Oleh: Wahyu Zhafira
Kebanyakan orang jika mendengar kata dolly pasti akan memicingkan mata, mengernyitkan kening, dan berkata “lapo kon rono? (ngapain kamu kesana?)”. Dari ekspresi dan pertanyaannya pun kita bisa menilai bahwa image Dolly masih buruk, masih sebagai tempat lokalisasi, dan masi sebagai tempat yang hina. Padahal Dolly sekarang bukanlah Dolly yang dulu.
Kondisi Gang Dolly yang Sekarang
Tak banyak orang tau tentang Dolly yang sekarang. Yang melekat dibenak kebanyakan orang tetaplah Dolly sebagai tempat dengan kegiatan yang kurang pantas. Dolly sebagai tempat lokalisasi, tempat hina, dan masih tak pantas untuk dikunjungi. Padahal penilaian itu salah.
Berawal dari aku yang banyak ingin tahu, yang suka hal baru, yang suka tempat baru, dan aku yang suka jalan-jalan. Saat itu aku sebagai mahasiswi semester tujuh dan akan melakukan kegiatan magang di salah satu instansi pemerintah kota Surabaya.
Menjelang pelaksanaan kegiatan magang, aku menuliskan apa saja tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi di kota pahlawan itu. Seketika terlintas dibenak dan keingin tahuan yang kuat untuk melihat wajah baru dolly. Setelah itu kujadikan Dolly sebagai destinasi tempat yang wajib dikunjungi dalam listku.
Sabtu Minggu menjadi hari bebasku sebagai anak magang. Karena tak ada kegiatan dan hanya berdiam di kamar kos, kebosanan menghampiri dan aku bingung harus berbuat apa. Aji, teman magangku merasakan hal yang sama denganku. Ya, kami bosan.
Surga Dunia di Surabaya
Seketika itu ia menghubungiku dan mengajakku jalan-jalan entah kemana, kita hanya ingin keluar dari kos berharap rasa bosan kami menghilang. Bingung mau kemana dan berbuat apa aku mengusulkan untuk mengunjungi gang Dolly. Sebelum ia kaget dan bertanya-tanya kujelaskan terlebih dahulu bagaimana keunikan dan kemenarikan disana yang pernah aku dengar.
Beruntung sekali ia langsung tertarik dan mau kesana. Tepat pukul 1 siang kami beranjak, dan mulai mencari lokasi Dolly. Kami yang buta Surabaya akhirnya menggunakan aplikasi google maps. Satu jam berlalu dan kami pun sampai, tapi tidak benar-benar sampai. Kami masih harus mencari lokasi Dolly yang sebenarnya.
Karena tidak ada petunjuk apapun, sehingga bertanya adalah satu-satunya cara untuk mengetahui letak lokasi Gang Dolly. “pak gang dolly ten pundi nggih? (pak Gang Dolly dimana ya?)” tanyaku pada tukang becak, ia hanya menunjuk ke salah satu arah tanpa berbicara satu kata pun.
Kami segera berterimakasih dan melanjutkan pencarian kami. Kami pun mulai menyusuri jalan dengan sesekali menengok ke kanan dan ke kiri melihat satu persatu gang yang kami lewati. Sekilas kami melihat gang-gang yang penuh dengan coretan-coretan kreatif muralnya. Tembok-tembok bermural menjadi pegangan kami dalam mencari lokasi Dolly.
Kami yang bingung harus kemana dan bertanya pada siapa akhirnya memutuskan untuk mengunjungi salah satu UKM terkenal di Dolly, yaitu Tempe Bang Jarwo. Kami masuki setiap gang, terus dan terus sampai akhirnya kita menemukan lokasi Tempe Bang Jarwo.
Menguak Gang Dolly yang Sekarang
Huft, sedikit merasa lega. Kami tak tahu respon warga eks-Dolly termasuk Bang Jarwo akan seperti apa pada pengunjung seperti kami yang hanya sekedar ingin tahu tentang Dolly dan tentang cerita-cerita baru Dolly, bukan seorang wartawan atau seorang penulis yang mungkin akan memberikan dampak pada mereka.
