Cerpen – Senja Merah Jambu by Putri Anggraeni

“Aku takut,” cicit Jingga. Ia mengungkapkan seluruh isi kepalanya. Emosinya melonjak ketika Biru di sampingnya. Rasa marah, takut, sedih, senang, seolah mengaduk rata semuanya.

“Takut? Padahal aku selalu berada di dekatmu.”

“Biru, kamu nggak ada di dekatku. Kamu bahkan tewas terseret ombak, enam bulan yang lalu.” Jingga menatap Biru dengan sendu. Jelas sekali, hancur telah menguasai seluruh hati serta akal sehatnya. “Aku takut hari ini akan usai begitu saja, Biru. Aku takut ini hanya sesaat.”

Cerpen – Senja Merah Jambu by Putri Anggraeni

“Ah, Jingga. Aku selalu bersamamu, di hatimu. Bukankah, kita sangat dekat?” Biru seolah menyeka lembut air mata yang terus keluar dari pelupuk mata Jingga. Mencoba memberi kekuatan, juga semangat hidup yang lebih dalam. “Kamu lupa sesuatu, Jingga. Manusia akan selalu merasakan manisnya pertemuan, dan pahitnya perpisahan.”

Jingga menggeleng cepat, ia masih tidak bisa menerimanya. Biru adalah rumah ternyaman baginya. Jika ada yang lebih teduh dan nyaman dari malam, maka itu mungkin menghabiskan waktu berdua hanya bersama Biru.
“Dan kita, telah melewati keduanya.” Biru masih mengulas senyum. Sedangkan Jingga menatapnya dengan sendu. “Manusia diciptakan untuk berpisah di kemudian hari, paham Jingga?”

“Biru, aku telah merasakan pahitnya perpisahan. Yang aku tahu, perpisahan yang didasari kematian, telah mengoyak bengis ulu hatiku,” ujar Jingga. Kini ia menangis tersedu-sedu. Ia menyilangkan kedua lengannya, mencoba memeluk dirinya sendiri. Menguatkan pundaknya, supaya tidak rapuh di hadapan Biru. “Aku ingin memelukmu lebih lama lagi ….”

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn