Saat itu bulan Januari. Tepat di hari di mana angka pada kue ulantahunku bertambah. Awalnya, hari itu berjalan sebagaimana mestinya. Pesta yang mewah, kue-kue yang lezat, dan gaun hitamku yang anggun, semuanya memainkan perannya masing-masing. Hingga kabar itu tiba. Di tengah perjalanan menuju acara, Ayah mengalami kecelakaan.
Semenjak saat itu, aku tak lagi bisa menjadi diriku seutuhnya. Gadis periang yang dulu, kini juga ikutan pergi. Aku juga mulai membenci segala hal yang terjadi di bulan Januari, mestinya aku juga membenci saat kamu tiba-tiba saja datang memayungiku yang sedang kehujanan di pemakaman. Bodohnya diriku, aku mau saja menerima ajakanmu untuk berteduh.
Perasaanku benar-benar campur aduk sekarang. Senyuman tadi pagi kini perlahan tawar. Detak jantungku kembali berdebar tak karuan sebagaimana semalam. Lantas, disusul dengan kesedihan dan penyesalahan.
Beberapa hari setelah kejadian di pemakaman, kita kembali bertemu. Aku beserta pakaian putih abu-abuku seketika tercengang saat tahu bahwa kamu adalah kakak kelasku. Bagaimana tidak, aku yang hapal mati dengan nama beserta kesukaan setiap seniorku justru tak pernah tahu keberadaanmu.
“Aku memang tak sepopuler orang-orang yang kamu kenal,” katamu saat aku mempertanyakannya. Aku tahu bahwa jawaban yang kamu berikan itu tak benar adanya. Buktinya, semua orang berduka saat ini.