Sesuai rencana gadis bermata cokelat itu, kini kaki mereka berdua sudah berada di antara pasir pantai yang menggelitik telapak kaki. Embusan anginnya cukup kencang, tetapi terasa sejuk bagi mereka.
Senyum Claretta terus mengembang, seakan bebannya hilang begitu saja. Pun dengan Sacha, gadis berpipi chubby itu tak henti-hentinya tertawa lepas. Mereka berdua berlarian di bibir pantai.
Terkadang hanya berdiam diri menunggu datangnya ombak yang pasang surut. Indahnya ciptaan Tuhan ini sungguh memanjakan mata membuat siapapun betah berlama-lama memandangnya.
“Aidil … aku ada di sini, di pantai yang kamu janjikan bahwa kita berdua akan kesini bersama,” gumam Claretta dengan pandangan kosong. Ia yakin bahwa tak ada yang bisa mendengar suaranya.
Namun sepertinya, Sacha memiliki pendengaran yang cukup tajam untuk mendengarkan suara sepelan itu di tengah riuhnya deburan ombak. “Aidil?”
Artikel yang sesuai:
Claretta langsung menoleh pada Sacha di samping kirinya yang tengah menaikkan sebelah alisnya. Ia membulatkan matanya dan segera memalingkan wajah. Langkah kakinya membawa gadis bermata cokelat itu pergi menghindari Sacha.
Yang dihindari hanya terdiam membeku di tempat, tak mengerti dengan pikiran Claretta.
Mentari kini sudah berada di ufuk barat. Dua gadis itu merasa lelah, tetapi rupanya belum ada bosan-bosannya bermain dengan alam.
Tangan Claretta masuk ke tas ranselnya, mengeluarkan dua buah origami warna biru dan kuning yang ukurannya lebih besar dari biasanya lalu mulai membuat perahu.
Lagi-lagi Sacha hanya terdiam, lama-lama ia terbiasa dengan kebiasaan aneh sahabatnya itu.
Tak sampai lima menit, dua perahu kertas buatan Claretta pun jadi. Senyumnya mengembang sempurna. Netranya memandang air laut berwarna biru keemasan itu, menatapnya penuh arti.
Claretta menghela napas berat. “Perahuku dan perahunya berbeda. Pelabuhanku dan pelabuhannya tak lagi sama. Titipkan salamku padanya, ya.
Berlayarlah membawa harapan baik untukku.” Dengan perlahan ia melarungkan dua perahu buatannya itu ke laut, membiarkannya dibawa ombak.
Perahu origami itu berlayar mengikuti arus. Sejauh ini pandangan Claretta pun tak luput dari origaminya yang terus berlayar tak tentu arah.
Selama itu pula Sacha terus mengerutkan keningnya. Ia masih bingung dengan semua ini. Baginya ini hal sepele yang memiliki arti mendalam bagi sahabatnya, tetapi sulit untuk ia terjemahkan membuatnya pusing sendiri jika terus memikirkannya.
“Mungkin udah saatnya aku jelasin ke kamu, Cha, siapa dia.”
Sacha yang duduk di sebelah Claretta masih terdiam, menunggu sahabatnya itu kembali berbicara.
“Kamu pasti terus bertanya-tanya siapa Aidil, dan kenapa aku selalu buat perahu-perahuan,” ucap Claretta yang dijawab anggukan oleh Sacha.
“Dia, Aidil, seseorang dari masa lalu yang masih kusayangi sampai detik ini pernah berjanji untuk ke pantai ini sama aku. Tapi belum sempat impian itu terwujud, dia pergi tinggalin aku.”