar. Alif tersenyum, kemudian menggeleng pelan. “Okay, baiklah Alif.” Setelah itu, Abidzar pergi dikala usai berpamitan dengan Alif.
Alif memandang punggung Abidzar yang semakin menjauh. Perlahan Alif juga mulai beranjak dari taman dikala rintik-rintik air mulai berjatuhan, menyapa tanah bumi untuk dibasahinya.
Alif memilih untuk meneduhkan di halte bus dekat rumahnya. Terlihat seorang wanita yang lebih tua dari Alif sedang duduk santai disana. Wanita itu memakai kacamata hitam. Dan, sebuah tongkat? Untuk apa? Batin Alif bertanya-tanya.
Tinggal beberapa langkah lagi Alif sampai di depan halte bis, wanita itu berujar. “Siapa kau?”
“Aku Alif,” balas Alif. Dilihatnya wanita itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. “Bolehkan aku meneduh disini?” tanya Alif.
“Boleh saja. Ini tempat umum,” ujar wanita itu dengan senyuman tipis yang terlukiskan.
“Apakah kau putra dari tuan Widyanata Angkasa?” celetuknya. Alif sempat tertegun. Lantas sedetik kemudian ia mengangguk. Setelah itu, tidak ada obrolan diantara mereka. Dan hujan pun sepertinya sudah mulai mereda. “Sepertinya aku harus pulang, apakah kau masih ingin disini? Jika iya, aku akan temani kau lagi. Tetapi aku ingin membeli air minum dulu,” tuturnya.
“Aku tetap disini, Kak. Eum…tapi jika kakak ingin pulang, pulang saja.”
“Baiklah, kau tunggu saja disini. Aku akan kembali,” pamitnya. Wanita itu berdiri dari tempat duduknya, menggunakan tongkat yang semula ia lipat di saku gamisnya.
Seperginya wanita tadi, Alif masih bertanya-tanya. Siapa gerangan wanita itu? Alif masih memerhatikan wanita itu. Di ujung jalan sana, Alif melihat wanita tersebut melipat tongkat yang semula dikenakannya. Dirinya dibuat semakin penasaran. “Ah, sudahlah,” lirih Alif.
Namun, benar saja. Wanita tadi kembali. Dengan dua botol yang ia letakkan di kantong plastiknya.
“Kau mau?” tawarnya. Alif ingin menolak, tapi tidak enak dengan wanita di depannya yang telah membelikan untuk dirinya. “Ambil saja. Aku bukan orang jahat,” cetusnya. Wanita itu terkekeh pelan. Akhirnya tangan Alif menerima botol itu. “Terima kasih.”
“Sama-sama.”
“Rumah kakak dimana?” tanya Alif setelah meneguk airnya. “Rumahku ada di blok G.”
Alif tertegun. Blok G jika berjalan kaki untuk sampai kesini membutuhkan waktu 30 menit lamanya. “Maaf kak, aku mau tanya. Kenapa kakak tidak naik montor saja? Bukankah itu akan menghemat waktu dan sedikit mengurangi rasa lelah?”
“Kau sopan sekali, persis seperti ibumu. Tidak apa. Oh iya Alif, sepertinya kita belum berkenalan. Nama kakak, Bintang. Kakak akan menjawab pertanyaanmu.” Bintang menjeda ucapannya, “Kakak ditakdirkan memiliki kelebihan. Kakak buta.”
Kembali Alif tertegun, “Maaf kak.”
Bintang terkekeh. “Kamu ini, ya. Gapapa kalik.”
Pikiran Alif kembali bertempur. Apakah iya? Namun-mengapa tadi Bintang tidak menggunakan tongkatnya ketika berada disana? Dan tadi, Bintang mengetahui dirinya. Darimana bisa?
“Sepertinya ada pertanyaan yang ingin kau tanyakan,” celetuk Bintang seakan dapat membaca pikiran Alif. Diselingi suara tawa pelan.
Oke, sudah berapa kali Alif merasa tertegun hari ini?
“Hehe, iya kak.”
“Aku bukan buta dari lahir. Melainkan karena kecelakan sewaktu aku kecil dulu. Saat itu umurku masih berusia lima tahun. Aku bersama ayahku. Kita pergi berbonceng dengan motor bersama. Namun qadarullah, mobil dengan kecepatan kencang menerjang kami berdua. Kejadian itu terjadi sekejap mata,” Bintang menghela napas sebentar, lantas tersenyum tipis.
“Setelah kejadian itu, aku dinyatakan buta. Dan harus segera diobati. Namun, ayahku belum mempunyai dana yang cukup untuk mengobatiku.” Bintang menghentikan ucapannya. Ia menatap Alif, lalu membuka kacamata hitam yang bertangkring rapi di kedua pasang matanya. Netra mata abu-abu milik Bintang menatap Alif, namun tatapannya terlihat kosong.
“Namun, selayaknya manusia biasa…aku menangis. Lambat laun, aku berusaha untuk menerima kejadian itu. Setelah dua tahun ayahku berusaha mengumpulkan uang, aku kembali diterpa ujian.” Bintang menghentikan ucapannya. Menarik napas yang kembali terasa sesak.
“Jika tidak kuat untuk menceritakannya, lain kali saja tidak apa, Kak,” tutur Alif.
Bintang menggeleng. “Tepat disaat ulang tahunku yang ketujuh, ayahku berpulang. Kenyataan yang harus aku terima, ayahku menderita penyakit kanker. Dan harus menggunakan dana yang selama ini dikumpulkannya. Beberapa tahun setelah kejadian itu, ibuku menikah lagi. Sakit yang selama ini aku terima, harus aku pendam sendiri. Aku takut. Aku takut jika mendapatkan keluarga tiri yang jahat. Sepertinya aku termakan oleh sinetron disaluran televisi,” paparnya. Melihat Bintang yang tertawa pelan, Alif ikut terkekeh kecil.
“Namun, Alhamdulillah. Keluarga tiriku menyambut baik diriku. Ayah tiriku mempunyai seorang anak perempuan. Dan aku nyaman dengannya. Adik perempuan, yang dulu aku menginginkannya.”
Melihat Bintang yang tak menjeda ucapannya, Alif bertanya, “Maaf kak. Lalu, darimana kakak mengetahui aku? Dan, bukannya tadi kakak diujung sana berjalan tidak menggunakan tongkat?”
Bintang tersenyum, kedua tangannya kembali ia gunakan untuk memakai kacamata hitam miliknya. “Alif, Allah memberiku kekurangan. Namun Allah juga memberiku kelebihan. Mungkin aku tidak bisa melihat jalan. Tapi aku dapat menghitung jarak jalan, berapa lama sekiranya aku menempuh dengan kakiku. Atas Kuasa-Nya, aku dapat menghapal jalan. Oh iya, aku mengenal parfum yang kamu gunakan. Persis seperti ayah dan ibumu. Benar?”
“Masyaa Allah. Benar,” kagum Alif.
“Allah itu Maha Adil, Alif. Allah Maha Adil dalam menyusun rencana-Nya,” terang Bintang.
“Ada banyak hal untuk kita renungi betapa baiknya Allah, betapa Adilnya Allah. Kita, semula terbentuk dari setetes air mani. Dan atas berkat Kuasa dari-Nya, kita dapat berkembang dengan baik hingga kini. Coba lihat pohon itu,” Bintang menunjuk pohon pepaya yang berada di pojok sebuah rumah. “Pohon pepaya itu, semula terbentuk dari biji-biji kecil yang ditanam di tanah. Yang atas Kebesaran-Nya, kita dapat menikmati buahnya. Juga pohon-pohon yang lain, dapat menghasilkan oksigen yang nantinya akan kita hirup setiap detik. Bukankah itu wujud akan kasih sayang dari-Nya untuk kita?” Bintang menghirup napas panjang, “Ada banyak hal disekitar kita yang dapat kita renungi. Banyak. Banyak banget. Tapi terkadang kita lalai. Lalai akan nikmat-nikmat dari-Nya.”
Alif menunduk. Betapa masih kurang bersyukur dirinya ini. “Astagfirullah…” lirihnya.
Bintang melihat jam tangan yang berada di tangan kanannya, ketika jam itu berdering. “Sudah pukul dua siang, aku harus pulang,” tuturnya.
Alif menatap Bintang, “Tunggu,” cegahnya.
