Anak broken home, itu julukan yang mereka berikan padaku. Aku tidak begitu mengerti mengapa perceraian orang tuaku membuatku disebut anak rumah rusak, karena tak seharusnya aku ikut mendapat julukan akibat perpisahan mereka.
Keputusan berpisah murni ada pada mereka tanpa sedikit pun melibatkanku biarlah perceraian menjadi urusan mereka, tak perlulah menyematkan julukan di dalam hidupku. Malah aku lebih setuju jika aku disebut anak rumah nenek.
Cerpen – Rumah Rusak by Rudy Charolus Siallagan
Karena setelah mereka berpisah aku menjadi penghuni tetap di rumah nenek. Rumahku tak pernah rusak bahkan hingga aku meninggalkannya kala itu, yang rusak hanya saraf senyum papa dan mama.
“Kau masih berhubungan dengan wanita jalang ini ?!” Seru mama sambil menunjuk ke telepon genggam papa.
“Kami hanya bertemu dan ngobrol biasa!” jawab papa panik
“Bohong, kau bajingan pembohong!” teriak mama lagi
“Plaaakk!” Tangan papa menjadi mendarat di pipi mama sebagai akhir perdebatan sekaligus menjadi tanda perang dimulai.
Entah wanita jalang mana yang dimaksud mama. Namun sejak kata itu keluar dari mulut mama sambil menunjuk telepon genggam papa, itulah awal rusaknya saraf senyum papa dan mama dirumah. Tidak ada lagi senyum ramah di rumah kami, papa dan mama saling menyeringai bak anjing dan kucing yang siap saling terkam.
Yang satu menyalak, yang lain mendengus, yang satu menggertak, yang lain mendungas. Semenjak tamparan itu pula badai lokalpun seringkali mampir dirumah kami, badai itu datang dalam kekuatan mama yang membuat berbagai perkakas rumah tangga kami melayang terbang menuju segala arah secara acak.
Ada kalanya dia berteriak histeris, menagis sepanjang malam dan tiba-tiba tertawa-tawa. Badai itu juga tak jarang keluar dari kekuatan papa yang menghempas berbagai barang dirumah. Namun sekali lagi kukatakan rumah kami tak rusak oleh badai lokal dan perubahan iklim perasaan ekstrim yang dialami papa dan mama itu.
Rusaknya saraf senyum itu tampaknya menjalar ke saraf otak papa dan mama. Mama bak orang setengah gila tertawa berhadapan dengan handphonenya tawa yang menyeramkan menurutku. Tengah malam mama pulang, masih dengan tawa yang menyeramkan itu, limbung dan muntah dipapah oleh seorang pria entah siapa dia.
Lain waktu papa yang terganggu saraf otaknya, mengamuk dan melemparkan bermacam benda didekatnya diiring berbagai sumpah serapah bak ibu-ibu viral yang tak paham sistem COD sebuah situs belanja daring yang terkenal. Dan aku memaksa diri tersenyum dalam kejadian-kejadian itu.
Jujur aku tak mau saraf senyumku rusak seperti mereka maka aku memaksa senyum dalam peristiwa apapun. Meski ada rasa aneh mengganjal dalam diriku aku tersenyum dalam pilu.
“Kita cerai!” teriak mama pagi ini.
“Oke!” Balas papa tak kalah sengit.
“Memang itu maumu, agar kau bisa bebas dengan wanita jalang peliharaanmu itu!” Serang mama lagi.
Papa melompat menerjang dan memukul mama. Melayangkan hantaman dari berbagai arah dengan luapan sumpah serapah dan aku berdiri mematung melihat pertandingan tinju bebas itu, masih dengan tersenyum, sekali lagi, aku tak mau saraf senyumku rusak seperti mereka.
Namun tampaknya papa tak suka dengan usahaku mempertahankan fungsi saraf senyumku. Dia berbalik kepadaku dan kemudian menghujani tubuhku dengan segala model pukul dan makian. Aku terhempas membentur tembok sangat sakit bahkan senyumku yang tak hilang itu tak dapat meredakan sakit di sekujur tubuh yang kurasakan.
