Cerpen – Rosemary by Ainunnisa

Cerpen - Rosemary by Ainunnisa
Pembelajaran telah selesai. Dosen mengakhiri kelas dengan salam perpisahan semester VII yang telah berakhir, menandakan libur panjang yang telah aku nanti setelah enam bulan lamanya sudah dimulai. Ku langkahkan kaki ini menuju asrama, temanku yang sering aku panggil Suti berlari kecil menyususlku yang sudah setengah jalan.

“Nisa, jalamu iki kecepetan, aduh pinggangku rasanya mau copot ngejar kamu Nis.” Aku tersenyum melihat tingah Suti. “Eh, ngomong-ngomong kamu jandi pulang ke Subang hari ini toh?”.

“Ia, aku teh sudah kemas barang dari kemarin. Tinggal berangkat.” Aku kembali melangkahkan kakiku setelah memastikan Suti berhasil mengatur nafasnya.

“Oh begitu toh, sudah tidak sabar mau ketemu sama pujaan hati rupanya!” Aku tersipu mendengar penuturan Suti. Ia memang selalu pandai menggoda orang.

“Kamu sendiri bagaimana, muli besok teh kita sudah libur. Kamu mau kapan pulang ke Solo?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Rencananya Suti mau pulang dua hari lagi. Suti harus beres-beres asrama dulu dan kemas barang sebelum berangkat, ya toh.”
Pembicaraan ringanku dengan Suti harus selesai saat kami sudah sampai asrama. Aku berpamitan pada Suti sebelum masuk kedalam asramaku yang urutannya berada di deretan paling depan. Setelah itu aku pun bergegas untuk bersiap-siap berangkat menuju Subang, kampung halamanku. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Andri disana.

Dalam perjalanan, entah mengapa perasaanku terasa tidak enak. Mungkin karena belum menberi tahu Ibu kalu aku tengah menuju pulang. Hingga aku memutuskan untuk menelpon ibu dengan ponselku.

“Assalamualaikum … “ Ucapku begitu telepon tersambung. “Waalaikumsallam, Nisa kamu teh ada apa nelpon?” terdengar suara lembut Ibu yang kurindukan. “Mah Punten, Nisa baru bilang. Nisa teh sekarang sedang naik bus mau pulang. Doakan supaya Nisa sampai disana dengan selamat ya mah.”

Aku tersenyum kala Ibuku berbicara dengan nada terkejut, namun selang beberapa saat untaian doa terucap dari sebrang sana. Hanya dengan mendengar suaranya saja sudah cukup membuatku damai, sosok Ibu memang tak mampu tergantikan. Membuatku semakin tidak sabar untuk segera sampai disana. Masakan Ibu adalah buruan para anak rantau, namun belaian hangat tangannya adalah yang paling utama bagiku. Memandang wajah sumringahnya selali berhasil membuatku merasa aman. Seketika pirikan dan hatiku sudah sampai disana, hanya dengan menelpon Ibu.

Tiba-tiba suara klakson mobil yang aku tumpangi membuat pikiranku buyar. Detik selanjutnya kurasakan tubuhku terbentur keras kesana kemari bersamaan dengan mobil bus yang ku tumpangi terguling dijana raya. Tubuhku terasa lemas dan mati rasa. Darah mulai mengalir dari pelipisku. Dari arah sudut kiri mobil dapat kulihat percikan api. Aku ingin berlari namun tidak bisa. Suara Ibu dari telpon di genggamanku masih terdengar namun tidak dapat aku mengerti. Semakin lama tubuhku semakin terasa sesak, dengan susah payah aku berusaha memanggil namanya, namun pandanganku semakin buram.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn