“Aku baru saja membunuh,” ucapnya bangga
“Aku baru saja membunuh,” ucapnya lagi dengan airmata
Lalu dia jatuh
“Kenapa aku membunuh?” gumamnya
—
Angin malam mungkin bukan hal yang bagus bagi seorang siswi SMA yang hanya mengenakan seragam sekolah dengan rok selutut. Dia jelas kedinginan, tapi persetan dengan itu semua. Dia masih setia berdiri di pinggir atap rumah sakit, membiarkan angin menerpa rambutnya yang terurai; merelakan angin mengusap wajahnya yang sayu.
Ve namanya.
Dia hampir saja lompat pada tiga detik berikutnya jika saja satu suara itu tak membuat kakinya kembali kaku. Ve mengutuk dalam hati, padahal sedikit saja lagi. Sedikit saja lagi dia berhasil berpisah dengan kehidupan yang sangat ia benci ini.
Siapa makhluk kurang ajar yang menghentikannya itu?
“Mau lompat?” Suara itu yang berhasil menggagalkan usaha Ve untuk lompat.
Dia menoleh pada asal suara. Seorang lelaki dengan rambut yang berantakan berdiri di dekat pintu atap. Dia mengenakan seragam juga seperti Ve, hanya saja dia terlihat lebih suram. Kemejanya yang dikeluarkan terlihat sangat kusut. Tali sepatunya lepas dan sepertinya dia tak berniat untuk mengikatnya kembali.
Ve tidak merespon pertanyaan lelaki itu, dia memilih untuk kembali menatap ke depan. Bukankah sudah sangat jelas? Siapapun yang melihat pasti tahu bahwa Ve berniat untuk mengakhiri hidupnya. Dan lelaki sialan itu baru saja menghentikannya.
Suasana yang sepi membuat indera pendengaran Ve menjadi lebih peka. Dapat didengarnya dengan jelas suara langkah kaki yang sedang mendekat ke arahnya. Lalu dengan cepat Ve menoleh pada lelaki itu lagi.
“Jangan mendekat,” ucapnya. “Jangan mendekat atau aku lompat sekarang juga,” lanjutnya
Lelaki itu mengangkat kedua bahunya. “Lompat aja.”
Ve sedikit terkejut. Lelaki ini benar-benar tidak keberatan jika harus menjadi saksi mata bunuh diri? Atau bagaimana jika dia dituduh membunuh jika Fy lompat lalu mati?
“Kamu … gak takut? Kamu gak peduli kalau aku lompat?”
“Enggak kayaknya.” Lelaki itu kembali berjalan hingga dia benar-benar berada di sebelah Ve saat ini. Menatap jalanan depan rumah sakit yang semakin sepi.
“Mau bunuh diri juga?”
“Keliatannya bagaimana?” Lelaki itu menjawab tanpa menoleh pada si penanya.
“Keliatannya kamu lebih menyedihkan daripada aku.”
Bukannya marah, lelaki itu justru tergelak. “Kamu udah pernah nyobain bakso lava?”
“Belum,” jawab Ve heran. Kenapa dia bertanya?
“Udah pernah ke dufan?”
“Belum.”
“Udah pernah belajar merajut?”
“Belum,” jawab Ve setengah kesal.
“Udah pernah dapet nilai nol waktu ulangan?”
Ve berdecak kesal. “Belum! Kenapa, sih, nanya-nanya?”
“Ya, penasaran aja. Ternyata, ada banyak hal ya yang belum kamu coba. Kamu pasti bakal mati dengan banyak penyesalan.”
“Aku bakal lebih menyesal kalo harus hidup lebih lama lagi.”
Lelaki itu kini telah berganti ekspresi di wajahnya. Senyum yang tadi ia pasang lebar-lebar kini berganti menjadi wajah datar dengan tatapan sayu.
“Seandainya aja nyawa bisa dikasih ke orang lain. Seenggaknya kematian kita bisa bermanfaat.”
Ve diam mendengarkan ucapan lelaki itu. Benar juga. Seandainya nyawa yang tidak dia inginkan ini bisa dia berikan pada orang yang lebih menginginkan. Orang-orang yang setidaknya lebih beruntung dari dia.
“Nama kamu siapa?” Suara lelaki itu kembali memecah keheningan di antara mereka.
“Ve.”
“Kalo aku Ali.”
“Gak nanya.”
Lelaki bernama Ali itu tergelak untuk kedua kalinya. “Dari banyaknya cara bunuh diri, kenapa kamu milih lompat dari atap rumah sakit?”
“Karena paling mudah, tinggal lompat, udah deh. Kalo kamu sendiri kenapa?”
“Karena …” Suara Ali memelan, bingung harus menjawab apa.
“Karena?” Sementara Ve tidak sabaran mendengar jawabannya.
“Karena seseorang pernah mati di sini.”
Ve tertegun sebentar. Menunggu kalimat berikutnya yang akan Ali ucapkan.
“Kamu gak pernah denger tentang Anak SMA yang mati bunuh diri di sini?” tanya Ali
Ve menggeleng.
