Sacha tercengang mendengar itu. Selama ini, Claretta tak pernah menyinggung apapun soal itu.
“Makanya aku sering buat perahu-perahuan, berharap itu bisa sembuhin rasa rindu yang menggebu ini.” Claretta tersenyum hambar. “Kami pernah bermimpi bakal naik perahu berdua, menjelajahi luasnya samudra juga merajut asa yang sama.
Tapi semua itu sekarang hanyalah mimpi di siang bolong yang mungkin dia sendiri udah lupa sama mimpi yang pernah dia janjikan.” Ia tertawa miris di akhir kalimatnya.
Tanpa sadar, air mata Sacha menetes. Ia menepuk-nepuk pundak Claretta.
“Bagi kamu membuat perahu-perahuan itu mungkin nggak berarti sama sekali, bahkan kekanak-kanakan bagai bocah yang masa kecilnya kurang bahagia.
Artikel yang sesuai:
Beda dengan aku yang menganggapnya itu berarti banget. Ya … walau kutahu dia nggak akan kembali di kehidupanku, setidaknya ini sebagai pelipur lara dan mengobati rinduku padanya.
Aku berharap, Aidil baik-baik saja di pelabuhan yang telah dipilihnya,” jelasnya sambil tersenyum hangat pada Sacha.
“Jangan men-jugde hal yang menurutmu sepele, Cha. Pandangan setiap orang berbeda dan nggak selalu sama. Jadi tolong, jangan larang aku untuk terus buat perahu-perahuan ini selama itu nggak merugikan siapapun.”
Sacha mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Meluruh sudah air matanya semakin deras jatuh di pipi chubby-nya.
Ia pun segera memeluk sahabatnya itu dengan erat di tengah embusan angin laut yang kian kencang serta baskara yang mulai menghilang digantikan oleh rembulan serta gemintang.
Penulis : Karina Hayya