
Fajar pergi, menutup pintu dengan emosi. Lail memahami, study tour itu adalah hal yang paling dinanti anak bungsunya sejak kelas 1 SMP. Akan tetapi, ujian praktik adalah langkah terakhir untuk Sana bisa lulus SMA.
Hujan semakin deras, hari semakin sore, tetapi Fajar belum juga pulang. Lail dan Sana khawatir. Dengan pikiran racau, Sana mencoba mendiskusikan solusi atas permasalahan yang terjadi.
Cerpen – Biarlah Hujan Jatuh by Eva Zulfa Fauziah
“Bu, aku tidak masalah jika harus mengalah pada Fajar. Aku begitu lapang rezeki sudah bisa merasakan bangku SMA. Aku sudah punya bekal agar dapat mulai memperbaiki strata keluarga. Tanpa ijazah pun, insya Allah aku sudah punya ilmunya, Bu.” Sana memegang erat tangan Lail.
Lail tidak dapat menahan apapun yang membuat dadanya begitu sesak sekarang. Mengasihani nasib diri, meratapi rezeki kedua anaknya, menanti yang pergi, merawat yang mati, dan mengabadikan yang hilang. Semua gaduh, berperang untuk merebutkan tempat paling dominan dalam ruang kepalanya.
Sana, si sulung yang semakin beranjak dewasa. Mengambil payung untuk melegakan hati ibunya sekaligus menuntaskan tanggung jawabnya sebagai seorang kakak. Lail melarang, tetapi Sana enggan mendengarkan. Ketika kakinya berada di ambang pintu, ia melihat adiknya menari riang di bawah hujan.
Artikel yang sesuai:
Ia mengerutkan kening, tidak mengerti akan ekspresi wajah yang Fajar suguhkan di depannya. Sana mengenyampingkan kebingungannya. Lalu memprioritaskan tentang kekhawatirannya akan dingin yang menusuk tubuh Fajar.
Dengan sigap, ia segera menghampiri sang adik dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Lail menyediakan air hangat yang dimasak di tungku. Lalu Fajar mandi. Setelah itu, Sana mengajak adik dan ibunya untuk diskusi.
“Kak, Bu, maafkan aku yang pergi dengan rasa marah dan tanpa penjelasan apapun. Tadi, aku sangat kesal karena dicurangi nilai.” Fajar menghela nafas panjang. Lail dan Sana menatapnya penuh rasa penasaran.






