
Keadaan dunia bagaikan emosi seseorang yang diobrak-abrik oleh kejamnya situasi. Ia menangis, ia kecewa, ia juga marah. Ombak besar yang entah dari mana asalnya, telah menghancurkan harapan dunia. Waktu terasa berhenti, tetapi kenyataannya ia tetap berjalan. Bumi seakan tidak berputar, tetapi nyatanya ia tetap beraktivitas seperti biasanya.
Semua mata memandang jauh ke depan, tidak ada satupun yang dapat melihat akhirnya, periode ombak ini seperti tiada ujungnya, sampai seluruh mata perih dibuatnya. Haruskah kita memejamkan mata dan menghapus seluruh harapan yang ada?
Detik jam terus berputar, jarum jam menunjukkan pukul 08.40 pagi. Kegiatan kampus yang menjadi rutinitasku baru-baru ini membuatku bersemangat. Segera kubuka laptop lusuh hasil pemberian pamanku ini dan memulai kegiatan pertemuan daring seperti biasanya.
Pertemuan kami hanya sebatas saling menatap layar, aku melihat semua temanku yang muncul disana, mata mereka seperti menampilkan pandangan penuh harap. Mata mereka bersemangat, tetapi tampak seperti bunga indah yang sedang layu.
Bau masakan dari dapur tercium sampai di kamarku, sepertinya ibu sedang membuat sambal untuk jualannya.
Suara tangis adikku yang merengek karena tak ingin ikut kelas daring juga terdengar jelas sampai layar laptop seluruh peserta pertemuan daring hari ini, kejadian seperti ini bukan hal yang asing lagi, ketika kita melakukan pertemuan daring dan lupa mematikan mikrofon. Kelas pertama untuk hari ini sudah selesai, satu jam lagi kelas kedua akan dimulai.
Artikel yang sesuai:
Sambil menunggu, aku mengambil makanan dari dapur untuk dibawa ke teras depan rumah. Kebetulan bapak membuat kursi dari bambu untuk bersantai di depan rumah.
Alasan mengapa aku memilih untuk makan di teras adalah karena suasananya sangat nyaman. Angin sepoi-sepoi membelai halus ketika aku menginjakkan kaki di teras, dan yang paling kusuka adalah suara deburan ombak pantai yang menenangkan pikiran.
Oh iya! Aku sampai lupa memberikan informasi bahwa rumahku ini dekat dengan pantai, sekitar 1 kilometer saja dari rumah. Pantai Karimun Jawa namanya. Ayahku bekerja sebagai nelayan dan ibuku selalu membuat apapun yang bisa dijual kepada pengunjung pantai ini.
Biasanya ibuku akan merangkai kerang untuk dijadikan aksesoris, menjual batu karang kecil yang bapak dapatkan ketika mengarungi laut, dan juga menjual dodol rumput laut hasil UKM setempat.
Namun, karena saat ini keadaan dunia sedang tidak baik-baik saja, dagangan ibuku jadi tidak laku dan akhirnya ibuku beralih profesi menjadi penjual sambal untuk dititipkan di warung sekitaran rumah. Jujur saja hati kecilku merindukan keramaian pengunjung pantai ini, biasanya pantai akan mulai ramai bahkan saat pukul enam pagi.
Dagangan ibuku juga pasti ramai, aku kerap kali membantu melayani pembeli setelah pulang dari sekolah. Berangan-angan seperti ini, membuat dadaku sesak. Aku ingin memejamkan mata dan ketika aku membuka kembali mataku, situasi dunia telah berubah. Namun, sayangnya itu hanya keinginanku, tidak mungkin terwujud.
Baru saja aku mau bergabung ke dalam ruang zoom meeting, tapi tiba-tiba dep… Yah! Listriknya padam.
“Bapak, ini pemadaman listriknya sampai kapan?” aku bertanya sambil menghampiri bapak yang sedang minum teh di ruang tamu.
“Kata pak RW, mungkin sampai tiga hari ke depan, nduk.”
“Loh pak, ini jaringannya juga hilang, memangnya lagi ada perbaikan?”
“Iya, nduk. Kabel jaringan di daerah kita mau diperbaiki lagi, soalnya bulan ini pemerintah ngasih kita dana bantuan, dan karena kebutuhan desa yang mendesak saat ini adalah soal jaringan internet maka Kepala Desa kita memutuskan untuk secepatnya memperbaiki kualitas kabel jaringan kita.”
“Padahal besok jadwalku presentasi, pak,” keluhku sambil menahan tangis.
“Ya sudah, sabar dulu… Nanti bapak tanyakan ke balai desa, apa boleh kamu belajar disana…”
“Nggih, pak.”
Aku menghela nafas panjang, inilah problematika pembelajaran yang fokus kebutuhan utamanya adalah koneksi internet, di daerah seperti rumahku ini sangat susah sinyal, terkadang harus ke balai desa dahulu supaya dapat koneksi internet yang lancar.
Tiba-tiba bapak menghampiriku di dapur, dan bertanya, “Nduk, mau nggak ikut bapak ke laut?”
“Bapak mau cari ikan? Tapi aku masih membantu ibu sekarang.”
Sudah, ikut saja. Bapak mau ngajak kamu jalan-jalan,” ujar ibu sambil mewadahi sambal dagangannya ke dalam toples kecil.
Aku pun menyetujui ajakan bapak, dan mulai bersiap-siap. Bapak menyuruhku untuk mendorong perahunya agar masuk ke dalam air. Hanya kami berdua yang berusaha mengeluarkan perahu itu sehingga terasa sangat berat, kira-kira seperti mendorong dua lemari di saat yang bersamaan.
Keindahan Pantai Karimun Jawa sudah tidak perlu diragukan lagi, air lautnya sangat jernih, terumbu karang di bawah laut pun dapat terlihat dari atas perahu. Angin sepoi-sepoinya menambah kenikmatan mengarungi laut ini.
Hamparan langit biru dihiasi awan bak bulu kapas, membuatku sangat bersyukur karena terlahir dari daerah ini. Ya, inilah daerah kampung halamanku, yang memiliki potensi SDA melimpah dan pantai yang sangat eksotis.
“Nduk, sudah sangat lama, ya, tidak jalan-jalan seperti ini.”
“Iya, pak. Kita seperti punya pulau pribadi!”
“Suasana tenang seperti ini nggak kamu rindukan?”
“Ya sudah pasti rindu dong, pak. Biasanya kan ada banyak pengunjung, suasananya pasti ramai, pantai pun akan dikuasai oleh pengunjung.”
“Iya, nduk. Jam segini, kita biasanya lagi kalang kabut melayani pengunjung. Nggak ada waktu lagi untuk bisa menikmati keindahan alam dari Sang Pencipta ini.”
Aku merenungkan perkataan bapak, sudah 18 tahun aku tinggal di daerah ini, tetapi bisa dihitung dengan jari, kapan saja aku mensyukuri potensi alam daerahku ini. Dan tambahan lagi, terakhir kali aku jalan-jalan seperti ini, sudah sekitar 10 tahun yang lalu.
Saat itu pantai ini memang masih belum dikenal oleh masyarakat luar, sehingga aku dan keluargaku sering sekali datang ke pantai setiap sore hari untuk melihat matahari terbenam. Aku dan adikku membuat istana pasir yang kemudian dengan mudahnya dihancurkan oleh bapak dengan lemparan segumpal pasir pantai, tak lama kemudian kami bermain kejar-kejaran di sepanjang bibir pantai, di bawah langit sore yang indah.
Tak terasa memori itu sudah terkubur dalam sekali, dan baru kali ini aku menggalinya lagi.
“Pak, lihat pak! Ada penyu!”
“Wah! Iya, nduk. Itu sepertinya penyu sisik,” bapak sampai membungkukkan badannya mendekati air untuk memastikan apakah itu benar-benar penyu sisik.
“Ini pertama kalinya aku lihat penyu sisik terlihat dari atas perahu, biasanya jarang sekali kan, pak, terlihat oleh manusia begini?”
“Benar, nduk. Penyu ini sudah dikatakan langka. Bapak saja baru melihatnya lagi di alam setelah sekian tahun lamanya.”
Aku tersenyum bahagia melihat kehadiran penyu sisik itu. Bapak juga terlihat girang sekali disapa oleh penyu sisik yang langka ini.
“Pak, bapak tahu tidak kalau ada lumba-lumba berwarna merah muda yang melompat naik ke atas permukaan?”
“Memangnya ada nduk? Bapak ga pernah tahu kalau ada lumba-lumba warna merah muda di dunia ini,” bapak mengernyitkan dahinya, ia seperti mencoba mencari memori yang bahkan tidak tersimpan di kepalanya.
“Ada pak! Tapi bapak percaya tidak?”
“Bapak percaya… Dulu bapak pernah bercerita tentang penyu sisik ini ke kamu dan adikmu, tapi kalian bilang bahwa penyu sisik itu sudah tidak ada lagi di alamnya, seolah-seolah omongan bapak itu hanya mitos. Tapi sekarang terbukti ada kan? Maka dari itu bapak juga percaya bahwa lumba-lumba merah muda itu ada.
Di dunia ini banyak sekali flora dan fauna yang tidak kita ketahui, karena memang sudah mengalami kepunahan. Itulah akibat perbuatan manusia yang egois terhadap alam ini,” nada bicara bapak seperti kesal dan kecewa.
“Iya, pak. Lalu kenapa penyu dan lumba-lumba itu terlihat kembali di hadapan manusia?”
“Pandemi yang sedang terjadi saat ini memang membawa kesedihan bagi seluruh manusia di dunia ini, tapi kamu lihat tidak, awan di atasmu itu nampak lebih biru? Udara yang sedang kita nikmati saat ini terasa lebih segar? Bahkan hewan-hewan seperti penyu sisik dan lumba-lumba merah muda terlihat memperoleh kebebasannya.
Ini karena saat ini manusia tidak lagi menguasai alam, manusia disibukkan dengan virus dan harus mempertahankan dirinya dari seleksi alam. Kalau dilihat-lihat lagi, pandemi ini membawa berkah juga ya? Bukan untuk manusia, tapi untuk alam ini.”
Aku terdiam seribu bahasa mendengar ucapan bapak. Ternyata selama ini aku salah jika melihat sesuatu hanya dari satu sisi saja. Sejauh ini aku memendam rasa marah dan seolah-olah ingin meledakkan amarah itu dihadapan seluruh dunia.
Dadaku yang selalu sesak, saat ini seperti menemukan celahnya kembali. Aku menyadari, bukankah selama ini manusia memang selalu egois terhadap alam ini? Manusia merusak alam secara brutal, mengambil hak hidup makhluk lain dan membiarkan alam ini menahan rasa sakitnya sendiri.
Alam memang selalu punya cara untuk menangis dan marah. Aku rasa saat ini alam sedang marah dan mengobati dirinya yang sedang terluka. Mencoba menghadirkan kembali tawa yang sudah lama hilang, dan meraih kebebasan yang dinanti ratusan tahun lamanya.
Awalnya aku memang ingin memejamkan mataku dan berharap situasi dunia berubah secepat mungkin, selama ini aku menahan rasa sakit sehingga tidak mampu membuka mataku untuk melihat situasi dunia ini. Namun, sekarang tidak lagi.
Aku ingin membuka mataku selebar-lebarnya untuk menyaksikan alam ini tersenyum kembali. Aku ingin menikmati lukisan indah ini. Aku ingin menyimpan memori tentang hari ini di memoriku yang paling dalam, sehingga suatu saat nanti ketika aku merasakan sesak yang sama, aku bisa sedikit melonggarkan celah yang ada di dadaku.
Tentu saja, hal seperti ini tidak akan berlangsung lama, baik situasi sedih dunia ini maupun senyum indah alam ini. Aku tidak begitu yakin sampai kapan ombak besar ini akan terus berlanjut, tetapi aku bisa meyakinkan diriku sendiri, bahwa situasi yang kita hadapi saat ini tidak sepenuhnya buruk dan semata-mata hanya membawa kesedihan dan malapetaka.
Di sisi lain, ada keindahan yang sudah lama tidak terlihat oleh jutaan pasang mata di dunia. Aku harap, dunia ini… alam ini… dapat tersenyum di waktu yang bersamaan suatu hari nanti. Aku tidak tahu kapan waktu itu akan datang, tetapi yang pasti aku tidak akan memejamkan mataku dan menghapus seluruh harapan yang ada.
Penulis: Aura Syifa Maulana Winardi