Cerpen – Rahasia Antara Aku dan Semesta by Andini Mayangpuri

Cerpen - Rahasia Antara Aku dan Semesta by Andini Mayangpuri

Bagiku, om Zein adalah segalanya. Kami memang tidak memiliki ikatan darah—karena dia adik angkat ayah. Namun, semenjak ayah pergi, om Zein lah yang menjadi sosok ayah dan ibu untukku. Di waktu yang lain, ia juga bisa menjadi sahabat dan kakak yang menyenangkan, meski terkadang bertingkah aneh.

“Ganteng mana om Zein sama Zayn Malik?” tanyanya suatu hari.

Aku hanya menanggapinya dengan terbahak, ‘Tentu saja Zayn Malik’ maksud tawaku—walaupun dia juga tidak kalah tampan. Saat itu usiaku enam belas, dan om Zein dua puluh tujuh. Usia kami terpaut sebelas tahun. Tetapi terkadang tingkahnya lebih absurd dari remaja seusiaku.

Kini usiaku delapan belas, om Zein dua puluh sembilan. Tidak ada yang berubah diantara kami. Kecuali perasaan aneh yang mulai menjalar di dalam hatiku. Entah kenapa aku selalu merasa seperti ada kupu-kupu beterbangan di perutku setiap kali om Zein memegang tangan, atau mengacak poniku. Padahal dia memang biasa seperti itu.

Sore ini sepulang sekolah, seperti biasa dia menjemputku. Ia melambaikan tangan dan tersenyum lebar saat melihatku berjalan ke arah mobilnya.

“Gimana sekolahnya hari ini?” tanyanya sambil melajukan mobil keluar gerbang sekolah.

“Ya gitu deh, seru tapi capek Om,” keluhku. Dia tertawa mengejek. Menyebalkan memang.

“Makan es krim yuk!” ajaknya.

Aku langsung sumringah mendengar tawarannya. Dengan semangat aku menganggukkan kepala, dan lagi-lagi dia tertawa sambil mengacak rambutku pelan. Aku segera memalingkan wajah ke arah jendela dan pura-pura marah untuk menutupi pipiku yang merona.

Kemacetan menghambat laju kendaraan kami. Aku masih asyik memandang ke arah jendela. Lalu, serpihan memori yang tersimpan dari masa lalu mulai bertalu-talu dalam kepalaku.

April 2010, kesehatan ayah semakin memburuk. Kanker di otaknya sudah mencapai stadium tiga. Berbagai upaya telah dilakukan. Tetapi semua itu tidak dapat menyembuhkannya. Tiga minggu kemudian, ayah pergi untuk selama-lamanya. Untuk kedua kalinya, aku ditinggalkan oleh orang paling berharga dalam hidupku. Umurku dua belas tahun, dan aku tidak punya siapa-siapa lagi, selain om Zein.

‘Tapi … gimana kalau om Zein juga pergi?’ Pertanyaan itu menggema di kepalaku.

“Kita udah sampai,” kata om Zein, membuyarkan lamunanku. Aku menatap mata cokelatnya.

“Ada apa?” tanyanya.

“Om … janji ya nggak akan ninggalin aku sendirian,” pintaku.

“Hei … kenapa kamu jadi tiba-tiba mellow gini?” tanyanya kebingungan. Aku masih menatapnya dengan serius. Dia tersenyum lembut.

“Iya, om janji, nggak akan pernah ninggalin kamu sendirian,” ucapnya sambil mengacungkan jari kelingkingnya. Dan jari kelingking kami pun bertautan.

Aku mulai salah tingkah ketika dia menatapku dengan lekat. Sebelum dia menyadarinya, aku melepaskan jemari kami dan langsung memasuki kedai es krim dengan tergesa-gesa.

“Yang terakhir sampai ke dalam harus traktir pokoknya,” teriakku dengan nada jahil, setengah gugup. Sekilas aku melihat dia tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Makanya jangan lari-lari, ngos-ngosan kan jadinya,” omelnya saat melihat aku kelelahan. Meski begitu, ia tetap menyodorkan sehelai tisu. Aku mengambilnya dan hanya menyengir.

“Pelan-pelan makannya,” omelnya lagi saat aku mulai melahap es krim sundae di hadapanku. Lagi-lagi, aku hanya menyengir tak bersalah. Kalau sedang seperti ini, dia mirip dengan ibu-ibu yang sedang mengomeli anaknya. Bedanya, dia sangat menggemaskan. Ah, tapi … omong-omong soal ibu, aku sangat merindukannya. Aku menelan ludah dan memberanikan diri berkata, “Om … aku ingin ketemu sama ibu. Emm … apa om tau ibu tinggal dimana?”

Aku mulai dicekam rasa takut ketika melihatnya mengeraskan rahang. Ya, dia memang tidak menyukai topik pembicaraan mengenai ibu. Semenjak menceritakan tentang sikap buruk ibu terhadap aku dan ayah, om Zein memang tidak pernah mau lagi membicarakan segala hal tentangnya. Mungkin seharusnya aku tidak mengatakan hal itu tadi, tapi kerinduan ini sangat membuncah dan aku tidak dapat menahannya lagi.

“Bukannya Om udah pernah bilang sama kamu? Jangan pernah bahas soal perempuan itu lagi!” bentaknya. Aku terkejut melihat reaksinya.

Tunggu … apa aku tidak salah dengar? Om Zein baru saja membentakku? Di depan umum? Apa itu tidak berlebihan? Pandanganku mulai buram, terhalang genangan air yang siap tumpah.

“Om nggak punya hak untuk ngelarang aku ketemu sama ibu kandung aku sendiri!” ucapku dengan suara bergetar.
Aku mengusap air mata dan berlari meninggalkan kedai es krim itu. Ada banyak pasang mata yang memperhatikan, tetapi aku tidak peduli. Aku terus berlari tak tentu arah, sejauh mungkin meninggalkan tempat ini. Gumpalan awan hitam mulai menumpahkan hujan ke bumi. Aku menengadahkan pandangan. Perasaan sedih, kesal, kecewa, rindu, bercampur menjadi satu. Sama seperti awan hitam itu, aku pun menumpahkan segala beban yang menghimpit dan mulai menangis.

“Kenapa hidup ini tidak adil? Kenapa aku harus kehilangan ayah dan ibu?” tanyaku di sela-sela isak tangis.

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn