Cerpen – Hari Tersialku by Fita Arofah

Cerpen - Hari Tersialku by Fita Arofah

Dibagilah soal ulangan hari ini. Mataku terbelalak saat melihat soal-soal yang sangat memusingkan. Aku bahkan belum memahami materi ini dan tiba-tiba harus menghadapi ulangan.

Oh, tidak. Rasanya aku ingin sekali menangis, melihat teman-temanku yang sudah mulai menulis semakin membuatku risau. Dengan terpaksa aku mengisi jawaban soal sulit itu dengan asal. Tak apa, walaupun sebentar lagi pasti aku akan dimarahi dan dihukum, aku akan melaksanakannya.

Cerpen – Hari Tersialku by Fita Arofah

Enam puluh menit berlalu dan aku baru saja menyelesaikan 2 soal dari 10 soal. Benar-benar gila. Bahkan 2 soal itu aku hanya mengarang jawabannya. Aku melihat teman-temanku sudah selesai mengerjakan dan mengumpulkan jawabannya pada Bu Tyas. Aku meringis dalam hati lalu kembali mencoret-coret kertas jawabanku dengan asal.

Aku mengumpulkan jawabanku dengan ragu. Setelah memantapkan hati, akhirnya aku berjalan ke arah meja Bu Tyas dan menyerahkan jawabanku. Setelah itu, aku langsung keluar kelas karena memang disuruh Bu Tyas.

Benar kan, apa yang aku pikirkan. Bu Tyas memarahiku habis-habisan karena aku mendapat nilai nol. Aku juga dihukum membersihkan halaman sekolah yang luas itu. Peluh membasahi tubuhku. Cuaca siang ini bertambah panas dan membuatku semakin kepanasan dan lelah.

Seusai melaksanakan hukuman, aku kembali ke kelas untuk mengambil tasku. Ya, sekarang sudah jam pulang, aku saja melaksanakan hukumanku saat jam pelajaran terakhir. Aku berjalan dengan langkah lunglai seperti tak bersemangat hidup.

Namun, sepertinya kesialan kembali menimpa diriku. Aku melihat orang tuaku yang tengah bertengkar hebat setelah aku kembali ke rumah. Mereka saling berteriak dan semakin membuatku sakit.

“Aku sudah tidak tahan lagi, Mas. Aku mau kita cerai.” Teriakan dari ibu membuatku yang tadinya ingin masuk kamar mengurungkan niatnya. Aku mematung di depan pintu seraya menahan air mataku sekuat tenaga.

“Baik, kalau itu yang kamu mau,” balas ayahku. Aku semakin sakit dibuatnya, bukan karena perceraian mereka saja. Namun, karena mereka saling menyuruh untuk mengambil hak asuh anak. Memangnya, aku tak seberharga itu sampai mereka tak sudi untuk merawatku?

“Tidak, pokoknya kau yang mengasuh Alya.”

“”Ibu, Ayah, cukup,” teriakku yang sudah muak menghadapi mereka. Aku tak sanggup lagi mendengar kalimat menyakitkan lagi dari orang tuaku sendiri.

“Memangnya aku tak berharga, iya? Kalau begitu, buat apa aku ada disini? Tau seperti ini seharusnya kalian tak usah menghadirkan ku saja.”

“Aku tak peduli kalian mau bercerai atau tidak, karena bagiku itu semua sama saja. Aku tak pernah dihargai. Mengapa?” Aku mulai terisak. Hari ini aku akan menumpahkan semua unek-unekku.

“Kalau kalian mau cerai, tinggal cerai saja. Aku sudah besar dan bisa hidup mandiri.”

“Tapi, Alya, kamu masih kecil, kamu masih butuh kami,” ucap Ibu.

Aku tertawa sumbang. “Begitu, ya? Lalu, selama ini kalian kemana saja? Menurut kalian selama ini aku hidup sama siapa? Kalian berdua selalu bekerja dan melupakanku, mengapa masalah kecil seperti itu harus kalian ungkit?”

“Ibu, Ayah. Aku hanya mau bilang, kalau aku kecewa dengan kalian.” Aku masuk kamar dan menutup pintu itu dengan keras. Aku sudah sangat lelah menghadapi kerasnya dunia dan bukannya mendapat dukungan saat pulang sekolah, malah justru sebaliknya. Yang aku butuh kan saat ini hanyalah ketenangan.

Penulis: Fita Arofah

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn