Cerpen – Bekas Kisah Di Bibir Cangkir by Ardyan Mukhtaram

Cerpen - Bekas Kisah Di Bibir Cangkir by Ardyan Mukhtaram

Awal Oktober, 2018

Malam ini hujan.

Aku duduk di pinggir ranjang, menatapi Rima yang tergesa-gesa merias wajahnya. ia benarkan dress hitam tanpa lengan di depan cermin. Di atas kasur, laptopku masih nyala, menampilkan film Gloomy Sunday yang sedang kujeda.

“Maaf, Re.” Katanya sambil menggulung rambut. Kulitnya yang putih bersih membuat beberapa pagutan terlihat jelas di tengkuk dan juga lengannya.

“Untuk apa?”

“Kesalahan malam ini.”

Kukenakan kaus hitam yang tergantung di tiang ranjang. Mengambil jaket jeans-ku, “Kamu gak salah, Rim.” Aku hendak memberikan jaketku kepadanya, belum berhasil jaket itu berpindah tangan, Rima menyentak. “Re, ini salah!” Rima menatapku, “Kita belum ada hubungan apa-apa tapi sudah melakukan ini!”

Aku tertegun menatapnya. Bulir-bulir air mata berdesakan di matanya. “Sudah jangan temui aku dulu!” tambahnya, seraya membanting pintu.

Akhir September, 2018

Sudah tiga bulan sejak pertama kali Rima tiba di Kota ini. Total kami sudah saling mengenal selama enam bulan. Pertemuan kami di Kedai sore itu membuat kami lebih sering bertemu setelahnya. Kadang kami menikmati sore di Taman. Sekadar menyesap kopi dan menghisap tembakau. Atau keliling kota dengan motor tuaku yang kadang mogok. Tanggal muda kami isi dengan nonton film di bioskop. Mungkin, seminggu bisa tiga sampai empat kali kami nonton.

Akhir bulan ini aku mengajaknya makan sate di tempat langganan kami. Dia bilang tunggu saja di tempat, jangan repot-repot menjemput. Jam pulang kantor tiba. Aku segera bergegas ke warung sate. Sampainya aku di tempat, Rima sudah duduk manis di sudut warung itu bersama dua porsi sate dan nasi yang asapnya masih mengepul.

Tada,” Rima merentangkan tangannya di atas meja. “Aku tau kamu pasti lapar kan?”

“Tumben datang duluan.”

Hmm,” Rima mengetuk-ngetuk telunjuknya di dagu. “Biar kejutan. Tapi, aku kalau telat juga gak lama kan?” jari telunjuknya bergeser ke punggung tanganku. Ia mengetuk-ngetuk dengan kedua alis terangkat menatapku.

Kuangkat kedua bahuku sebagai jawaban. Rima mencubit punggung tanganku. Matanya membulat, lalu ia meringis gemas menunjukan barisan gigi rapi nan putih yang bersembunyi di balik bibir mungilnya.

Kami menikmati sate, tusuk demi tusuk. Tanpa bicara, mungkin karena terlalu lapar, atau karena satenya terlampau enak. Dua porsi sate sekejap berubah tinggal tusuk kayu dan bumbu kacang sisa. Kami mereguk teh tawar hangat. Sama-sama membakar rokok setelahnya.

“Re, aku belum mau pulang.”

“Aku juga, rokokku masih panjang.”

“Ih,” Rima menginjak kakiku. “Maksudnya setelah ini.”

“Mau ke mana?”

“Ke mana saja, aku bosan di rumah.”

Seusai membayar, kuturuti kemauannya. Kami jalan ke Pusat Kota. Melihat gedung-gedung pencakar langit, menghardik pasangan di flyover, atau menyumpah manusia yang tak sabar ketika lampu merah berubah hijau. Aku kehilangan tujuan. Kutanya Rima ingin ke mana. Senyap yang kuterima. Kuulangi. Aku tersentak, helmnya menuburuk belakang helmku. Seperti ayam yang sedang mematuk beras.

“Re, menepi dulu.”

Aku mengejek, Rima mencubit pinggangku. Kami menepi ke warung kopi pinggir jalan. Memesan satu gelas kopi untuk dinikmati berdua. Rima menjelaskan, katanya ia mengantuk karena kekenyangan. Aku tetap mengejek. Cemberut tersirat di wajahnya yang tetap manis.

“Oh iya,” Rima menyesap kopi. “Besok awal bulan kan? Kamu mau ngajak aku nonton apa?”

“Maunya kamu?”

“Kulihat gak ada yang menarik.”

Aku menyulut rokok. “Aku punya beberapa film ‘lama’ di laptop. Mau coba?”

“Boleh.”

“Di … kostan ku?”

Rima mengangguk. Setelah segelas kopi dan sebatang rokok habis, ia minta diantarkan pulang.

Malam ini Rima minta agar diantarkan ke depan masjid dekat rumahnya. Aku bertanya kenapa tidak langsung ke rumah saja. Katanya: di rumah sedang ada acara kumpul keluarga besar. Tapi, kenapa ia memilih pergi denganku? Tak sempat kutanyakan karena Rima seperti ninja yang hilang di kegelapan.

Desember, 2018

Lebih dari sebulan Rima tak ada kabar. Sosial media dan nomor teleponnya juga tak aktif. Rima hilang bagai debu disapu air. Tak juga meninggalkan pesan. Ini adalah kali kelima aku berkunjung ke rumahnya. Sama seperti kunjungan sebelumnya, laki-laki berambut putih menyambut seraya mengatakan: Rima sudah ke Bali.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn