Selamat sore. Sekali lagi, dalam balutan siluet jingga serta bertemankan secangkir rasa hampa dan sedenting serunai duka. Ini aku, yang lagi-lagi mendapati mentari terbenam seorang diri. Duduk pada sebuah bangku panjang tua yang masih berdiri kokoh dibawah naungan sebuah pohon maple yang juga telah mendaki usia. Bagiku, kesendirian adalah biasa. Meski ada mereka-mereka yang merangkulku dalam sebuah jalinan abstrak bernama keluarga, namun hatiku tak merasa demikian. Ia dingin dan tak tersentuh.
Usiaku telah menginjak tiga belas, namun aku masih sama. Hanya seorang gadis kumuh ditengah-tengah sebuah kota metropolitan. Di usiaku kini, aku hanya sibuk mengumpulkan barang-barang bekas alih-alih bersekolah. Aku ingin, teramat sangat. Namun pendidikan tak pernah menjangkau kehidupanku. Sangat tidak lazim bagi golongan sepertiku untuk sekedar menjejakkan kaki pada bangku sekolah. Jemariku terlalu kotor untuk menyentuh pulpen dan buku. Aku cukup mengerti dan mawas diri. Akhirnya aku hidup dalam nestapa, seorang gadis tanggung yang miskin dan buta huruf.
Beberapa tahun terakhir, menjadi dingin adalah sikap terbaikku dalam menjalani kehidupan. Aku lebih suka menyendiri, seperti saat ini. Menatap siluet jingga sembari menggenggam sehelai daun maple tua yang gugur dari pohonnya. Aku hanya dapat menerka-nerka. Bagaimana aku dimasa mendatang? Lantas kemudian tersenyum miris disertai helaan nafas lelah. Ketika langit kian merah. Aku memejamkan mata lantas menghirup nafas dalam, menanti hingga mentari tenggelam pada peraduannya.
Aku masih memejamkan mata tatkala derap sepatu mendekat. Mungkin hanya seseorang yang ingin membeli barang bekas atau semacamnya, aku tidak peduli. Namun seseorang itu dengan lancangnya menyentuh pundakku, mengganggu saat-saat terbaik matahari terbenam. Dengan setengah hati aku membuka mata, bertepatan dengan itu dia tengah menatapku. Aku melihatnya, mata coklat tua yang jernih dan terlihat tulus. Dia tersenyum. Seketika beku dalam hatiku mencair. Untuk pertama kalinya ia menghangat hanya oleh sebuah senyuman.
“Boleh saya duduk disini?” ujarnya seketika membuatku mengangguk dengan kikuk. Dia menatap ke arah mentari terbenam sementara aku menunduk dalam.
“Senja yang Indah” ucapnya masih dengan senyum itu. Aku mengangguk, lagi.
“Hei. Kenapa kamu terus menunduk? Apa saya mengganggu?” Ujarnya lagi.
“Ah, tidak” balasku.
“Kalau begitu, boleh saya jadi temanmu?” Aku mengangguk kuat-kuat. Dia tertawa kecil.
“Oh Iya. Nama saya Reyhan. Boleh tahu namamu?” aku menjawab gugup “A..aku Ana”
“Santai saja. Tidak perlu gugup begitu” ucapnya lembut.
“Apa yang kamu pegang?”
“Ini?” aku mengangkat tanganku “Ini daun yang jatuh dari sana” ucapku sambil menunjuk pohon yang berada diatas kami.
“Daun maple yang cantik. Boleh saya pinjam?” Aku menyerahkan daun itu.
Dia mengambil sebuah alat tulis. Lantas menuliskan sesuatu di atas daun itu, kemudian kembali menyerahkannya padaku. Aku menerimanya dan memasang tatapan penuh tanya.
Melihatku yang diam saja membuatnya seketika tersadar. “Kamu, tidak bisa membaca?” Dia bertanya dengan hati-hati. Aku mengangguk, dia lantas menghela nafas pelan.
“Tak apa. Simpanlah daun maple itu baik-baik. Setelah ini, saya akan mengajarimu membaca” aku seketika tersenyum. Senyum tulus sejak tiga belas tahun terakhir. Berkat dia, remaja pria berusia 17 tahun. Reyhan.
***
Hari-hari yang sama, pekerjaan yang sama. Tidak demikian dengan Ana. Sejak pria bernama Reyhan menyentuh kehidupannya. Dia menjadi gadis yang berbeda. Selalu bekerja dan pulang dengan senyum yang tak pernah pudar dari wajahnya. Dia tak lagi merasa sendiri, dan dia bahagia.
Sepulang bekerja, Reyhan akan menyambut di selasar gubuk reyotnya beserta beberapa buku yang semakin hari semakin menumpuk. Lelaki itu bahkan memberikan beberapa buku dan alat tulis baru untuk Ana. Perkembangan belajar Ana sangat pesat meski hanya diajari oleh seorang Reyhan.
Tepat pada petang minggu ke-empat Ana menunggu Reyhan dilokasi kegemaran mereka. Bangku panjang dibawah pohon maple tua. Hanya saja petang itu, untuk pertama kalinya setelah dua puluh satu hari Ana menunggu seorang diri. Reyhan tidak datang. Reyhan menghilang. Orang-orang bilang dia pulang ke pusat Kota karena pekerjaan ayahnya telah usai di kampung kumuh ini. Petang itu pula senyum Ana kembali hilang. Reyhan tidak berpamitan.
***
10 Tahun Kemudian
Seorang wanita dengan dandanan serba modis belalu. Wewangian mahal seketika tertinggal di setiap jejaknya.
“Bu Ana. Ada kiriman dari Nyonya” ucap salah seorang pegawai butiknya.
“Bawa ke ruangan saya” ujarnya tegas.
Ya, dia adalah Ana. Gadis kumuh itu telah berubah. Tuan waktu telah membawanya pada kesuksesan ini. Bertahun-tahun lalu amat berat dilaluinya. Hanya karena Reyhan, Ana berubah. Dia mulai menanjak menggapai pendidikan dengan susah payah. Siapa sangka, gadis kumuh yang tak pernah mengenyam pendidikan itu kini menjadi pengusaha butik terkenal di Kota. Dia menyelesaikan pendidikannya dengan cemerlang di usia muda. Namun diatas segalanya, Ana masih menunggu guru pertamanya, Reyhan.
Ana memutar kenop pintu ruangannya lantas duduk bersandar di sofa ruang kerja. Hingga ekor matanya menangkap kotak kiriman dari sang ibu. Dia beranjak, membuka kotak tersebut lantas seketika mematung.
“Ini. Buku-buku pertamaku” gumamnya pelan seraya mengambil salah satu buku. Dia membuka lembar demi lembar buku tersebut, matanya berkaca-kaca.
“Aku merindukanmu” ucapnya pelan. Jemarinya terus bergerak membuka setiap lembar buku hingga selembar kertas kuning kecoklatan terjatuh. Tidak. Itu bukanlah selembar kertas. Melainkan sehelai daun maple tua yang telah mengering. Rindu seketika menikam Ana kian menjadi. Daun ini mengembalikan ingatannya pada 10 tahun silam. Pada Reyhan. Dia terlalu sibuk pada pendidikan dan pekerjaan hingga melupakan daun ini. Dia membaca daun tersebut dengan lelehan air mata rindu. Hingga seseorang mengetuk ruang kerjanya.
“Bu Ana. Ada tamu dibawah, dia minta bertemu langsung dengan ibu”
“Siapa?” Balas ana. “Seorang pria dan seorang wanita muda”
“Minta dia menunggu sepuluh menit” pegawainya berlalu dengan patuh.
Ana memasukkan kembali buku tersebut ke dalam kotak. Namun memasukkan daun tua tersebut kedalam tas tangannya. Merapikan penampilan sejenak lantas keluar dari ruang kerjanya. “Ada yang bisa saya bantu?” Ujar Ana ramah.
“Ini adik saya, Raina. Dia ingin mencari pakaian yang cocok untuk pesta ulang tahunnya. Mohon bantuannya” ucap pria itu tak kalah ramah. Ana tersenyum. “Baik. Mari ikut saya” ujarnya kemudian. Seorang gadis yang sedari tadi memainkan ponsel beranjak mengikuti Ana. Beberapa menit kemudian mereka kembali dengan senyum di kedua wajahnya.
“Kak. Pakaian disini bagus sekali. Aku jadi bingung karena semuanya cantik” ucap Raina.
“Ah tidak. Dik Raina memang sangat cantik hingga cocok mengenakan pakaian manapun” ujar Ana merendah.
“Terima kasih atas bantuannya” ujar pria itu. Dia lantas beranjak menuju meja pembayaran setelah mengangguk sekilas pada Ana.
Ana kembali masuk ke ruangannya dan merebahkan tubuhnya di sofa. Dia hampir terlelap ketika seseorang kembali mengetuk pintu ruangannya.
“Maaf bu. Ada yang ingin bertemu” ucap pegawainya.
“Siapa?” balas Ana. “Pria yang tadi”
“Baik. Saya akan segera menemuinya. Minta dia menunggu Lima menit”
“Baik bu” Ana kembali beranjak. “Ada apa lagi?” Fikirnya.
“Maaf mas. Apa ada masalah?” ucap Ana ketika berhadapan dengan pria itu.
“Kamu..” ucapnya menggantung “Kamu, sungguh tidak mengenali saya?”
Ana mengernyit. Bagaimana bisa dia tidak mengenal pria ini? Bahkan dia baru bertemu belum genap satu jam yang lalu. Tentu dia mengenalinya.
“Saya…Reyhan” ucapnya seketika membuat Ana terdiam. Dia menatap mata itu. Ya, mata coklat tua itu milik Reyhan. Bagaimana mungkin dia tidak mengenalinya? Ana seketika menangis. Hatinya penuh oleh perasaan rindu. Reyhan menarik tangan itu, membawanya pergi. Kembali kepada kisah mereka, bangku panjang dibawah pohon maple tua. Bangku itu telah direnovasi, namun pohon itu kian menua. Keduanya duduk dalam diam.
“Saya. Merindukanmu” ucap Reyhan “Maaf karena pergi tanpa pamit” lanjutnya. Ana hanya diam, menyeka sisa air mata pada wajahnya.
“Kamu tidak pernah berubah” balas Ana “Masih menggunakan kata ‘saya’ dibanding aku” ujarnya sambil tersenyum.
“Ya. Begitulah” ucap Reyhan seraya tersenyum “Selamat atas segalanya”
“Ya. Terima kasih guru” jawab Ana. Mereka tertawa pelan. Seolah masih dalam waktu yang sama, 10 tahun lalu, keduanya tetap akrab dalam lautan jingga.
“Kamu. Masih menyimpan daun itu?”
“Ya” Ana mengeluarkan selembar daun tua itu. Ana menganggap daun tersebut adalah jembatan penghubung antara dirinya dan pendidikan. Dan tentu saja, dirinya dan Reyhan.
“Kamu sudah bisa membaca bukan?” Ucap Reyhan dengan senyum mengejek.
“Tentu saja!” jawab Ana ketus. Namun diikuti dengan senyum.
“Kalau begitu baca ini” ucap Reyhan setelah menulis dengan cepat diatas daun yang sama.
Ana mengambil daun itu dan membacanya. Seketika matanya kembali berkaca-kaca, dia pun mengangguk kuat-kuat sama seperti 10 tahun lalu ketika Reyhan menawarkan diri menjadi teman. Tepat ketika itu mentari telah pulang ke peraduannya.
Ana kembali membaca tulisan kering pada daun itu.
“Maukah kamu menjadi temanku?”
Reyhan.
Ana membalik daun itu dan kembali membaca tulisan dengan tinta yang masih basah.
“Maukah kamu menjadi teman hidupku?”
Reyhana.