Tak muluk-muluk harapan kami, disambut dengan senyuman saja kami sudah sangat bersyukur. Pintu rumah sederhana itu mulai terbuka dan seorang laki-laki tersenyum lebar sambil mempersilahkan kami masuk. Berjabat tangan, perkenalan, dan akhirnya memulai pembicaraan.
Kami tak menyebut diri kami mahasiswa, bukan pula penulis, atau wartawan, namun sambutan beliau sangat-sangat diluar ekspektasi. Keramahan dan keterbukaan yang diberikan sangat membuat kami kagum. Bahkan beliau mengajak kami untuk berkeliling di daerah dolly dan mengunjungi beberapa UKM yang ada disana. Jelas kami tak menolak dan bahkan sangat senang.
UKM Orumi adalah UKM yang ditunjukkan bang Jarwo kepada kami. Lokasi Tempe Bang Jaro dengan Orumi tidak terlalalu jauh, hanya berbeda gang saja. Dalam perjalanan menuju Orumi kami masih bertanya-tanya dimana sebenarnya lokasi dolly? tempat prostitusinya dimana? Bentuknya seperti apa? Belum terbayang sama sekali karena yang kami lewati dari awal kami berangkat sampai ke lokasi Tempe Bang Jarwo hanya gang-gang yang penuh dengan rumah dan penuh dengan coretan indah muralnya.
Kami tetap mengikuti Bang Jarwo yang lumayan gesit mengendari sepeda motor. Sesekali ia menengok kebelakang memastikan kami tetap mengikutinya. Kami mulai memasuki gang dan disambut dengan pemandangan yang damai menurutku, pemandangan anak-anak yang bermain dan berlarian riang di gang ini.
Bang Jarwo mulai menghentikan motornya, dan memberi isyarat pada kami bahwa kita sudah sampai. Kami pun turun dari motor dan mengikuti bang jarwo yang masuk di salah satu rumah dengan gelagatnya yang santai, seperti rumah sendiri. Seorang pria paruh baya dengan perawakannya yang tinggi dan bertopi pun keluar menyambut bang Jarwo dengan santai. Nampaknya mereka memiliki hubungan yang erat.
Beliau mulai mempersilahkan kami duduk dan kami pun mulai berbincang-bincang. Oh ternyata Orumi adalah rumput laut yang diolah sedemikian rupa hingga menjadi minuman dalam kemasan, dan ternyata bapak-bapak itu adalah pemilik Orumi sekaligus pak RT daerah itu, pak Beni namanya.
Tak hanya Tempe Bang Jarwo dan Orumi saja UKM di daerah Dolly, “ada UKM Batik, telur asin, Samijali kenal toh pasti sama keripik samijali?, terus ada sepatu, sandal dan masih banyak lagi mbak UKM disini, nanti kalo ngga kemalaman biar dianterin itu sama bang Jarwo” jelasnya pada kami.
Kebingunganku tentang lokasi dolly yang sebenarnya mulai aku tanyakan. “ya disini ini mbak, dari mulai ujung gang besar yang ada gapura yang mbaknya masuk itu, sampai kebelakang sana dan disetiap gangnya, luas sekali mbak bingung saya jelasinnya hahaha” cerita pak Beni sambil menunjuk ke arah-arah yang ia maksud.
“kalau yang terbesar dan kelas elit itu di daerah sekitar Barbara. Itu kelas menengah ke atas lah. Kalau di daerah sini ini bisa dikatakan menengah ke bawah. Hahaha…” lanjutnya memberi penjelasan. “dulu nggak ada anak kecil
main-main di gang kayak gitu mbak, nggak berani.
Pasti di rumah diam. Soalnya di gang-gang ini banyak orang lewat dan kadang ada yang mabok juga. Bahayalah kalo buat anak kecil main. Dulu juga gak tenang seperti ini mbak, waah rame pokoknya, antar sound satu dengan sound yang lain ini banter-banteran suaranya, dan Alhamdulillah sekali bu Risma (Walikota Surabaya) berani menutup dolly ini, padahal sudah sejak lama Dolly akan di tutup.
Tapi baru berhasil ya sekarang ini”. “Oooh berarti pak beni ini pro ya sama penutupan Dolly?” tanyaku memancing,
“iya mbak, ini bang Jarwo ini yang kontra. Gak setuju dia kalau Dolly di tutup” jawabnya sambil bercanda. Seperti itulah pembicaraan kami, sangat santai dan begitu mengalir bersama bang Jarwo dan pak Beni yang humoris.
