Dedaunan kering berjatuhan di atas tanah tempatku berpijak, terbawa tiupan angin yang sebenarnya tak begitu kencang. Dalam sekejap, daun-daun berwarna cokelat mendominasi jalanan, teras rumah, bahkan masuk ke dalam parit yang bila dibiarkan terus-menerus akan menghambat saluran pembuangan air.
Dulu, aku menganggap dedaunan itu hanya sebatas sampah saja, maka untuk mengatasinya aku hanya menyapu kemudian membuangnya ke dalam drum sampah depan rumah.
Opini – Berkah dari Sampah by Sheilla Primawidya
Bagaimana kalau sekarang? Pandanganku sudah sedikit berubah semenjak memutuskan untuk memulai mengompos. Daun-daun gugur itu bagaikan barang istimewa bagiku.
Tiap kali aku melihat tumpukan daun kering di sekitar rumah, pinggir jalan juga di pasar, aku selalu berkata dalam hati alangkah baiknya kalau tumpukan daun yang disebut sampah itu mereka masukkan ke dalam komposter alih-alih dibakar.
Selain dapat mengurangi sampah tentunya juga ramah bagi lingkungan. Daun kering sendiri termasuk sampah organik cokelat yang dapat terurai secara alami. Hasil akhirnya nanti berupa kompos yang sudah pasti sangat bermanfaat bagi kesuburan tanah.
Sudah hampir 1 tahun lamanya aku melakukan pengomposan di rumah. Selama itu juga aku terus belajar bagaimana cara mengompos yang benar, entah itu dari media sosial, buku, majalah sampai bertanya pada yang sudah berhasil dalam dunia kompos mengompos.
Awal memulai memang kesannya sulit dan agak sedikit kotor bagi beberapa orang, begitu juga denganku dulu. Tapi lambat laun itu sudah menjadi kebiasaan menyenangkan untuk dilakukan.
Aku selalu menyediakan wadah khusus untuk menampung sisa potongan dari sayuran dan buah yang tidak dipakai seperti kulit buah, ampas saat membuat jus, bonggol buah, dll.
Selain itu juga ada ampas kopi dan teh, cangkang telur, dedaunan hijau hasil pemangkasan dari kebun juga aku sisihkan untuk dimasukkan dalam komposter (wadah untuk mengompos).
Hal-hal yang kusebutkan tadi merupakan unsur hijau yang perlu ada dalam pembuatan kompos dan mengandung unsur karbon.
Selain unsur karbon/ unsur hijau, ada unsur lain yang diperlukan dalam mengompos yaitu unsur cokelat yang mengandung nitrogen. Unsur cokelat juga banyak sekali terdapat di sekitar kita, seringnya dianggap sampah tapi sebenarnya itu berharga sekali.
Contohnya seperti daun kering tadi, lalu bisa juga serbuk gergaji, kertas bekas, kardus bekas wadah telur, ranting pohon, bahkan sekam padi juga bisa. Baru mulai mengumpulkan bahan-bahan mengompos saja sudah membuatku senang.
Mengapa? Karena sampah di rumahku jadi berkurang drastis, begitu juga di halaman depan rumah, tidak ada lagi daun-daun kering yang berserakan dan memenuhi tempat sampah, itu berarti aku juga telah mengurangi pasokan sampah yang akan dibuang ke TPA.
Bagiku, proses yang terjadi selama pengomposan sungguh menakjubkan. Bayangkan, dari sampah organik cokelat (seperti daun kering) dan sampah organik hijau (sering juga disebut sisa konsumsi seperti buah dan sayur) yang kita kumpulkan akan terjadi pelapukan (dekomposisi) yang kemudian terurai menjadi bahan yang lebih kecil, tidak berbau, serta mengandung unsur hara yang baik bagi tanah.
Tanah yang subur tentunya sangat berpengaruh terhadap tanaman yang kita tanam, sehingga menghasilkan buah dan sayur yang sehat pula. Istilahnya adalah dari alam kembali lagi ke alam itu sendiri.
Aku memilih menggunakan metode aerobik saat mengompos, di mana aku melibatkan oksigen dalam pembuatan komposnya. Menurutku metode ini praktis untuk dilakukan di rumah dan tidak menimbulkan gas metana (CH4) sehingga dirasa aman.
Hal utama yang perlu diperhatikan sebelum mulai mengompos yaitu pastikan ketersediaan bahan yang akan dibuat kompos. Caranya tentu saja dengan rajin menyisihkan sisa konsumsi organik kita di wadah khusus. Biasanya aku terlebih dahulu mencacahnya menjadi lebih kecil untuk mempermudah proses penguraian.
Perbandingan yang kugunakan saat mengisi komposter yaitu 30% unsur hijau: 70% unsur cokelat. Bahan pertama yang aku masukkan ke dalam komposter yaitu sampah dedaunan kering lalu masukkan sampah sisa konsumsi dari dapur yang telah kucacah tadi alias unsur hijaunya. Begitu seterusnya selang-seling antara unsur cokelat dan unsur hijau.
Unsur cokelat harus lebih banyak agar kompos yang kuhasilkan terjaga kelembabannya (tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah). Untuk mempercepat proses pengomposan, biasanya sesekali aku beri siraman air cucian beras sebagai bioaktivatornya.
Selang beberapa hari aku kembali mengisi komposterku dengan sampah organik baru. Seperti yang kubilang sebelumnya, hal menakjubkan terjadi saat kubuka komposter. Daun-daun dan sisa buah yang mulanya berbentuk padat kini sudah mulai membusuk dan menyusut. Setelah kuisi dengan sampah organik baru, aku lalu mengambil sekop kecil.
Alat itu kugunakan untuk mengaduk-aduk kompos yang berada di dalam wadah. Pengadukan yang kulakukan sangat penting guna memasukkan oksigen ke sela-sela kompos (metode aerobik) juga untuk membuat kompos lebih poros alias tidak terlalu padat. Kegiatan diakhiri dengan menutup komposter.
Aku sudah tidak sabar menanti hari memanen kompos. Kompos yang sudah matang mempunyai ciri warna dan bau yang menyerupai tanah yaitu berwarna hitam dan beraroma khas tanah, selain itu jika dipegang kompos tidak lagi terasa panas.
Bila komposku sudah matang nanti, aku akan mengaplikasikannya untuk beberapa tanamanku agar nutrisi tanahnya tercukupi dan subur. Dengan begitu, insyaallah buah dan sayur yang dihasilkan jauh lebih baik.
Penulis: Sheilla Primawidya