Setiap karya pasti akan menemukan penikmatnya tersendiri.
Ayana bermuka masam sambil melihat layar ponselnya. Berkali-kali dia mengecek ulang jumlah pembaca di tulisannya namun tidak bertambah. Dia menghela napas panjang sambil malas menuliskan lanjutan cerita novelnya. Jujur, dia sebenarnya ingin berhenti saja melanjutkan novel yang sudah dia tulis lebih dari dua bulan terakhir ini. Namun karena sayang sudah menulis terlalu jauh, akhirnya dia menulis kembali meski dirundung rasa malas yang menjadi.
PING! Sebuah notifikasi muncul di atas layar ponsel Ayana.
Hai Ayana, lagi senggang enggak? Nongkrong di kafe yuk. Tenang saja hari ini aku yang traktir, soalnya suasana hatiku lagi bagus loh.
Oleh: Cindy
“Tumben anak ini pingin ketemu, biasanya cuek aja. Hmm… Ya sudah deh aku pergi saja dari pada bosan di rumah,” seru Ayana sambil membalas pesan pada Cindy kalau dia akan pergi.
Cindy adalah teman sekelas Ayana di SMA dulu. Seharusnya Ayana sudah melanjutkan kuliah, namun dirinya memutuskan menganggur dulu satu tahun sambil mengumpulkan uang untuk membantu biaya kuliah nanti. Lagi pula Ayana masih bingung akan melanjutkan kuliah atau tidak karena ibunya sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan. Sementara Ayahnya sendiri sudah meninggal sejak Ayana masih TK.
Artikel yang sesuai:
“Di sini Ay! Di sini!” teriak Cindy memanggil Ayana yang baru saja masuk ke kafe dengan baju sederhana miliknya.
Sementara Cindy terlihat sangat elegan dan cantik dengan baju blus model terbaru yang sedang populer akhir-akhir ini.
“Wah hari ini kamu modis banget. Lagi happy ya?” goda Ayana sambil duduk di hadapan Cindy.
“Iya dong. Tau gak Ayana, novelku tembus dua juta pembaca loh. Senang banget aku tuh. Bahkan novelku sudah mau naik cetak juga awal bulan depan. Nanti khusus untuk kamu aku kasih gratis deh,” seru Cindy bersemangat.
“Oh… Iya… Bagus selamat ya Cindy,” ujar Ayana sedikit lesu.
“Kamu gimana kabarnya Ayana? Yakin enggak mau kuliah? Sekarang banyak beasiswa loh. Atau kamu mau kerja dulu? Kebetulan kafe ini milik saudaraku. Kalau kamu mau, kamu boleh kerja part time di sini,” ujar Cindy. Sementara Ayana hanya diam tidak berniat menjawab.
“Eh makan dulu yuk, kan aku janji mau traktir. Kamu mau pesan apa?” ujar Cindy sambil melihat buku menu.
Ayana juga melihat menu yang ada namun dia tidak berselera. Baru saja dia kecewa pada dirinya sendiri karena tulisannya sedikit dibaca, namun Cindy justru tambah membuatnya jadi semakin gundah. Sepertinya pilihan dia untuk kemari adalah sebuah kesalahan besar.
“Wah ada menu baru nih, beli yuk. Kamu mau kan?” tunjuk Cindy pada menu baru yang terpampang besar di awal buku menu. Paket ayam bakar madu dan strawberry float untuk dua orang.
“Yakin kamu? Walau lagi promo aku merasa enggak enak. Selalu kamu traktir kalau kita ketemu. Aku kan jadi malu,” keluh Ayana.
“Kok malu sih, enggak apa-apa kali. Lagi pula ini semua supaya kamu terhibur,” ujar Cindy sambil memanggil pelayan untuk memesan makanan.
Sementara Ayana hanya menunduk. Padahal Ayana lebih dulu memulai menulis novel dibandingkan Cindy namun mengapa tulisan dia jarang dibaca. Bagi Ayana, tulisan dia sudah cukup baik dan pesannya juga bagus.
“Oh iya kamu kan juga penulis, Gimana banyak yang baca juga kan? Kayaknya iya deh soalnya dulu kamu sering banget membuat cerpen di Mading sekolah,” ujar Cindy sambil berusaha menghibur Ayana.
“Iya.. ah iya. Aku enggak sehebat kamu kok, tulisanku masih harus banyak diperbaiki,” seru Ayana sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Semangat dong Ayana. Eh lihat itu sepertinya pesanan kita, ayo makan,” ujar Cindy.
Mereka makan dengan lahap. Pikiran Ayana semakin pusing. Dia iri pada Cindy namun berusaha menyembunyikannya. Ketika pulang pun, dia masih tidak menyangka bahwa tulisannya tetap tidak bertambah dibaca. Dia juga kesal karena Cindy tidak peka pada dirinya dan justru mengoceh semaunya.
“Memangnya novel apa sih yang dibuat Cindy?” keluh Ayana sambil mencari judul novel Cindy yang tadi dia beritahu.
Awalnya novel tersebut memang cukup menarik perhatian Ayana, namun ketika sudah mencapai bab pertengahan, Ayana mual. Dia muak dan sangat malu melihat rangkaian kata-kata yang tertera di sana terlebih melihat respons para pembaca novel Cindy. Adegan dewasa di atas ranjang digambarkan Cindy dengan detail seolah dia sudah merasakannya langsung.
Ketika akhirnya Ayana melihat novel-novel populer yang juga sama seperti Cindy dengan jutaan atau ribuan pembaca, Ayana semakin geram. Mungkin ada perbedaan tokoh, lokasi, cerita dan sebagainya dalam novel-novel itu namun intinya mereka semua punya satu kesamaan. Adegan panas. Ciuman dan bergandengan tangan seolah hal biasa. Kesal semakin menjadi terlebih ketika Ayana tahu kalau para penulisnya masih remaja dan lebih muda darinya.
“Menyebalkan,” keluh Ayana di kamarnya sambil tetap mencari rekomendasi cerita di dunia novel tersebut. Akhirnya Ayana tertarik pada satu judul novel yang sudah lama tidak dilanjutkan. Dia membacanya dan sangat tertarik pada tokoh dan jalan ceritanya. Sayangnya pembaca novel itu sama seperti dia, sangat sedikit. Ketika Ayana mencoba membaca novel di aplikasi menulis yang lain hasilnya… Sama saja. Selalu genre romantis yang menempati peringkat atas.
Perselingkuhan, perjodohan, Pacar, Duda, CEO ganteng, Mafia, Hamil selalu saja ada di rekomendasi cerita teratas di pencarian. Ayana yakin sang penulis pasti sudah kaya raya dari tulisan seperti ini. Namun Ayana sebal. Mereka menulis tanpa memedulikan efek bagi pembacanya. Bagus atau tidak mereka tidak peduli. Yang penting menghasilkan. Sementara di rekomendasi cerita baru juga sama saja. Tidak terlepas dari tema itu. Kalau ada tema lain, pasti sepi penggemar. Hanya ada satu dua novel bagus bagi Ayana tetapi jumlah pembacanya tentu jauh lebih sedikit dari jumlah pembaca novel populer tersebut.
Sebenarnya semua itu bukan murni salah sang penulis. Pembaca juga turut andil dalam hal ini. Entah mengapa mereka mau dan mendukung para penulis yang sesuka hatinya membuat cerita. Bahkan justru menanti-nanti dan membantu membagikannya di sosial media. Sementara yang serius menulis justru kurang di apresiasi. Jangan heran kalau akhirnya para penulis bagus pun ikut terpengaruh virus ini atau memutuskan berhenti menulis. Pergi dan mencari alternatif media lain yang lebih sehat.
Hati Ayana menjadi bimbang dan sadar akan tulisannya. Tulisan Ayana bukannya tidak layak hanya saja pasarnya tidak pas. Kalau harus merombak sebagian isi tulisannya, Ayana ragu. Dan untuk membuat cerita baru juga tidak mudah. Ayana bingung apakah dia harus membuat cerita seperti para penulis populer itu hanya agar tulisannya dibaca banyak orang? Membacanya saja Ayana sudah muak, apalagi kalau harus menuliskannya. Membayangkan dirinya sendiri melakukan adegan panas seperti dalam novel itu tentu saja dia tidak kuat. Akhirnya dengan berat, Ayana memutuskan untuk tidak menulis lagi. Toh tulisannya tidak berpengaruh apa-apa jadi Ayana beranggapan tulisannya tidak penting. Lebih baik dia fokus belajar dan bekerja agar bisa membantu ibunya.
Tiga bulan telah berlalu. Kini Ayana telah bekerja di sebuah butik yang cukup terkenal di kotanya. Sifatnya yang ramah dan penampilannya yang menarik, membuat para pelanggan senang. Uang tabungan untuk dia kuliah sudah lebih dari cukup namun Ayana masih ragu akan jurusan yang harus dia ambil. Apalagi sang pemilik butik bilang kalau dia tetap boleh bekerja meskipun sedang kuliah, membuat hati Ayana terenyuh. Ayana bisa tetap mengumpulkan uang serta kuliah merupakan suatu hal yang sangat dia syukuri. Dia berpikir lebih baik mengambil jurusan favorit agar peluang kerja yang dia dapatkan juga lebih besar. Sebenarnya Ayana sudah cukup puas bekerja di butik, namun sang ibu memaksa Ayana untuk melanjutkan pendidikan. Jangan seperti ibunya yang hanya lulusan SMP.
Ayana pulang ke rumahnya ketika sudah sore. Sambil bersantai di ponselnya dia melihat ada satu DM untuknya di Instagram. Ketika dia membukanya dia terkejut dan membelalak kaget. Dia mencoba membacanya lagi dan ternyata benar pesan itu untuknya. Begini isi pesannya.
Halo kak Ayana author dari novel “Garisan warna” saya Mitha salah satu penggemar novel kakak. Jujur saya sangat menyukai novel buatan kakak karena ceritanya sangat bagus dan indah. Mungkin kakak tidak tahu kalau saya juga mengalami hal yang sama seperti tokoh utama di novel yang kakak buat. Saya terkena leukimia. Buat saya, novel kakak menjadi penguat dan penyemangat saya. Tetapi kenapa kakak tidak pernah menulis Bab baru lagi? Apa kakak sedang sibuk? Padahal aku selalu mengecek novel kakak karena penasaran akan lanjutan ceritanya. Semoga kakak segera menulis lagi ya kak. Atau kakak juga punya karya lain yang indah boleh kakak bagi juga ke saya. Saya suka tulisan kakak karena meski sederhana namun pesannya kena banget. Terus berkarya ya kak, jangan menyerah. Semoga tulisan kakak bisa menginspirasi dan bermanfaat bagi orang banyak sepertiku.
Salam sayang
Mitha Fitriani
Ayana membaca pesan itu berulang-ulang saking tidak percaya kalau ini nyata. Tulisan yang sudah dia endap lama ternyata masih dibaca orang. Dia terharu dan merasa bodoh. Lupa bahwa ketika pertama dia menulis, dia tidak hanya mementingkan uang atau jumlah pembacanya. Namun karena dia menyukainya, sesederhana itu. Ayana akhirnya sadar bahwa setiap tulisan dan karya pasti punya penggemarnya tersendiri.
Ayana sangat berterima kasih kepada Mitha dan bertekad akan menyelesaikan novelnya. Serta berniat akan membuat karya lain dan tidak peduli apakah akan banyak orang yang mau membaca karyanya. Ayana hanya suka menulis dan juga akan berusaha memasarkan karyanya sebanyak dan semampu yang dia bisa. Berhari-hari berlalu sejak kejadian manis itu membuat perasaan Ayana kian membaik. Ayana kembali menyukai dunia menulis dan tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam lagi di jurusan kuliah barunya nanti “Sastra Indonesia.”
Penulis: Inong Islamiyati Abdullah