
“Mas Aba, kalau mau ke kantin tuh nggak lewat sini. Ini kan jalan ke kamar mayat.”
Lia berjalan lambat di belakangku. Tadi Mbak Fia mengabariku lewat pesan bahwa Lia seharusnya sudah makan siang satu jam yang lalu.
“Kalau memang kita mau ke ruang jenazah, kenapa? Perasaan tadi pas diajak kamu langsung iyain, mana semangat empat lima lagi.”
“Mas, coba balik badan.” Langkah kami serempak berhenti, tetapi aku enggan mengikuti arahannya.
“Itu permintaanku yang kedua.”
Artikel yang sesuai:
Tanpa menunggu lama, segera kukabulkan.
“Kenapa?”
“Mas aneh banget hari ini. Rumah sakitnya juga sepi kayak kuburan.”
“Aneh gimana? Normal aja tuh.”
“Pertama, selama ini Mas kalau jenguk Oma pasti malam dan selalu ngasih kabar. Kok tiba-tiba datangnya siang? Terus kenapa nggak bilang-bilang? Kedua, Mas janji bakal kabulin empat permintaanku padahal bukan jinnya Aladin. Mencurigakan. Aku merinding, loh!” Lia mengusap lengannya beberapa kali.
“Ketiga, bukannya ke kantin malah ke kamar mayat. Jujur kalau Mas Aba ini bukan Mas Aba beneran, entah penculik yang nyamar atau setan iseng, mending aku balik jagain Oma deh.”
Lia benar, saat ini sekitaran kami benar-benar sepi. Yang terdengar hanya suara dedaunan berterbangan diterpa angin dan derit roda dari lemari berisikan makanan siang para pasien.
“Ini kita mau ke kamar teman Mas yang lagi dirawat, kamarnya emang pas di depan ruang jenazah. Mas datangnya barengan dengan yang lain siang ini karena kebetulan dosen Mas berhalangan hadir.”
“Mas juga barusan tahu kalau Oma lagi dirawat, kan kamu belum kabarin. Masih ada perlu dijelaskan, Antelia Mustika?” Lia menggeleng cepat.
“Untuk empat permohonan, kenapa harus empat? Kenapa nggak tiga aja kayak di film-film? Kenapa nggak lebih? Kenapa nggak kurang? Kenapa harus hari ini?” tanyanya frustasi.
“Kamu keberatan kalau permintaanmu ada yang kabulkan?” Lagi-lagi ia menggeleng.
“Kenapa empat? Kamu suka genap, kan? Kalau dua doang kayaknya kurang. Sebenarnya nggak harus hari ini sih, bisa nanti kalau ingat dan sempat.”
Lia terkekeh. “Kalau urusan makan, nggak bisa aku lawan, Mas.”
Kami melangkah ringan bersama. Lia, Lia, kamu selalu takut dan penasaran di saat yang bersamaan. Berapa kali harus kukatakan hingga kamu mau berhenti membaca cerita horor misteri sebelum tidur?






