Dengan segala bagian tubuhku yang mati rasa, air mataku mulai menetes. Tuhan sudah tidak adil lagi bagiku. Aku belum sempat bertemu dengan orang-orang yang begitu penting dalam hidupku, aku belum sempat memandang orang-orang yang aku sayang setelah sekian lama berpisah, aku belum sempat sukses untuk membahagiakan mereka, aku belum sempat mengabari Andri sejak hari kemarin, bahkan kami belum sempat untuk mewujudkan impian bersama dalam ikatan halal, aku belum sempat memandang wajahnya dengan seulas senyum indah itu. Dimanakah keberadaan Tuhan kala ini.
Air mata yang telah bercampur darah menetes jatuh ketempat paling rendah. Api yang semula terpercik kian membesar. Pandanganku mulai mengabur, bersamaan dengan itu suara ledakan terdengar jelas untuk terakhir kalinya.
Ku buka kedua mataku secara perlahan. Cahaya putih begitu menyilaukan indra penglihatanku. Selang beberapa saat, cahaya itu memudar. Kulihat keluarga dan kerabatku tengah berkumpul dengan wajah yang murung. Terutama Ibu dan adik perempuanku yang menangis sendu. Aku terheran-heran. Ku ulurkan tanganku untuk menyentuh pundak Ibu yang terlihat rapuh. Namun, mengapa itu tidak berfungsi. Tanganku menembus pundak Ibu, aku tak bisa menyentuhnya.
“Nisa … “ Ibu berlari meninggalkanku. Belum sempat aku tersadar dari keterkejutanku yang tak bisa menyentuh Ibu, aku kembali dibuat syok oleh kedatangan jenazah yang di pangku dari ambulance menuju ruang tengah rumah. Semua kerabat terlihat berduka dengan kedatangan jenazah itu. Dan aku menjadi kaku kala melihat tubuhku yang telah terbungkus kain kafan terbaring tepat di hadapanku. Apa ini yang dinamakan kematian. Seketika potongan ingatanku saat kecelakan itu kembali teringat.
“Mah … mamah Nisa ada disini. Wita … Wita, ini teteh disini.” Aku berteriak, berusaha menyentuh Ibu dan saudariku, namun sia-sia.
Aku sudah mati. Usahaku berusaha menyentuh orang-orang disana pun tidak membuahkan hasil. Aku hanya bisa menangis dan berteriak memanngil Ibu dan Wita. Sia-sia dan melelahkan. Akhirnya aku terduduk, terisak sejadi-jadinya di samping tubuhku yang telah terbujur kaku.
“Nisa … “ Suara itu, Andri. Kulihat ia berjalan lesu menuju jenazahku. Raut wajahnya terlihat sendu dengan air mata yang telah menggenag dipelupuknya.
Artikel yang sesuai:
“Andri … “ Wajahnya yang selalu kurindukan itu berusaha ku raih, namun sia-sia.
Tangisku semakin menjadi kala mendengar suara lemahnya dengan lirih menyebut namaku. Aku belum sempat mengatakan bahwa aku begitu sangat mencintainya, untuk keseribu kalinya. Aku sangat mencintainya, hingga kehadirannya begitu sangat penting bagiku.
Ia tertunduk menangis. Melihat hal itu, semakin membuat hatiku teriris. Kulihat pada jari manisnya tersematkan cincin pertunangan kita. Ternyata ini adalah akhir dari kisah kita didunia yang rumit ini.
Kita tidak mampu bersama, tuhan kumohon sampaikan salam terakhirku, katakan padaya bahwa aku begitu sangat merindukannya.
Penulis: Ainunnisa