“Ada apa, Alif?”
“Tolong, jangan menolak ini. Akan aku telepon sopir pribadiku,” desak Alif.
Bintang menghela napas pelan. “Baiklah, tuan muda. Terima kasih banyak.”
Alif mendengus. “Jangan memanggilku dengan sebutan tuan muda. Panggil saja Alif, Kak.” Bintang tertawa pelan setelah mendengar protes dari Alif.
Seperginya Bintang, Alif pun memutuskan untuk pergi ke rumah. Dirinya mulai mengambil buku, menyatat target-target hariannya.
Alif percaya, bahwa dia bisa. Dia bisa menjadi seorang penulis terkenal yang akan menginspirasi banyak orang.
Hari demi hari hingga bertahun-tahun Alif lalui. Bangun di tengah malam untuk menggelar sajadahnya, sekaligus meminta pertolongan kepada-Nya. Berbagai rintangan ia dapatkan. Mulai dari menyelesaikan script yang terkadang stuck, dan kedua orang tuanya yang mencemooh Alif, mengucapkan kepada Alif kata-kata yang kasar bahwa dirinya tidak akan pernah bisa. Namun, Alif tidak memedulikan itu. Sebab ia hanya ingin menggapai mimpinya. ,
Kegagalan demi kegagalan pun datang menghampiri, sekadar menyapa Alif dan menguji sebesar apa tekat Alif. Alif pun ditolak di puluhan penerbit-penerbit kecil. Namun,ada kalanya ia beristirahat. Merehatkan hati. Merenungi kembali. Berpasrah kepada-Nya.
Terbesit di benak Alif untuk menerbitkan di penerbit mayor. Perasaan ragu mulai memenuhi relung pikirannya. Akan tetapi, Alif mencoba untuk yakin. Malam demi malam pun berlalu.
Hingga pada akhirnya..
“Selamat, naskah anda kami terima. Silakan untuk mengisi formulir di bawah ini, untuk akses penerbitan kami.” Tulisan itu terpampang jelas dilayar laptop Alif. Perasaan Alif campur aduk. Senang, haru, mulai melingkupi hati dan pikirannya.
Satu langkah lagi untuk Alif. Satu langkah lagi untuk menggapai mimpinya.
Tanpa sadar, semua itu membawanya di hari ini. Di hari yang menjadi harapan untuk Alif. Ribuan orang menanti dirinya. Menanti kisah inspirasi yang keluar dari mulut Alif. “Akan ada di suatu hari nanti, yang membuat kita merindukan semua itu. Perjalanan demi perjalanan yang penuh terjangan, kegagalan-kegagalan yang silih berganti. Layaknya ombak yang terus menerus mengikis kerasnya bebatuan di pinggir pantai. Tanpa kita sadari, semua itu membuat kita kuat untuk menerima kesuksesan yang besar di kemudian hari. Apresiasi diri kita. Dimulai dari hal yang sederhana dulu. Sesederhana kita bangun lebih pagi dari sebelumnya. Teruslah berusaha, kemudian konsistenkanlah hal itu. Juga diselingi dengan meminta pertolongan serta perlindungan kepada-Nya. And, one thing you need to remember. Usaha memang milik kita. Namun hasil, itu milik-Nya. Okay guys! Terima kasih sudah menemaniku disini. Sampai jumpa di pertemuan selanjutnya, ya!”
Gemuruh tepuk tangan yang terdengar di pendengaran Alif ketika dirinya mulai meninggalkan panggung. Di pojok ruangan sana, kedua orang tua Alif menangis haru. Menangis haru akan keberhasilan Alif di umurnya yang masih menginjak 18 tahun.
Muhammad Alif Angkasa. Alif, dengan keterbatasannya. Alif, dengan ucapan-ucapan yang dahulu sering membuatnya terpuruk…
Namun sekarang, Alif dapat membuktikannya. Bahwa ia mampu. Bahwa ia juga berhak untuk menggapai mimpi-mimpinya. The End.
Penulis:
Salma Mufidatun Nabila, remaja 14 tahun sebagai status pelajar kelas 9 di lembaga pendidikan SMP Negeri 2 Rembang. Semoga dapat menginspirasi.. Salam hangat dariku!