Cerpen – Tahun Kekecewaan by Rachel Grifith Charisa Wijaya

Cerpen - Tahun Kekecewaan by Rachel Grifith Charisa Wijaya

“Kita butuh banyak kepala unit dan saya merekomendasikan kamu menjadi salah satunya. Saya udah bilang ke kepala divisi dan beliau setuju.” ucap Bu Priska.

“Tapi Bu saya kayaknya belum mampu deh. Apa Ibu yakin rekomendasikan saya?”

“Saya udah lihat kerja kamu selama ini. Saya dan kepala divisi sangat puas dengan kinerja kamu jadi kami rasa kamu udah siap untuk naik ke level selanjutnya.”

“Tapi Bu, semua kepala unit di bank kita dari universitas yang bagus. Tapi saya kuliah di universitas yang biasa.”

“Aduh Keiko hal kayak gitu kenapa masih dipikirin sih. Siapa yang peduli kamu kuliah dimana, kamu bisa kuliah sambil kerja waktu itu aja udah suatu prestasi lho.”

Keiko merasa tenang dengan ucapan Bu Priska. Akhirnya Keiko mengikuti uji kelayakan untuk menjadi kepala unit. Mulai dari ujian tertulis, ujian praktek dan yang terakhir adalah wawancara. Keiko berhasil melalui kedua ujian dengan nilai yang memuaskan. Ada perasaan senang dan bangga pada dirinya sendiri kalau dia akan menjadi kepala unit.

Awal Desember tahun 2019, Keiko sudah selesai mengikuti ujian wawancara. Dia berjalan menuju taman di atap kantor yang pasti sepi. Keiko menghela napas panjang dan airmata mulai mengalir. Dia menutup mulut dengan tangan agar tangisannya tidak pecah. Tiba – tiba pundak Keiko dirangkul oleh Bu Priska yang ternyata mengejarnya.

“Kei, aku enggak tahu kalau Bu Direktur akan melempar pertanyaan seperti itu.”

Keiko menatap Bu Priska sambil menangis “Aku enggak punya uang buat kuliah di universitas yang bagus, Bu. Aku aja kuliah sambil kerja.” Keiko mengusap wajahnya lalu berkata “Apa semua lulusan universitas di situ jelek semua, Bu? Aku salah apa Bu?”
Tangisan Keiko semakin pecah.

Bu Priska memeluk Keiko lalu menepuk punggungnya perlahan “Bukan salahmu, Kei.”

Bu Direktur bertanya soal kredibilitas universitas tempat Keiko kuliah yang kurang bagus. Bu Direktur juga mempertanyakan kemampuan Keiko memimpin bawahan karena umurnya yang masih 27 tahun dianggap terlalu muda menjadi kepala unit di bank ini. Hasil akhirnya, Keiko tidak disetujui untuk menjadi kepala unit.

Baru saja Keiko ingin membuktikan pada dunia kalau kehidupannya yang selama ini menyedihkan tidak membuat Keiko menjadi orang biasa. Dia bisa menjadi orang yang hebat dengan menjadi kepala unit. Namun sekali lagi, pisau kekecewaan mencabik hidupnya dan merusak harapan yang Keiko miliki untuk sebuah kehidupan yang lebih baik.

Bulan Maret tahun 2021, dengan sepatu pantofel berhak rendah, Keiko berjalan cepat di Taman Yeouido di Seoul. Seseorang sudah menunggunya sejak satu jam yang lalu. Sudah hampir setahun, Keiko berada di Seoul karena dimutasi oleh kantor untuk bekerja di kantor pusat.

Awalnya, Keiko sulit beradaptasi dengan budaya kerja dan kehidupan di Seoul namun ada seseorang yang membantunya. Beberapa bulan berlalu, Keiko sudah nyaman dengan kehidupan di Korea termasuk lingkungan kerjanya.

“Jae!” seru Keiko pada seorang pemuda berkacamata yang sedang menunggu.

Jae adalah seseorang yang membantu Keiko sejak datang ke Korea. Dia adalah teman kantor yang sudah berpacaran dengan Keiko selama empat bulan ini.

“Kenapa enggak ganti sepatu keds sih?” Jae mengeluarkan sepatu keds berwarna biru tua lalu memakaikannya pada Keiko.

“Enggak usah, Jae.” Keiko hendak memindahkan kakinya tapi Jae tetap memegang kakinya sambil berkata “Kalau kamu jalan pakai sepatu itu, kakimu akan sakit.”

Keiko tersenyum lalu berkata “Maaf ya aku telat datang tadi aku habis dimarahi sama Mr Kim karena hasil pekerjaanku enggak sesuai sama yang dia mau.”

“Kamu bisa berusaha lagi nanti supaya sesuai dengan yang Mr Kim mau.” Jae berdiri lalu berkata “Kamu kecewa ya? Karena kamu sampai begadang mengerjakan tugas itu.”

Keiko mengangguk pelan “Aku pikir udah sempurna hasilnya.”

Mereka berjalan bersama sambil bergandengan tangan, Jae berkata “Kamu dan aku pernah mengalami kekecewaan berkali – kali.

Kalau sekarang kita masih bisa berdiri di sini artinya kita manusia kuat. Kalau sekarang atau nanti, kita mengalami kekecewaan lagi, kita enggak boleh takut dan menyerah.”

Dia bertemu dengan Jae yang juga pernah mengalami kekecewaan hidup selama beberapa kali. Walaupun sikap Jae terkesan dingin dan ketus tapi sejak awal dia peduli pada Keiko. Mereka menjadi teman dekat sampai akhirnya pacaran.

“Kita enggak bisa hidup di masa lalu. Harus berani melangkah ke depan.” Keiko menatap Jae lalu tersenyum.
Jae ikut tersenyum “Kita melangkah bersama ya.”

Setelah semua rasa sakit dan kecewa yang dialaminya, Keiko menerima banyak hadiah dari Tuhan. Tapi masa depan penuh dengan ketidakpastian yang mungkin berisi banyak kekecewaan. Ketika itu terjadi, Keiko tahu apa yang harus dia lakukan. Tersenyum dan katakan “aku sudah lebih kuat dari sebelumnya.”

Penulis: Rachel Grifith Charisa Wijaya

WhatsApp
Facebook
Twitter
LinkedIn