“Kejadiannya tiga tahun lalu. Dia anak SMA seusia kita. Waktu itu pukul sebelas lewat sepuluh malam, waktu mayatnya ditemukan tergeletak di sana.” Telunjuk Ali mengarah ke arah bawah.
“Dia pasti bahagia sekarang.” Ve menanggapi.
“Menurut kamu Ve, kita benar-benar pengen mati atau cuman cape hidup?”
“Bukannya sama aja?”
“Beda dong. Contohnya nih ya, kamu lomba maraton, setelah cukup jauh tiba-tiba kamu berhenti. Kira-kira kamu berhenti karena ngerasa capek atau karena gak mau lari lagi? Pilih yang lebih masuk akal.”
“Karena … capek?”
“Nah, sama kayak hidup. Kalo ngerasa capek sama hidup ini, istirahat aja sebentar. Bukannya malah gak mau hidup lagi.”
“Bukannya kamu mau bunuh diri juga? Ngapain sok-sokan nasehatin aku.”
“Karena lebih gampang nasehatin orang lain daripada nasehatin diri sendiri.”
Lagi-lagi Ve tidak merespon apa-apa. Membuat suasana kembali hening.
“Ve, jangan bunuh diri,” ucap Ali.
“Kenapa emangnya?”
Ali menarik napas dalam. “Kenapa kamu pengen mati?”
“Karena … hidup ini terlalu gak adil.
“Sadar gak sadar Ve, hidup ini adil.”
“Kenapa kamu bisa bilang begitu?”
“Kerena bukan cuma kamu yang ngerasa kalo hidup ini gak adil, yang lain juga ngerasa begitu. Berarti hidup ini adil kan? Karena kita ngerasain perasaan yang sama.”
Ali kembali melanjutkan kalimatnya. “Orang-orang ketawa sambil menyembunyikan sedihnya mereka, Ve.”
Kalimat Ali mungkin ada benarnya. Itulah sebabnya Ve kini sedang memikirkan ulang keputusan yang ia pilih. Apakah mati benar-benar pilihan yang baik?
“Sini tangan kamu.” Tangan kanan Ali menarik tangan Ve dan tangan kirinya menulis sesuatu di pergelangan tangan gadis itu.
;
“Titik koma?” Kedua alis Ve berkerut.
“Kamu tau artinya apa?”
“Enggak.”
“Kalo gitu kamu gak boleh mati hari ini. Kamu harus pulang dan cari tau apa arti tanda titik koma.”
“Googling aja sekarang.” Ve berniat untuk mengeluarkan ponsel dari sakunya. Namun, niatnya itu dihentikan oleh Ali.
“Eh, gak boleh. Gak boleh googling sekarang. Cari tau pas di rumah aja.”
“Emang kenapa sih? Bukannya tadi kamu bilang gak peduli? Terus kenapa sekarang kamu malah ngelarang aku buat bunuh diri?”
“Tadinya aku gak peduli. Tapi setelah berdiri di sini, aku khawatir kamu bakal nyesel sama keputusan kamu. Sama kayak anak SMA yang aku ceritain tadi.”
“Tau dari mana dia nyesel? Bisa aja dia udah bahagia sekarang.”
Ali menggelengkan kepalanya. “Enggak Ve, dia gak bahagia. Dia menyesal karena udah bunuh diri. Dia menyesal karena gak bisa makan bakso lava lagi, gak bisa ke dufan lagi, gak bisa dapet nilai nol lagi.”
“Tau darimana?”
Ali tertawa malu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Nebak aja, sih.”
“Sotoy,” gumam Ve
Malam itu, Ve tiba-tiba merasa malas untuk bunuh diri. Tiba-tiba saja dia merindukan kasurnya. Tiba-tiba saja, Ve merasa bunuh diri bisa nanti-nanti. Padahal dia sudah bersiap untuk hari ini dari jauh-jauh hari.
“Udah jam sebelas. Kamu gak pulang?” Ali bertanya setelah melihat jam di pergelangan tangan kanannya.
“Gak pulang, kan mau bunuh diri,” jawab Ve setengah yakin. Sepertinya, dia harus memikirkan keputusan itu lagi.
“Astaga, masih mau bunuh diri? Berarti ceramah aku tadi gak berguna dong?”
Ve menoleh kesal. Lelaki ini cerewet sekali. “Emang kamu gak jadi bunuh diri?”
Ali hanya membalas pertanyaan Ve dengan senyuman tipis. “Ve, bunuh diri itu bukan obat dari rasa sakit. Bunuh diri cuman pintu yang ngebawa kita ke rasa sakit yang lain.”
Lagi-lagi Ali bersikap sok dewasa. Untunglah, dia hanya akan bertemu Ali sekali ini. Jika tidak, mungkin Ali akan menjadi beban tambahan dalam hidupnya.
Ali menepuk bahu kanan Ve sebelum akhirnya berucap, “Aku duluan ya.”
Lalu detik demi detik mulai membawa lelaki dengan rambut berantakan itu pergi. Tepat sebelum tangannya menyentuh knop pintu atap, dia kembali menoleh ke arah Ve yang daritadi melihatnya.
