Kamu apa kabar?
Pesan itu kembali datang. Tepat di saat aku mencoba melupakannya. Namun, entah mengapa, kenangan tentang kita selalu saja terbesit dalam pikiran. Tentang setiap detik yang kita lalui bersama.
“Lo Zasya kan?” tanya orang tak dikenal yang duduk di sampingku. Jujur, aku sebenarnya terganggu dengan kehadiranmu. Aku yang sedang menikmati magic hour, malah harus bertemu dengan orang seperti dirimu.
Aku mengangguk pelan. Memberikan isyarat atas jawaban dari pertanyaanmu, tak perlu menatap kedua bola mata itu. Menatap orang yang ternyata hanya akan singgah sesaat.
“Kalau gitu gue akan manggil lo Zee.”
Cerpen – Tak Akan Sempat Menua by Zaskia Zahwa Tsamara
Bunyi rinton ponsel memutuskan lamunanku. Nama salah satu orang di balik pertemuan itu terpapar di layar kaca. Aurel is calling.
Artikel yang sesuai:
“Halo. Kenapa Rel?” tanyaku singkat.
“Kamu mau gak ikut aku?”
Aku menarik napas panjang. Mencoba memikirkan balasan yang paling tepat. Jujur, aku sebenarnya tak sanggup untuk berbicang dengannya saat ini.
“Kok diam?”
“Maaf yah, aku belum bisa,” balasku tergesah-gesah dan langsung memutuskan panggilan.
Aku tak tahu, apakah hubungan pertemananku dengan Aurel akan bertahan atau tidak. Ini memang bukan salah dia sepenuhnya. Namun, tetap saja ia sebagai dalang dalam skenario ini.
“Tahu gak sih, kita masih punya tugas kelompok yang belum kelar,” kata Kinan di sela-sela percakapan kami.
“Yah sudah kalau gitu, kita kerjanya di mana?” tanyaku menimpali.
Kedua gadis yang ada di hadapanku diam sesaat. “Di rumahku gimana?”
Riuh kelas hari itu tak akan dapat menandingi rasa gembira yang bergejolak di dalam dadaku. Bagaimana tidak. Sudah beberapa hari belakangan aku membayangkan bisa kembali mengunjungi rumah itu. Bukan hanya karena rumah tersebut mewah dan juga besar, namun salah satu penghuninyalah yang menjadi daya tarikku. Siapa lagi kalau bukan Kak Man.
“Halo semuanya!” sapa Kak Man. Kau tahu kami akan belajar di sana sore itu. Entah dari mana. Makanya kau telah siap dengan bulan sabit di wajah. Senyuman yang tak bisa kulupakan hingga detik ini.
“Jemputanku udah sampai, aku pulang dulu yah!” kata Kinan sembari meninggalkan kami bertiga. Iya, aku, Aurel, dan dirimu.
“Btw, lo pulang bareng siapa, Zee?” tanya Kak Man sembari menatapku dengan tatapan biasanya. Tatapan yang sangat dalam.
Belum sempat aku menjawab pertanyaan itu, tangan hangatmu telah menggenggam tangan kananku. “Aku antar yah?”
Semenjak hari itu, kau telah mengganti setiap panggilan diri menjadi ‘aku’, ‘kamu’ dan ‘kita’. Entah kau sadari atau tidak, aku juga mulai memanggilmu dengan kata ganti yang sama. Sebelum kejadian itu tiba. Sebelum rasa benciku bergelora menghancurkan segala kenangan tentang kita.
Keesokannya, teman-teman mulai menggodaku. Aku yang telah lama menyukaimu akhirnya mendapat balasan yang setimpal.
“Cie yang habis diantarin sama Kak Man,” goda Kinan.
“Cie cie…” Aurel juga tak mau kalah.
Dan kau tahu, entah mengapa rona di pipiku kembali mengembang. Singkat cerita, dunia seakan berputar arah. Kebusukan demi kebusukanmu mulai menampak. Kau masih sama dengan dirimu yang pernah Aurel ceritakan. Orang yang sok perhatian di depan siapa saja.
Sebuah mobil mewah bercat putih terparkir di depan rumahku. Aku sudah tahu, itu tak mungkin mobil Ayah. Ia pasti telah melupakan aku dan Ibu, jadi tak mungkin jika ia pulang ke rumah rongsokan ini.
“Assalammu’alaikum.”
Tepat di ruang tamu, seorang gadis asing duduk dan dijamu oleh Ibu. Awalnya, aku tak tahu siapa gadis itu, hingga…
“Jadi, lo yang selama ini gangguin Zaman? Pantasan aja sudah dua bulan ini gak ada kabar. Ternyata, ada cewek lain yang jadi sasarannya.” Ia pun pergi dengan wajah yang begitu kecut. Dan, baru belakangan ini aku mengerti, dia adalah wanita yang sebelumnya bersamamu. Orang yang telah kau tinggal di tengah jalan.
“Sayang? Zasya? Kok gak nyaut?”
Tanpa kusadari, Ibu telah berada di sampingku. Mengelus kedua pundakku yang begitu lelah. Hari yang tadinya begitu terik kini berganti menjadi senja yang begitu sendu.
“Kamu sudah makan?”
Aku menggeleng. Lama di depan laptop membuatku lupa waktu. Bahkan, lupa bahwa perut ini sedari tadi berdendang.
Perlahan, Ibu melihat layar laptop yang masih menyala. Ketikan di word yang belum selesai kutulis. Tak Akan Sempat Menua.
“Zasya, kamu sekarang lupakan saja dia. Buat apa memikirkan orang yang bisanya hanya memainkan perasaan orang lain seperti itu?”
Begitulah cerita ini terpaksa kutamatkan. Sebelum rasa sakit dan kecewa kembali menyelimuti setiap magic hour yang akan kulalui.
Tamat.
Penulis: Zaskia Zahwa Tsamara