Kini, di kampung yang sepi karena pelanggaran yang dilakukan para leluhur itu, telah berdiri rumah ke tiga belas. Semua rumah was-was, semua warga marah.
Namun, sementara ini, kemarahan mereka redup oleh malam yang menjelang. Mereka memilih tidur terlebih dahulu karena lelah dan penat setelah kesibukan mereka masing-masing. Esok, barulah mereka akan menagih janji kepada Mak Yam.
Cerpen – Kutukan Rumah Ketiga Belas by Latatu Nandemar
Ketika gelap subuh masih belum luruh secara utuh. Seluruh warga kampung Pasir Angin baru saja hendak melakukan rutinitas menyambut gigil pagi. Tiba-tiba mereka dikejutkan bunyi kentongan bambu.
Semua penduduk tahu, jika kentongan bambu dibunyikan dengan irama cepat tanpa henti, artinya ada sebuah bahaya yang terjadi. Benar saja. Bunyi retih kayu yang terbakar terdengar. Kulit mereka merasakan hawa panas. Mereka berhamburan. Tampak terlihat di mata mereka rumah Mak Yam tengah dilalap api dengan lahap.
“Lihat! Kutukan itu jatuh ke rumah ibunya sendiri!” Seorang warga berteriak setengah mensyukuri kejadian itu.
Artikel yang sesuai:
Tampak di dekat rumah tersebut, siluet Sobar mencoba memadamkan api menggunakan alat seadanya. Namun, sia-sia. Rumah Mak Yam tetap mengikuti takdirnya. Runtuh menjadi abu dan arang yang menghitam. Menyisakan bau hangus yang menusuk hidung.
***
Mak Yam berdiri mematung di sebuah jalan setapak yang menurun. Pendar merah warna api yang membakar rumahnya membias dimatanya yang terlihat sembab oleh tangis semalaman yang tak kunjung henti.
Korek api gas berwarna ungu yang semula dalam genggaman tangan kanannya akhirnya dibuang ke dalam jurang di sebelah kirinya.
“Tinggallah di sana, Nak! Biarlah Mak yang pergi dan menimpakan kutukan itu sendiri ke rumah. Sebelum kutukan itu menimpa siapa saja. Biarkan kampung kita hanya terisi dua belas rumah. Sesuai pesan para leluhur.”
Selepas itu, Mak Yam melanjutkan langkah menuruni jalan setapak. Meninggalkan kampung yang selama ini sudah menjadi tanah kelahirannya.
Penulis: @elnandemar