“Ve, nyawa yang kamu punya saat ini, adalah impian jutaan orang yang gak bisa hidup lagi. Semoga panjang umur, Ve.”
Untuk pertama kalinya, ada yang mendo’akan Ve panjang umur. Kalimat yang Ve dambakan di setiap hari ulang tahunnya, akhirnya bisa dia dengar di umur enambelas tahun.
Terima kasih Ali.
Lalu dengan ragu-ragu, Ve melangkah pergi meninggalkan atap. Mungkin bukan hari ini waktunya Ve mati.
__
Rumah ini terkadang sangat sepi. Sepi sampai siapa saja yang lewat mungkin akan mengira bahwa rumah ini tak berpenghuni. Namun, terkadang rumah ini sangat ramai. Ramai oleh teriakan ayah dan ibunya yang bersahut-sahutan. Ego yang membawa mereka pada rasa tidak ingin kalah.
Ve memutar knop pintu rumahnya pelan-pelan. Kakinya dijinjit takut-takut terkena pecahan kaca dan vas di lantai. Bukan hal aneh bagi Ve ketika dia pulang dan kondisi rumah seperti kapal pecah. Orang tuanya bahkan mungkin bisa meruntuhkan rumah jika mereka sedang berkelahi.
“Kemana aja kamu?” Suara berat itu membuat Ve tersentak kaget.
“Ayah.” Ve bergumam melihat lelaki usia empatpuluhan awal sedang duduk di sofa.
“Jam segini baru pulang, pasti ajaran ibu kamu ya? Inget ya Ve, kamu jangan jadi perempuan seperti itu.”
Ve mengangguk sekilas lalu bergegas menuju kamarnya.
Perempuan seperti itu? Apa maksud dari kata seperti itu yang ayahnya ucapkan. Bukankah meski begitu, ibunya adalah wanita yang ayahnya nikahi? Wanita yang dulu ayahnya puji. Wanita yang memberikannya seorang putri.
Inilah sebabnya Ve tidak pernah percaya dengan kata cinta.
Saat memasuki kamarnya, hal pertama yang dipikirkan Ve adalah laptop di atas meja belajarnya. Gadis itu segera mengaktifkan benda tersebut, bahkan sebelum dia sempat berganti pakaian.
Apa arti tanda titik koma.
Kedua alisnya berkerut membaca artikel-artikel yang muncul. Sampai akhirnya, satu artikel menarik perhatian gadis tersebut.
Lalu entah sejak kapan, airmatanya jatuh. Kenapa dia tidak pernah tahu tentang makna tanda titik koma? Kenapa dia baru sadar bahwa bukan hanya dirinya yang terluka? Bahwa orang-orang di luar sana, juga sedang bersusah payah berjuang untuk hidup mereka. Bahwa ternyata dia tidak sendiri.
Setelah puas membaca hal-hal terkait tanda titik koma, Ve tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Gadis itu segera mengetikkan sesuatu di kolom pencarian.
Kamu gak pernah denger tentang Anak SMA yang mati bunuh diri di sini?
Ve tiba-tiba terpikirkan tentang siswa SMA itu. Jadi dia mencari tahu kasus bunuh diri yang terjadi tiga tahun lalu di rumah sakit tersebut.
Awalnya semua biasa saja, Ve berhasil menemukan artikel yang membahas kejadian tersebut. Namun, satu kalimat dan foto yang tertera, membuat dunianya seolah terhenti.
Korban bunuh diri bernama Ali Fikri, seorang siswa SMA Pelita Nusantara yang berusia enambelas tahun. Ali dikenal sebagai siswa yang aktif dan ceria. Sampai saat ini, alasan korban melakukan bunuh diri masih belum diketahui.
Dan begitu saja, Ve rasanya seperti mimpi. Ditambah lagi, satu foto yang terasa sangat tidak asing pada artikel tersebut. Foto Ali.
“Karena seseorang pernah mati di sini.”
“Menurut kamu Ve, kita benar-benar pengen mati atau cuman cape hidup?”
“Bukannya kamu mau bunuh diri juga? Ngapain sok-sokan nasehatin aku.”
“Karena lebih gampang nasehatin orang lain daripada nasehatin diri sendiri.”
“Enggak Ve, dia gak bahagia. Dia menyesal karena udah bunuh diri. Dia menyesal karena gak bisa makan bakso lava lagi, gak bisa dufan lagi, gak bisa dapet nilai nol lagi.”
“Emang kamu gak jadi bunuh diri?”
Ali hanya membalas pertanyaan Ve dengan senyuman tipis
“Ve, nyawa yang kamu punya saat ini, adalah impian jutaan orang yang gak bisa hidup lagi”
Ali … sudah mati?
__
“(Tanda) titik koma digunakan ketika seorang penulis bisa memilih untuk mengakhiri kalimat, tapi mereka memilih untuk tidak mengakhirinya. Penulis itu adalah kamu dan kalimat tersebut adalah hidupmu”- Amy Bleuel.