
Bu Alini menarikku dengan gerakan cepat. Hampir saja kakiku tersandung beberapa jerami basah. Kini aku tengah duduk di dalam gubuk yang hanya cukup untuk beberapa orang tidur dan kulihat mereka memasak di luar gubuk menggunakan kayu dan batu sebagai penghidup api.
Cerpen – Melawan Takdir untuk Matahari Terbenam by Marni
“Ini anak saya, namanya Putri.”
Aku menatap Putri yang tengah menunduk. Perlahan kuangkat dagunya untuk melihat wajahnya. Lagi dan lagi hatiku tersentil ketika mendapati sebuah luka di wajahnya dan matanya yang memerah seperti menahan tangis. Aku mengerti.
“Putri! Yang sopan dengan tamu. Belajarlah jadi dewasa agar kamu bisa menjadi istri yang baik!”
Aku terperanjat kaget sama hal dengan Bu Alini dan Putri. Bentakan yang begitu kasar itu keluar begitu saja dari mulut seorang Ayah.
Artikel yang sesuai:
“Aku enggak mau nikah, Ayah! Aku mau sekolah seperti di Jakarta dulu!” teriak Putri lalu bergegas keluar gubuk.
Aku izin pamit menyusul Putri. Sepertinya para penduduk sudah kembali ke tempat masing-masing karena hari sudah mulai gelap. Satu meter dari gubuk tadi, aku mendengar tangisan pilu di balik pohon besar. Aku pun langsung menuju pohon tersebut dan mendapati Putri menangis dengan memukul-mukul kepala.
Tak terasa air mata ikut menetes menyaksikan seorang anak berusia sepuluh tahun tengah bersedih atas penekanan orang tua.
Di sini aku merasa menjadi orang yang beruntung telah bisa menempuh pendidikan dan kasih sayang orang tua. Di sini aku pun merasa menyesal telah memberontak kedua orang tua, tetapi bukan berati aku menyesal telah singgah di perkampuang ‘Mentari Terbenam’ begitulah nama yang aku tahu dari Bu Alini.
“Putri,” ujarku dengan bibir bergetar. Tanpa perintah Putri langsung memelukku dengan erat. Aku memeluknya pun tak kalah erat agar ia merasa tenang dan mempunyai sumber kekuatan.
“Kamu yang tenang. Kakak di sini akan merubah takdir kamu dan teman-teman kamu yang lainnya agar bisa menjadi anak yang berpendidikan.”
Putri langsung melepaskan peluka. “Se-serius, Ka?” Aku menghapus air matanya.
“Dua rius,” kekehku dengan menarik pangkal hidungnya. Dia tertawa geli mendapati perlakuanku.
“Janji?” tanya Putri girang.
“Janji!”
Hampir seminggu aku mengajar di perkampungan ini tanpa sepengatahuan orang tua. Aku mengajar ketika para orang tua sibuk bekerja ke hutan untuk mencari dedauanan untuk diolah menjadi obat-obatan dan kerajinan tangan lainnya. Sumber penghasilan mereka hanya itu dan hasilnya di jual ke kota Jakarta dan kota lainnya.
“Penjahat!” Aku melotot dengan degup jantung berdebar tak mengaruan.
Napasku mulai tak teratur. Seakan mengerti bahaya sudah mendekatiku.






