Dia telah pergi
Membawa lebih dari separuh hatiku
Karenanya, kemarau menjadi selalu bermusim lebih panjang di dadaku
Manalah mungkin setetes air matamu sanggup membasahi dadaku yang kerontang
Usahlah engkau menanam benih baru
Bak berharap bunga tumbuh di batu karang
***
Enyahlah, wahai tuan yang asing…
Kau bukan petani yang kuharapkan menggarap ladang di dadaku
Ladang ini milik tuanku
Tak terbersit setitik pun untuk menggadaikannya
***
Biarlah ia kerontang
Nanti… bila tuanku kembali
Ia akan kembali subur lagi
Menyemai benih-benih baru
Dengan rindu sebagai pupuknya
Kelak… aku dan tuanku bersama-sama memetik manisnya kesetiaan
***
Enyahlah, wahai tuan yang asing…
Aku sungguh perempuan keras kepala
Yang tak mengenal kalkulasi berapa lama aku menunggunya
***
Berbagai musim datang dan berlalu
Tapi tak ada musim yang berani singgah ke dadaku, kecuali kemarau
Mereka bekerja sama menghormati kesetianku
***
Maka, tak bisakah kau pergi jua?
***
Bangunlah, pergilah…
Perempuan-perempuan manis di sudut sana
Lebih patut kau datangi, dibanding aku si perempuan keras kepala yang menanti tuannya, meski tak tahu di mana rimbanya~
Penulis: Siti Khotimatun Hasanah