Pagi itu aku sebenarnya tak mau pergi ke sekolah, kata cerai yang kudengar tadi pagi, aku tau artinya. Mereka akan berpisah, aku tak mau sepulang sekolah aku tak bertemu lagi dengan mama, ya meskipun tiap pulang sekolah aku hanya melihat mama sibuk dengan handphonenya tapi minimal dia masih menyambutku pulang meski tanpa memalingkan matanya dari telepon genggamnya.
Kupikir ketakutanku itu berlebihan ketika kulihat dia berdiri didepan pagar sekolahku, memegang tanganku sambil menangis tanpa mengucapkan sepatah katapun lalu pergi. Tampaknya mama belum menyusun kata-kata perpisahan yang baik untukku sehingga dia menutupi kelemahannya dengan tangis.
Kulepas dia dengan senyum biar dia tahu penyakit mereka tidak menulariku.
Aku sendirian di rumah sore ini, ketika papa pulang, aku menyambutnya dengan senyum tapi sambutanku dibalas dengan teriakan.
“Dasar perempuan kurang ajar,seenaknya pergi meninggalkan anak idiot ini jadi bebanku.” ucapnya sambil memukulku, menendang dan menghempaskan kepalaku ke tembok. Aku tak menangis, tidak melawan bahkan secepatnya berdiri ketika terhempas dan tentunya tetap tersenyum selain aku bertahan agar saraf senyumku tak rusak aku juga berharap dengan memukulku sesak didadanya bisa terlampiaskan.
Kata guru agamaku terkadang kita harus berkorban agar orang yang kita sayangi bisa bahagia. Semoga pengorbanan kecilku berguna.
Rumahku terasa sangat sepi, mbak atik yang setiap hari menyiapkan makanan dan pakaianku juga selalu diam dan memandangiku dengan sedih, apakah saraf senyumnya juga telah turut terganggu? Tampaknya seperti itu. Aku merasakan bahwa rasa sepi itu bisa membunuh seseorang, sepi itu bak pencuri yang datang mengendap-endap menggerogotiku dari dalam, perlahan namun pasti mengambil sedikit demi sedikit cahaya di hatiku sehingga tubuhku perlahan kehilangan cahayanya.
Aku berjalan dalam gelap seorang diri. Aku tidak rindu dengan mama karena menurutku handphonenya lebih berharga dariku. Aku kehilangan tempat mengadu, berdoa kepada Tuhan aku takut, kata guru agamaku Tuhan itu adalah Bapa kita yang siap mendengar keluhan kita. Aku malah takut Tuhan pun nanti ikut marah seperti papaku jika Dia mendengar keluhanku.
Maka kuputuskan untuk diam saja agar Tuhan tidak terganggu dengan keluhku. Mungkin menangis akan membuatku lega tapi aku berjanji pada diriku sendiri untuk terus tersenyum apapun yang terjadi.
Mei temanku menunjukkan tugas menggambarnya padaku, gambar dirinya lengkap dengan ayah dan ibunya. Aku mengambil gambar itu merobek dan menginjak-injak gambar tersebut Mei menangis namun entah mengapa aku merasa lega dan senang mendengar tangisan Mei.
Semenjak perpisahan papa mama barulah saat ini aku merasa senyumku benar-benar tulus karena senang. Aku seperti menemukan bagian yang hilang dariku ketika melihat Mei menangis. Aku dimarahi oleh ibu guru dia mengancam akan mengadukan semua perbuatanku ke papa, tapi aku tak peduli, pikiranku dipenuhi berbagai rencana dan siapa target seranganku selanjutnya.
Tampaknya aku harus mengganggu Mei sesering mungkin agar saraf senyumnya rusak dan menularkan penyakit itu pada keluarganya sehingga dia merasakan apa yang aku rasakan.
Malam itu aku membayangkan esok hari aku akan membuang tas Mei ke selokan pasti dia menangis keras dan ketika dia mengambil tasnya aku akan mendorongnya ke selokan pasti akan sangat menyenangkan.
Senyumku merekah membayangkan semua hal yang kurencanakan. Aku begitu bersemangat menanti matahari terbit berangkat kesekolah dan melakukan apa yang kupikirkan. Aku tidak tau mengapa ini begitu menggairahkan.
“Anak bodoh, pembuat onar sialan”Papa menerjangku di atas tempat tidur menampar dan menginjak-injak tubuhku.
