
Mengubah Karya Tulis Ilmiah (KTI) seperti skripsi, tesis, disertasi, atau laporan penelitian menjadi buku memang terdengar sederhana, tetapi prosesnya punya banyak detail teknis yang sering luput diperhatikan. Baik mahasiswa maupun dosen biasanya fokus pada isi dan hasil penelitian, sehingga aspek teknis penulisan buku kerap terabaikan.
Padahal, kesalahan kecil saja bisa membuat naskah kurang nyaman dibaca atau bahkan ditolak oleh penerbit. Nah, apa sajakah detail teknis yang sering terjadi saat mengkonversi KTI menjadi buku tersebut?
Daftar isi
ToggleKesalahan Teknis yang Sering Terjadi saat Mengubah KTI Menjadi Buku
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat kamu temukan pada artikel kali ini. Kami akan secara mendetail memaparkan berbagai kesalahan teknis dalam mengubah KTI menjadi buku, dan berbagai tips praktis yang bisa kamu terapkan. Yuk, simak selengkapnya pads uraian di bawah ini!
1. Menggunakan Struktur KTI Tanpa Penyesuaian
Banyak mahasiswa maupun dosen sering kali langsung memindahkan struktur KTI ke dalam bentuk buku tanpa melakukan adaptasi sama sekali. Padahal, struktur KTI dibuat untuk kebutuhan akademik yang sifatnya formal, sistematis, dan bertujuan menjawab pertanyaan penelitian.
Artikel yang sesuai:
Sedangkan penyajian sebuah buku tidak dengan cara demikian. Buku membutuhkan alur penjelasan yang lebih fleksibel, komunikatif, dan mampu membawa pembaca memahami isi tanpa harus mengikuti format baku yang kaku.
Selain itu, mempertahankan struktur seperti “Pendahuluan, Kajian Teori, Metode Penelitian, Hasil, Pembahasan dan Kesimpulan” justru membuat buku terasa seperti laporan ilmiah biasa. Padahal, pembaca umum tidak membutuhkan seluruh rangkaian proses tersebut.
Pembaca itu mencari insight, inti temuan, serta nilai praktis yang bisa diterapkan dari sebuah buku. Karena itu, penulis perlu memetakan ulang isi menjadi bab-bab tematis yang runtut dan menarik, bukan sekadar menyalin struktur akademik.
2. Bahasa Terlalu Kaku dan Penuh Istilah Akademik
Kesalahan teknis dalam mengubah KTI menjadi buku berikutnya yaitu terkait penggunaan bahasa. Beberapa penulis masih menggunakan bahasa yang terlalu kaku dan penuh istilah ilmiah atau akademik yang membuat pembaca sulit memahami isi bukunya.
Kesalahan ini umumnya terjadi karena penulis merasa bahwa bahasa buku harus tetap mengikuti standar akademik. Akibatnya, kalimat menjadi panjang, padat, dan sulit dipahami oleh pembaca umum.
Gaya bahasa seperti ini memang sebenarnya tepat untuk KTI, tetapi tidak cocok untuk buku yang ingin menjangkau pembaca lebih luas. Intinya begini, buku menuntut bahasa yang lebih hidup, komunikatif, dan mengalir, meskipun tetap mempertahankan akurasi dan profesionalitas.
Selain itu, penggunaan istilah teknis tanpa penjelasan membuat pembaca cepat lelah. Jika istilah tertentu memang penting, kamu perlu menjelaskannya secara sederhana atau memberikan contoh konkret agar pembaca bisa memahami konteksnya.
3. Tidak Menghilangkan atau Menyederhanakan Bagian Akademik yang Tidak Relevan
Dalam KTI, bagian seperti rumusan masalah, batasan penelitian, manfaat penelitian, hingga metode penelitian memiliki fungsi penting untuk membuktikan validitas ilmiah. Namun, saat diubah menjadi buku, bagian ini tidak lagi diperlukan secara lengkap.
Buku seharusnya fokus pada inti gagasan dan insight hasil penelitian, bukan proses yang terlalu teknis. Misalnya, alih-alih menjabarkan metode penelitian secara formal, kamu bisa menyederhanakannya menjadi penjelasan ringan, seperti:
- bagaimana penelitian dilakukan
- apa tantangannya
- dan mengapa temuan tersebut penting
Penyederhanaan seperti di atas akan membuat buku lebih mudah dicerna dan tetap informatif. Sehingga pembaca bisa dengan mudah memahami isi bukumu tersebut.
4. Menampilkan Data Mentah Tanpa Visualisasi
Data dalam KTI sering berupa tabel panjang, perhitungan statistik, dan lampiran mentah. Ketika diubah menjadi buku, banyak penulis lupa bahwa pembaca umum tidak memiliki kebutuhan untuk membaca data mentah tersebut. Akibatnya, buku terlihat berat, membosankan, dan terkesan seperti laporan penelitian.
Nah seharusnya pada buku, data ditampilkan secara ringkas dan diberikan visual pendukung. Kamu juga bisa menambahkan grafik sederhana, tabel ringkas, atau ilustrasi naratif sehingga pembaca mudah memahami temuan dari penelitianmu tersebut.
Oh iya, visualisasi itu tidak hanya berguna untuk menyampaikan data dengan lebih mudah, tapi juga membuat bukumu jadi lebih menarik secara estetika. Nah, dengan demikian pengalaman pembaca jadi lebih menyenangkan.
5. Tidak Menyusun Ulang Alur Agar Lebih Storytelling

Buku berbeda dengan KTI karena membutuhkan alur yang mengalir seperti cerita. Banyak penulis lupa untuk mengubah gaya penjelasan mereka sehingga bab-bab dalam buku tetap kaku dan kurang mengalir.
Padahal, pembaca buku menyukai alur yang memandu mereka secara perlahan. Mulai dari konteks masalah, proses yang terjadi, temuan penting, hingga insight-nya.
Storytelling ini tidak berarti mengurangi kualitas ilmiah. Justru, pendekatan naratif membantu temuan penelitian menjadi lebih mudah diingat dan lebih berdampak. Yang mana ketika penulis berhasil menyusun ulang alur cerita, pembaca akan merasa lebih menikmati setiap bab dan memahami makna penelitian dengan lebih mendalam.
6. Tidak Melakukan Paraphrasing yang Cukup
Banyak naskah hasil konversi KTI masih terlalu mirip dengan versi aslinya. Yaitu tersusun dengan kalimat yang panjang, paragraf padat, serta struktur penjelasan yang formal. Ini menjadi masalah karena pembaca buku membutuhkan gaya bahasa yang lebih fleksibel, komunikatif, dan mudah dipahami.
Nah, paraphrasing bukan hanya memendekkan kalimat, tetapi juga menyusun ulang cara penyampaian gagasan agar lebih humanis dan relevan bagi pembaca. Dengan melakukan paraphrasing menyeluruh, penulis bisa membuat buku terasa lebih hidup, lebih personal, dan lebih enak dibaca tanpa kehilangan esensi penelitian.
7. Referensi Dibiarkan Seperti Format KTI
KTI menggunakan gaya sitasi formal seperti APA, MLA, atau Chicago yang tampilannya kaku dan panjang. Namun, ketika diubah menjadi buku, format tersebut tidak lagi sesuai.
Sayangnya, banyak penulis tetap membiarkan daftar pustaka versi akademik dimasukkan ke dalam naskah buku. Dampaknya yaitu membuat tampilannya jadi kurang estetik dan tidak ramah pembaca.
Untuk sebuah buku, referensi sebaiknya disederhanakan. Kamu cukup mencantumkan sumber penting yang relevan dan benar-benar mendukung isi.
Jika perlu, kutipan atau rujukan bisa dimasukkan ke dalam catatan kaki yang lebih ringkas. Penyederhanaan ini membuat buku terasa lebih rapi dan profesional.
8. Terlalu Banyak Kutipan Langsung
Dalam KTI, kutipan langsung digunakan untuk memperkuat argumen ilmiah. Namun ketika diubah menjadi buku, terlalu banyak kutipan justru membuat tulisan kehilangan suara personal penulisnya.
Sebenarnya, kutipan tetap boleh digunakan, tetapi harus dibatasi dan ditempatkan secara strategis. Fokus utamanya adalah interpretasi penulis, insight temuan, dan pengalaman penelitian yang dapat memberikan nilai tambah bagi pembaca. Semakin personal dan reflektif gaya tulisannya, semakin kuat karakter buku tersebut.
9. Tidak Melakukan Editing dan Proofreading Khusus Buku
Kesalahan teknis dalam mengubah KTI menjadi buku berikutnya yaitu tidak melakukan proses editing dan proofreading secara profesional. Profesional di sini berarti penulis perlu menyerahkan naskah hasil konversinya kepada editor dan proofreader profesional.
Mereka akan membantu memperbaiki naskah hasil konversimu dalam berbagai segi. Mulai dari penyesuaian gaya, alur, dan struktur agar sesuai standar buku.
Lalu, proofreading juga diperlukan untuk memastikan tidak ada kesalahan ejaan, inkonsistensi format, atau kekeliruan teknis lainnya. Tanpa proses editing dan proofreading yang matang, kualitas buku menjadi kurang maksimal dan terkesan kurang profesional.
Nah, itulah berbagai kesalahan teknis saat mengubah KTI menjadi buku. Semoga beberapa kesalahan yang sering dilakukan oleh penulis di atas bisa menjadi pelajaran untuk kamu yang akan melakukan konversi KTI, ya.
Oh iya, jika kamu ingin hasil yang maksimal dan tidak terlalu membutuhkan waktu lama dalam proses konversi, maka kamu bisa menggunakan jasa konversi KTI. Salah satu jasa konversi KTI terpercaya dapat kamu temukan di Detak Pustaka.
Detak Pustaka sendiri pun menyediakan dua layanan konversi KTI. Yaitu jasa terbit konversi dan jasa konversi KTI gratis HaKI.
Dengan jasa terbit konversi ini, karya ilmiahmu akan diubah menjadi buku ber-ISBN. Lalu, untuk jasa konversi KTI gratis HaKI ini, selain bukumu terbit dengan ISBN, karyamu pun akan memperoleh sertifikat HaKI.
Dengan demikian, buku hasil konversi yang kamu terbitkan lebih terlindungi. Jika kamu tertarik atau ingin tanya-tanya/konsultasi, kamu bisa langsung menghubungi link berikut: Jasa konversi KTI menjadi buku.






