“Sebenar aku jemput yah?”
Tak satu pun jawaban terdengar. Hanya ada satu dua anggukan yang tercipta karena keterpaksaan.
“Aku pergi dulu.” Ia tersenyum, lantas mengikuti kalimat yang ia lontarkan, dan seketika jaket hitam serta motor merahnya menghilang di ujung jalan.
Senja baru saja usai, namun tak sedetik pun dari 47 detik berharga dapat kurasakan. Meski burung-burung mulai berbaris tuk pulang dengan kedamaian, meski semir angin mengisyaratkan akan sebuah kenyamanan, namun belakangan semua senja-senja itu hampa. Yang ada hanyalah keterpaksaan.
Cerpen – Masih Harus Menunggumu by Zaskia Zahwa Tsamara
Sebagaimana janjinya, sebelum pukul 8 malam ia tiba di depan rumah. Disambut oleh Ayah yang pastinya menantikan sekotak martabak. Sebagaimana hari-hari biasanya, ia datang dengan pakaian serba hitam.
“Maaf Om, Gea ada?” Samar-samar kumendengar suaranya. Andai aku bisa mengendalikan pikiran Ayah, kan kubalas, “Tidak, Gea tidak bisa pergi bersamamu.”
Dari balik jendela, aku hanya menerka-nerka dialog selanjutnya. Seakan mengetahui kehadiranku, suara mereka semakin menipis, berbisik, lalu disusul dengan tertawa.
“Liam, belakangan ini Gea sepertinya sedang ada masalah. Om rasa dia sakit, tapi dia tidak mau diperiksa. Wajahnya selalu murung tertunduk. Seperti sedang banyak pikiran dan tatapannya seperti sedang bimbang.” Ayah kembali mengeraskan suaranya. “Liam, Om rasa Gea tidak bisa keluar malam ini. Berat rasanya Om harus melepas Gea. Dia itu anak perempuan, satu-satunya pula. Meski kalian akan pergi karena tugas, Om tidak bisa mengizinkan.”
Aku tahu sebenarnya Ayah mengukai keberadaan Liam di rumah sederhana ini, namun Ayah juga tahu bahwa belakangan ini aku sedang mencoba menjaga jarak darinya. Sudah lama sebenarnya. Namun setelah dipikir-pikir, Liam adalah orang yang sangat baik. Dia adalah satu-satunya orang yang ingin berteman denganku dan selalu ada untukku.