Aku tak tau apa aku masih tersenyum ketika papa kembali memukuliku, yang jelas setelah kurasakan ada cairan mengalir dari hidung ke bibirku, mataku tertutup dan tidak merasakan apa-apa lagi hingga pagi. Papa marah karena aduan ibu guru, aku merasa kesal.
Barulah aku menemukan setitik kebahagiaan kemudian hancur karena pengaduan ibu guru sialan itu. Mungkin beginilah cara hidup bekerja, ada orang yang dilimpahi bahagia yang tak berhenti, ada orang seperti aku yang dukanya diganti dengan duka yang baru sehingga terbiasa dengan berbagai duka.
Luka yang ditambahkan luka yang baru sehingga tak tau lagi apa sebenarnya sakit itu. Mungkin inilah makna keadilan, kebahagiaan bagi mereka yang biasa bahagia dan kesedihan bagi mereka yang biasa bersedih.
Aku tak berharap papa akan kembali menyayangiku seperti dahulu, aku juga tak berharap mama kembali pulang dan memuji hasil gambarku meski tanpa melepas handphone kesayangannya, tidak, biarlah mereka dengan pilihannya. Aku hanya tak tahu apa yang kurasakan saat ini, bibirku terus tersenyum sedangkan hatiku kosong, terkadang perih ketika bertemu obatnya aku malah dipaksa berhenti oleh papa.
Mungkin kalian bertanya, kapan aku pindah ke rumah nenek seperti yang telah kuceritakan diatas, bahwa aku adalah penghuni tetap rumah nenek. Ke rumah paling nyaman dimana akhirnya aku bisa bebas dari segala pukulan dan caci maki dari papa yang teserang penyakit rusak saraf senyum.
Malam itu papa mengajak seorang wanita ke rumah mereka sangat mesra tersenyum dan menatap penuh cinta. Aku tersenyum melihat mereka sangat bahagia, mungkin ini wanita jalang yang dimaksud mama waktu lalu.
“Tapi kenapa disebut Wanita jalang?”pikirku,
“Mungkin itulah namanya.”Jawabku pada pertanyaanku sendiri.
Maka dengan berani aku mendekati mereka, menjulurkan tanganku dengan ramah kepada wanita itu.
“Halo Tante wanita jalang, aku senang kau ada ada ditengah-tengah keluarga kami” ucapku dengan tulus.
Namun uluran tanganku tidak disambut oleh tante jalang, sepintas kulihat mukanya muram, ketika aku melirik ke papa, secepat kilat dia mengangkat tangannya dan mendapratku dengan sangat keras hingga aku terpelanting jauh, aku tak tahu mengapa dia marah, apa mungkin wanita ini bukan wanita jalang yang dimaksud mama waktu itu, tampaknya aku salah mengira.
Papa semakin brutal di berjalan kearahku sambil menendangiku dia mengikatku, membekap mulutku dan memasukanku ke kamar mandi. Aku merasa tanganku sangat dingin, ada darah yang mengalir dari kepalaku. Mataku terasa sangat berat tapi aku berjuang agar mataku tidak tertutup, tapi rasa dingin yang merayap dari tangan hingga menjalar keseluruh tubuhku membuat mataku terpejam, dengan tersenyum pastinya.
Entah berapa lama aku tertidur di kamar mandi hingga akhirnya nenek datang menjemputku. Dia sudah sangat lama tidak mengunjungiku, saat ini dia datang dengan tersenyum, aku bersyukur masih ada orang yang kusayang yang juga tidak tertular penyakit sialan itu, pasti dia juga berjuang sekeras aku untuk mempertahankan saraf senyumnya.
“Bagaimana Nenek bisa datang menjemputku?” Tanya ku pada nenek.
“Dia yang menyuruhku” Jawab neneksambil tersenyum, tanpa menjelaskan siapa ‘Dia’ yang dimaksud nenek.
Aku memang sering mendengar bahwa orang-orang yang sudah meninggal dapat mendatangi orang-orang di dunia nyata pada waktu-waktu tertentu. Kupikir itu hanya mitos, ternyata benar adanya. Saat ini neneku yang telah lama meninggal datang membawaku kerumahnya yang nyaman. Maka seperti yang kukatakan aku sekarang menjadi anak rumah nenek, bukan anak rumah rusak seperti yang mereka katakan.
Seperti biasa, selalu bagus! Wkwk