Sabrina menunduk sembari memilin-milin ujung hijabnya. Demi apa pun Sabrina sangat mencintai pria yang kini berdiri di hadapannya.
“Aku akan pergi ke Surabaya. Datanglah besok ke taman kota jika kamu mau kita hidup bersama,” ucap Andar, lalu hengkang dari tempatnya, meninggalkan Sabrina bersama duka yang mengenai tepat pada titik rapuhnya.
Sabrina menatap bayangan Andar yang semakin mengecil dengan bahagia yang mengerdil. Jilbabnya menari diterpa sang bayu, begitu juga gamisnya, melambai ke sana ke mari seolah-olah mengundang para gemintang untuk mentertawai. Bukankah takdirnya begitu lucu? Kedua orang tuanya yang membuat dirinya dan Andar bertemu dan kedua orang tuanya pula yang membuat dirinya dan Andar berpisah.
Cerpen – Taman Kota Metro Jaya by Nur Indah Wulandari
Sabrina harus menemui Andar. Jam menunjukkan pukul 08.45 saat Sabrina sampai di tempat tujuannya. Hati Sabrina terasa begitu panas saat melihat Andar. Laki-laki itu tak mengetahui kedatangannya, terbukti dari netra yang tak kunjung berpindah dari titik tatapnya.
Taman kota Metro Jaya, tempat di mana mereka berjumpa dengan segala kecanggungan yang meraja. Bukankah rasa kala itu lebih baik daripada rasa kala ini? Mereka tak saling mengenal, dipertemukan, lalu dipaksa untuk saling melupakan. Sebiadab itu takdir.
“Andar.” Sabrina memanggil dengan nada yang menggigil. Binar mata Andar membuatnya ragu, menenangkan, membuatnya nyaman, dan dia tak bisa memiliki itu semua.
Sabrina harus menyampaikan kepada Andar dan mengakhiri semua meski dengan kecewa yang sempurna. Sangat tak menenangkan saat membayangkan Andar kecewa sebab dirinya tak mengucapkan sampai jumpa. Meski Sabrina terluka, dia akan tetap mengucapkan apa yang seharusnya. Dia dipertemukan dengan Andar, tetapi dijodohkan dengan orang lain. Sabrina tak menyukai perjodohan ini, tetapi dia lebih tak suka jika harus membangkang. Ini adalah saat di mana sabarnya harus melapang.
“Na.”
“Aku tak bisa menolak perjodohan ini, An. Aku tak mau mengecewakan Ibu dan Bapak.”
Pundak Andar meluruh. Senyumnya masih tersungging walau bukan senyum bahagia, tetapi senyum getir penyesak dada.
“Aku mengerti, Na. Aku bahagia pernah menjadi salah seorang yang kau cinta.”
“Maaf, An.” Mata Sabrina mengembun, sesak rasanya melepas kekasih dengan ketidakrelaan. Sungguh, ini bukan yang Sabrina harap. Dia hanya ingin bahagia tanpa pengap. Namun, semesta ingin satu bahagia terbesar dalam dirinya hirap.
“Tak perlu meminta maaf, Na. Kamu harus mengerti, bahwa pencinta tak akan pernah tersakiti oleh apa pun sikap orang yang dicintainya. Aku pamit.”
Bukannya semakin tenang, kelegowoan Andar malah mencipta duri untuk dia genggam. Wanita mana yang mampu melepas pria sesempurna Andar? Tak ada, termasuk Sabrina.
Andar mengucapkan salam, berjalan pelan menuju kereta api yang siap merayapi rel menuju Surabaya, kota baru untuk Andar menjadi pencinta dengan orang yang berbeda.
Sabrina melambai bersama air mata yang mulai menganak sungai, menatap badan kereta yang berlari dengan sayu, napas memburu, dan tubuh yang layu. Andar pergi, dia sendiri yang mengusir.
Andar pergi, membawa separuh hati yang pernah Sabrina titipkan dan belum sempat dikembalikan. Meninggalkan separuh hati yang pernah Andar titipkan dan belum sempat mengambil lagi untuk dibawa pulang.
Mereka memutuskan untuk mencoretkan tinta angan pada sang awan untuk kemudian hari diceritakan sebagai kenangan. Mereka adalah bukti dari cinta yang saling menghargai. Cinta tak harus memiliki dan mereka adalah bukti dari ketidakharusan itu.
Penulis: Nur Indah Wulandari