Cerpen – Akhir Sebuah Rasa by Ainurriyah

Cerpen - Akhir Sebuah Rasa by Ainurriyah

Interaksi-interaksi itu terjadi terus-menerus selama beberapa bulan. Selama itu pula benih yang berusaha kubunuh sejak awal pertemuan malah tumbuh semakin subur. Kekaguman yang dulu kurasakan kini berubah menjadi cinta yang semakin hari tumbuh semakin kuat. Namun aku tak memiliki pilihan selain menyimpan perasaan itu dalam-dalam.

Cerpen – Akhir Sebuah Rasa by Ainurriyah

Ah, berbicara tentang cinta. Tak ada yang bisa menebak kepada siapa kita akan menaruh rasa. Pun tak bisa dipaksakan bila pada akhirnya cinta itu tak terbalas oleh tuannya. Presensi cinta memang tak dapat diduga bukan?

Sama seperti yang kurasakan hari itu. Aku bukanlah orang yang mudah untuk menaruh rasa, tapi entah mengapa pertemuanku dengan Hamish telah menghadirkan sesuatu yang berbeda.

Hari itu adalah pertama kalinya aku jatuh sejatuh-jatuhnya ke dalam pesona manik hitam di balik frame kacamata yang Hamish kenakan. Jatuh ke dalam alunan merdu syair yang ia lantunkan. Jatuh ke dalam kesantunan yang rasanya tak dapat siapa saja abaikan.

Pantaskah aku menyebut bahwa jatuh cinta sebelum menikah adalah sebuah ujian? Sedangkan hatiku menyadari perasaan ini lebih pantas untuk disebut sebagai hukuman. Mataku tak mampu menahan kesempatan-kesempatan untuk memandang.

Hatiku mulai menyimpan banyak harapan tatkala kami terlibat berbagai percakapan. Lalu pantaskah aku menyebut bahwa jatuh cinta sebelum menikah adalah ujian? Sedangkan aku menyadari perasaan ini tak lebih dari nafsu yang ingin terus dimanjakan.

Enam bulan berlalu. Tugas kami pun telah usai. Tak ada lagi alasan untuk berinteraksi seperti sedia kala. Perlahan kami pun mulai saling meninggalkan.

“Terima kasih Ayura, senang bekerja sama denganmu. Semoga kita bisa bekerja sama lagi di lain kesempatan.”

Setidaknya itulah kalimat terakhir yang aku dengar darinya sebelum kami benar-benar berpisah.

Pagi ini aku menyempatkan diri membuka instagramku. Postingan pada halaman pertama yang kubuka membuat debaran jantungku seakan bekerja lebih cepat. Tepat di hadapanku saat ini memperlihatkan foto sepasang anak manusia yang berdiri di atas pelaminan sembari memegang buku nikah.

Perlahan aku menyadari, dialah lelaki yang beberapa bulan lalu telah mencuri hatiku. Kini lelaki itu telah mengambil tanggung jawab atas diri wanita yang saat ini berdiri tepat di sampingnya. Hamish telah memilih tulang rusuknya dan itu bukanlah aku.

Aku tersenyum getir. Namun jauh di lubuk hatiku, aku pun merasa sedikit lebih lega. Lantaran doa yang selalu aku langitkan kini benar-benar dikabulkan.

Aku seringkali berdoa, “Ya Allah jika memang dia tercipta untukku, maka jagalah hatinya sampai waktu yang tepat untuk kami bersatu. Tapi jika dia bukan untukku, maka lepaskan perasaan ini, pertemukan dia dengan jodohnya dan pertemukan aku dengan pilihan terbaik-Mu.”

Terima kasih. Setidaknya setelah ini aku bisa beristirahat sebentar. Menyembuhkan setiap luka dan kecewa yang sebenarnya kuciptakan sendiri. Bahkan dalam kisah ini, akulah yang paling bersalah atas segala rasa kecewa yang aku rasakan.

Salahku karena tak membunuh benih patah hati yang tumbuh dari awal kami bertemu. Salahku karena membiarkan hatiku jatuh terlalu dalam ke dasar jurang yang permukaannya keras dan mencekam.

Aku bisa apa, bila akhirnya garis hidup kami memang tak saling bersinggungan. Hidup harus terus berjalan bukan? Dan dia memang bukan tempat yang harus aku jadikan tujuan. Sekian.

Penulis: Ainurriyah

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn