
Siang masih berembun, awan-awan menyembunyikan matahari dan menggantinya dengan hujan. Lail pindah pada lahan lain. Senyumnya merekah. Masih ada yang bisa ia syukuri untuk hari ini.
Tanaman singkongnya masih utuh, tak goyah dihujam ribuan butir hujan. Walaupun harganya murah, setidaknya singkong-singkong itu masih memberi kabar bahagia untuknya.
Cerpen – Biarlah Hujan Jatuh by Eva Zulfa Fauziah
Lail pulang, membawa lima singkong yang menjadi bahan percobaan untuk melihat tingkat kematangannya. Dua minggu lagi, singkong itu siap dipanen.
Sana, anak paling dewasa Lail tengah berbaring di kursi, terlihat sangat lemas setelah seharian menyelesaikan waktu untuk persiapan praktik. Apalagi hujan yang tak kunjung reda, membuat hatinya tergesa-gesa segera ingin tiba di atas kasur lepetnya.
Lail tergoda untuk ikut tidur di sampingnya. Namun, tubuhnya penuh tanah. Tidak mungkin ia mengotori kursi yang seminggu lalu baru dibeli. Sana bangun dari tidurnya. Ia tak heran, ibunya sudah pulang, tetapi yang ia heran kenapa tubuh Lail penuh lumpur?
Artikel yang sesuai:
Lail menceritakan kondisi kebun. Sana prihatin dan bimbang. Karena dengan hancurnya kebun, ibunya tidak akan mendapatkan uang. Sedangkan, ujian praktik sudah semakin di depan mata. Namun, ia belum bisa melunasi biayanya.
“Lalu bagaimana dengan biaya study tour, Bu?” tanya Fajar, si bungsu yang sudah mendengar percakapan mereka dari balik pintu.
Lail tetap berusaha tegar. Ia masih ada simpanan yang dirasa akan cukup untuk membayar biaya study tour dan ujian praktik.
Ia mengeluarkan dompet persegi panjang dari lemari. Lalu menghitung banyaknya lembar uang. Hanya cukup untuk biaya praktik si kakak. Lail berbicara kepada kedua anaknya. Namun, penerimaan hanya ada di pihak Sana. Sedangkan Fajar, menampakkan muka kesalnya.






