Cerpen – 2019 Debar Ini Masih Milikmu by Siti Khotimatun Hasanah

Cerpen Debar Ini Masih Milikmu by Siti Khotimatun Hasanah

Terkadang terasa begitu dekat,

Terkadang pula terasa amat jauh untuk kujamak.

April 2017 ….

Engkau tak jemu memandangiku. Sesekali perasaan bahagia menyelimuti wajahmu, kemudian berubah menjadi sendu. Begitu berkali-kali. Hatiku diliputi berbagai tanya, tapi tak ada satu pun yang tersampaikan. Berbagai kalimat yang kususun dalam hatiku seolah berhenti sampai kerongkongan. Terasa sangat mengganjal hingga akhirnya kutelan kembali. Menyerah dan pasrah, namun berharap engkau bersuara walau hanya sepatah kata.

Malam semakin larut, tapi tak mengubah apa pun. Kedua matamu yang masih memandangiku, dan aku yang masih menunduk sembari meremas-remas jemariku.

Dua jam bersama tanpa bercengkerama, membiarkan waktu berlalu begitu saja. Lalu apa yang aku dapatkan dari pertemuan ini?

Aku mendongak, melempar senyuman kepadanya tanpa berani melihat wajahnya. Aku pun berlalu, mengakhiri kebisuan malam ini. Dan kau sama sekali tidak mencegahku pergi.

Di ujung pintu kedai ini, aku menghentikan langkah, membalikkan tubuhku dan melihat ke arahmu. Aku mendapati bibirmu yang melengkung dan kedua matamu yang teduh, seolah baru saja menghitung langkah kakiku. Aku tersenyum sekali lagi, lalu benar-benar menghilang dari pandanganmu.

***

April 2018 

Crip-crip-crip ….

Seperti biasa, kicauan burung selalu menemani ritual pagiku. Menikmati secangkir kopi sembari menanti cahaya kuning sang mentari.

Menyaksikan sekawanan burung gereja yang riang terbang ke sana-kemari, bertegur sapa satu dengan yang lainnya, seolah berbagi kabar gembira hari ini. Entahlah apa yang sedang mereka perbincangkan, yang pasti aku tak pernah bosan menyaksikan mereka bercengkerama setiap pagi.

Pandanganku beralih pada secangkir kopi di atas meja tepat di hadapanku, yang sedari tadi sama sekali belum juga kusentuh. Seperti ada seseorang yang sedang kutunggu datang menemuiku dan menemaniku menikmati secangkir kopi ini.

Seketika ingatanku melayang jauh pada kenangan setahun silam, yaitu pada senyumanmu yang selalu menyambutku di setiap pagi, menemaniku menuntaskan ritual pagi dengan berbagai canda dan tawa. Semburat senyummu masih tampak jelas di pelupuk mataku, derai tawamu masih terdengar nyaring di telingaku, dan wajahmu masih terukir dengan sempurna di benakku.

Tes-tes-tes ….

Buliran air mata mulai jatuh bersusulan membasahi pipi. Kubiarkan terus mengalir sembari mengenangmu. Tak jarang hatiku meronta sebab menanggung rindu yang acapkali menyesak di dada. Namun apa mau dikata, hingga detik ini pun belum juga kutemukan sosokmu. Andai saja malam itu tak kubiarkan berlalu dengan membisu, andai saja aku mau memulai berbicara, tentu saat ini setidaknya aku tahu di mana keberadaanmu.

Namun, yang tersisa kini hanyalah bayanganmu, yang terkadang engkau seolah duduk di sampingku, tersenyum padaku, dan meyakinkanku bahwa suatu hari nanti kau pasti akan kembali.

Bayanganmu itulah yang membuatku terus bertahan merindukanmu, dan selalu setia menantimu. Bahkan andai aku tahu kau tidak akan kembali sekalipun, aku akan terus di sini di ruang imaji, di sudut yang paling sepi, bersama bayang-bayangmu.

***

April 2019

Waktu terus berjalan tanpa mengenal kasihan, membawaku pergi jauh dari kenangan 2017 silam. Kini aku telah sampai pada waktu tepat 2 tahun mengenangmu. Selama itu pula aku terus menyimpan rindu ini untukmu. Kubiarkan rindu ini tetap tumbuh di dalam hatiku dan terpelihara dengan baik bersama bayanganmu.

Rindu ini mengajarkan aku tentang kesabaran, dan kesabaran mengajarkan aku untuk akhirnya merelakan. Iya! Merelakanmu pergi dan menerima sepenuhnya bahwa nyaris tak ada kemungkinan kau akan kembali.

Sore ini aku berjalan seorang diri menyusuri jalan raya di mana dulu menjadi saksi kisah antara engkau dan aku. Aku tak tahu arah mana yang akan dituju, kakiku terus melangkah membawa ragaku, dan aku menikmati setiap langkahnya.

Entah mengapa tiba-tiba aku kembali merasakan debaran yang mengagumkan seperti saat bersamamu dulu. Bibirku melengkung merasakan debaran yang datang tiba-tiba, sama sekali tak dapat ku tolak, justru sebaliknya. Aku menyambutnya dengan sukacita. Aku mengambil ponsel di dalam tas, kuhidupkan layarnya dan tampaklah wajahmu yang kupasang menjadi lockscreen di  ponselku sejak dua tahun lalu.

Masih di tepi jalan, aku berdiri dan tersenyum memandangi wajahmu di dalam layar. Debaran yang tadi datang secara tiba-tiba, rupanya ia membawa kebahagiaan sebagai buah tangan.

Saat ini debar dan rindu itu saling bertemu di dalam hatiku. Keduanya saling berpelukan, seketika segala beban luruh digantikan oleh kebahagiaan.

Debar dan rindu saling membisik,

“Rindu ini masih atas namamu”

“Debar ini juga masih milikmu”

Aku tersenyum  merasakan keduanya yang begitu damai. Kugenggam erat bayanganmu, dan tak akan kubiarkan pergi menyusul ragamu, meninggalkan aku di sini seorang diri.

Akan kujaga apa yang saat ini masih tersisa, kubiarkan mereka tetap hidup di dalam hatiku, untuk menemaniku dan untuk sesekali mengenangmu.

Aku bergegas pulang, meninggalkan hiruk pikuk jalanan. Sesampainya di rumah, kembali kususun semua ingatan tentangmu, dan siap kusimpan dengan rapi ke dalam sebuah bingkisan bernama: Kenangan.

Sumber gambar: Ilustrasi gambar ambil di Pinterest, kemudian diedit.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn