
Waktu di sekitarku berjalan begitu cepat. Pesat sekali hingga aku hampir melupakan Lia kalau saja ia tidak menggenggam tanganku.
Aku segera berlari menuju UGD setelah tadi salah satu temanku datang membawa kabar yang tidak mengenakkan. Yang kami cari, nyatanya tidak lagi berada di sana.
“Mas, doa dulu. Semoga teman Mas salah lihat.” Lia dengan hati-hati mencoba menenangkanku setibanya kami di depan ruangan yang tadi aku dan Lia sempat lewati.
Aku menghela napas panjang, panjang sekali seolah duniaku benar-benar akan segera berhenti. Langkahku pun begitu berat seakan enggan mengetahui kebenaran, tetapi tak rela dipandang iba oleh petugas rumah sakit yang telah menunggu di dalam.
Petugas dengan pakaian medis lengkap tersebut membuka pelan lembaran kain putih yang menutupi sosok yang terbujur kaku. Napasku tertahan, memastikan sosok pucat itu bukanlah orang yang kukenal. Namun, untuk kedua kalinya dalam seumur hidup, duniaku runtuh begitu saja ketika melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa yang terbaring di sana adalah kepala keluargaku.