Pak Beni yang sangat senang membagi informasi kepada kami menceritakan bahwa beliau dan bang Jarwo dulu tidak seakrab ini, karena bang Jarwo dulu sangat menolak penutupan lokalisasi Dolly sedangkan pak Beni sangat mendukung penutupan lokalisasi Dolly.
“Bang Jarwo ini dulu sampai dikejar-kejar loh sama polisi saking menentangnya dia sama penutupan Dolly ini mbak” terang pak Beni. Bang Jarwo pun yang sedang di kejar-kejar polisi mengamankan diri ke rumah saudaranya di Sidoarjo. “Kebetulan Saudara saya itu produksi tempe mbak, nah disana saya diajari untuk membuat tempe” bang Jarwo menjelaskan.
Bagaimanapun juga bang Jarwo harus menerima akan ditutupnya lokalisasi Dolly dan merelakan pekerjaannya sebagai penjual kopi dimana uang sangat mudah ia dapatkan. Tempe menjadi salah satu jalan keluar bang Jarwo dalam mencari nafkah meski tidak semudah dulu.
“sedikit tapi mungkin lebih berkah” kata bang Jarwo. Dengan sama-sama memiliki UKM dan sama-sama ingin Dolly lebih baik akhirnya bang Jarwo dan pak Beni pun sangat akrab. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 4 sore. Bagaimanapun juga percakapan kami harus di akhiri, padahal masih banyak lagi cerita-cerita menarik tentang Dolly.
Karena sudah terlalu sore dan tak sempat untuk mengunjungi satu persatu UKM yang ada di Dolly bang Jarwo pun menawarkan kami untuk berkeliling daerah Dolly. Kami mulai beranjak dengan mengendarai sepeda motor, sesekali bang Jarwo memelankan sepedanya dan menunjuk pada salah satu gedung dengan menjelaskan lokasi apa itu dan berubah menjadi apa.
Dolly Sudah Berubah
Bak guide tour, bang Jarwo sangat bangga menjelaskan tentang perubahan-perubahan itu. Yang awalnya wisma berubah menjadi taman bermain untuk anak-anak, yang awalnya wisma berubah menjadi lokasi usaha, sampai Barbara yang merupakan wisma terbesar dan elit itu pun sudah berubah menjadi lokasi usaha bordir yang dapat dikatakan berkelas di Dolly ini.
Perjalanan kami berakhir di Dolly Saiki Point, adalah toko souvenir yang menyediakan semua hasil produksi warga Dolly, mulai dari batik, sepatu, sandal, minuman, lukisan, dan semua hasil produksi warga Dolly. Kunjungan kami sudah berakhir, dan semua pertanyaanku sudah terjawab.
Ternyata Dolly sangat luas dan banyak sekali bekas-bekas wisma disana. Wajar jika dulu disebut sebagai tempat lokalisasi terbesar di Asia Tenggara. Pemikiran masyarakat tentang Dolly yang masih negatif itu salah. Berkunjung dan membicarakan tentang Dolly dianggap tabu itu salah. Dolly sudah berubah.
Dolly pantas dikunjungi sebagai wisata yang menyimpan banyak cerita tentang perubahannya. Dan Dolly sangatlah menarik jika kita melirik dan mengulik. Kami sangat kagum. Kagum dengan semua perjalanan Dolly, kagum dengan perjuangan warga Dolly, dan kagum dengan perubahan Dolly.
Cerita-cerita dan penjelasan-penjelasan yang disampaikan pada kami mampu membuat kami takjub bahkan ikut bangga dengan semua yang terjadi di Dolly. Dolly sudah berubah, Dolly punya cerita, dan Dolly bukan untuk di cela. Berubah itu tidak mudah, apalagi merubah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan. Proses memang selalu dibutuhkan, jadi mari kita dukung suatu proses.
Dolly baru saja berubah, Dolly juga sedang berproses, jadi apa salahnya kita berkunjung? Apa salahnya kita mendukung? Dan Apa salahnya kita kagum?. Jangan hanya berpacu dengan cerita lama, lirik dan ulik akan
membuat kita tertarik.