Cerpen – Seni Mencintai Sampai Mati by Eva Zulfa Fauziah

Seni Mencintai Sampai Mati

“Aku menginginkan kita tanpa patokan, seperti luas samudra yang sedang kita tempati. Tuhan meredupkan semua wanita di mataku, kecuali engkau. Kecuali anak bu Sasmi yang pernah memukulku karena mencuri keripik singkong buatan ibuku.”

“Aku tak berani memulainya, Ru.” Aku menampakkan muka lemas. Dia masih menunggu kalimat yang akan keluar dari mulutku.

“Karena dengan memulai, kita juga harus mengakhiri.” Ucapku kemudian.

Cerpen – Seni Mencintai Sampai Mati by Eva Zulfa Fauziah

Biru hendak membuka mulut, tapi perahu kami terhentak sangat keras. Sepertinya menabrak sebuah tebing. Biru berjalan memeriksa, ia meraba, lalu memberitahuku. Tebing tinggi dari bebatuan. Biru mengambil dayuh, mengarahkan perahu dengan hati-hati berpetunjuk bibir tebing.

Di penghujung mata sana, kerlap kerlip cahaya menyala-nyala. Sepertinya itu adalah sebuah pelabuhan. Biru tidak memperdulikan binar mataku yang menangis menemukan sebuah pemukiman, ia terus saja mendayuh. Namun, ia juga kelihatan tidak sabar untuk segera sampai.

Akan tetapi, semakin kami mendekat, ombak semakin tinggi melesat. Aku ingat betul, diterjangan ke-9 perahu kami terbalik. Lautan tidak tergesa-gesa menelan kami, ia masih memberikan kami kesempatan untuk berpegangan tangan. Tetapi, hangatnya tangan Biru mulai memudar. Hilang. Dan tidak tahu kemana perginya. Dan ketika itu, semuanya menjadi gelap, pengap, dan semuanya menghilang.

Aku dapat mendefinisikan itu adalah sebuah kehilangan ketika aku tersadar. Tubuhku sudah berbeda pakaian, aku berada di rumah panggung seorang penduduk wilayah pesisir. Orang-orang berdatangan menanyakan kabarku, tapi seribu yang datang tidak dapat menggantikan satu yang hilang. Biru hilang. Cintaku hilang, ditelan laut yang aku kagumi. Dan kisah kami berakhir tanpa pernah dimulai.

Penulis: @raineesly

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn