Tidak Semua Sarjana Harus Bekerja Kantor by Dilla Hardina

Tidak Semua Sarjana Harus Bekerja Kantor

Menyandang status mahasiswa memang menjadi suatu kebanggaan tersendiri karena tidak semua orang dapat merasakan manisnya menempuh ilmu di bangku perkuliahan. Pada dasarnya, orang yang tidak kuliah itu belum tentu karena terhalang finansial, namun bisa juga karena faktor lain.

Entah karena ingin langsung bekerja, meneruskan usaha ortu, atau bahkan memang sama sekali tidak memiliki minat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Apapun alasannya, bagiku itu tidak masalah karena yang terpenting adalah kita dapat bertanggung jawab terhadap pilihan hidup kita sendiri.

Aku sendiri merupakan fresh graduate jebolan salah satu PTKIN di Jawa Timur yang baru lulus di pertengahan tahun 2021 ini. Cukup senang karena akhirnya bisa lulus tepat waktu, sehingga tidak perlu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan bisa melepas tanggung jawab dengan tenang.

Meskipun sudah lulus, rupanya tantangan hidup akan selalu ada. Memang harus diakui bahwa hidup akan selalu dihadapkan pada berbagai pilihan, dan kita harus memilih salah satu untuk dijalani dengan sepenuh hati.

Tidak Semua Sarjana Harus Bekerja Kantor

Saat teman-teman sudah pada kerja kantoran, aku lebih memilih untuk kerja secara freelance di rumah dengan cara menghasilkan tulisan.

Pekerjaan ini telah aku lakukan sejak semester lima, dan aku bersyukur bisa jajan, nongkrong, dan beli buku dari penghasilanku sendiri. Selama dua tahun bekerja, orang tuaku tidak tahu kalau aku bekerja hanya dengan mengandalkan laptop dan Internet.

Maksudku, aku tidak perlu datang ke kantor atau ke tempat kerja lain untuk memeras keringat dan menukarnya dengan uang yang tidak seberapa. Mungkin, penghasilanku dari menulis saat ini juga masih tak seberapa. Tapi, pekerjaan ini adalah impian sejak lama dan kupikir aku harus mewujudkannya.

Namun pada saat, sudah lulus begini, rasanya aku menjadi aneh sendiri karena bekerja dari rumah. Keanehan ini bukan karena pekerjaan yang aku lakukan, tapi karena pandangan konservatif dari para tetangga bahkan juga orang tuaku.

Mereka berpikiran bahwa lulusan sarjana harusnya bisa bekerja di luar, minimal harus bisa kerja kantoran atau mungkin jadi guru jika jurusannya ilmu keguruan.

“Udah lulus, ya? Nggak kerja?”.

Tidak terhitung lagi berapa orang yang bertanya seperti itu kepadaku. Saat kujawab bahwa aku bekerja secara online, mereka selalu terdiam, seakan sedang berpikir.

“Kerja online apa? Olshop kah?”.

Aku seperti bisa mendengar pertanyaan mereka dari dalam hati yang semakin jelas dengan ekspresi tidak yakin yang tercetak jelas di muka mereka.

Seakan-akan, bekerja di rumah bukan sesuatu yang menghasilkan uang dan tidak keren. Orang tuaku tidak kalah konservatif dari para tetanggaku. Ibuku sendiri berpikiran bahwa kerja kantoran adalah suatu hal yang membanggakan.

Kerja memakai seragam, bernaung di bawah instansi atau perusahaan, dan tentu saja “ngantor” adalah cita-cita ibuku untuk anak-anaknya kelak. Aku tidak menampik bahwa aku tidak bisa memenuhi ekspekstasi ibuku tersebut.

Karena itu impiannya, bukan impianku. Mengapa aku tidak ingin kerja kantoran? Pada dasarnya, aku kurang senang jika harus bekerja bersama orang banyak. Sebelum kuliah, aku sudah pernah bekerja di tempat orang, dan kupikir itu bukan sesuatu yang harus kuteruskan.

Aku juga tidak suka bekerja di bawah tekanan karena menurutku itu sangat membatasi ruang gerakku. Itu seperti aku melakukan sesuatu bukan atas dasar kemauan sendiri, tetapi kemauan orang lain.

Dan aku harus menuruti kemauannya untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Bekerja di tempat orang lain, berarti kita membantu si bos untuk membesarkan bisnisnya atau organisasinya. Memang, reward akan selalu ada untuk orang-orang yang berprestasi di kantor.

Tapi, percayalah bahwa reward itu tidak seberapa dengan rasa hormat yang didapat oleh kepala atau bos di kantor tersebut. Mungkin, banyak yang tidak setuju dengan pemikiranku ini karena yaa. Aku tahu bahwa tidak semua yang aku pikirkan  benar.

Hanya saja, inilah prinsipku dan aku tidak ingin seseorang mendikteku untuk melakukan ini atau itu. Pada usiaku yang sudah 20+ ini aku berhak memilih jalan hidup dan menentukan masa depanku sendiri.

Aku juga mencoba untuk tidak pesimis ketika dibandingkan dengan tetangga atau saudara yang punya karir bagus dan mungkin masa depan cerah. Menjalani hidup yang biasa dan apa adanya.

Tidak perlu pakai seragam, ngantor, motor dinas, dan makan siang gratis. Itulah kehidupan yang aku pilih.Yang aku perlukan adalah hidup dengan cara yang bebas tanpa terikat waktu dan tempat.

Aku bebas menentukan sendiri jam kerjaku, tempat bekerjaku, dan waktu santaiku. Saat pagi, aku tidak perlu tergesa-gesa untuk mandi dan berhadapan dengan kemacetan di jalan raya. Aku juga tidak perlu bertemu atau berurusan dengan orang-orang yang tidak kusukai.

Aku tidak perlu berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki pemikiran tidak sama denganku yang dapat menimbulkan rasa kecewa dan sakit hati. Dengan bekerja di rumah, berarti aku melindungi diriku sendiri dari hal-hal tidak baik.

Karena aku sangat menyayangi diriku, aku memutuskan untuk bekerja secara personal, sehingga aku tetap bisa menjaga prinsip hidupku. Seperti halnya kata Soe Hok Gie, “Saya akan memutuskan untuk bertahan dengan prinsip-prinsip saya, lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemungkinan”.

Aku seolah mampu memahami Gie, seakan dia adalah kawan dekatku. Kata-katanya bahkan sangat relevan terhadap kehidupanku di masa kini, sehingga aku merasa tidak sendirian dalam memilih jalan hidup yang sunyi ini.

Biarkan yang lain pada bekerja di luar, sedangkan aku akan tetap menjadikan hobiku sebagai profesi di rumah. Aku akan tetap membaca buku, menulis konten, dan jika memungkinkan akan menulis buku. Aku adalah manusia bebas, seperti halnya kata Simone de Beauvoir, “Dan betapa nikmatnya hidup tanpa perintah, tak ada yang mengontrol!”

Ditulis Oleh: @hardina08

Tinggalkan Komentar