Pagi itu ibu tengah terlelap disamping sebuah mesin jahit tua yang telah lusuh. Deru nafasnya pelan dan teratur menandakan bahwa pemilik raga itu tengah tertidur pulas. Waktu masih di empat ketika aku mendapati pahlawanku itu tengah memeluk sebuah batik yang telah ketinggalan jaman motifnya.
Entah apa pasalnya, kulihat ibu begitu menyayangi batik itu. Belakangan ini, dia lebih sering tertidur dengan sisa air mata sambil memeluk batik itu lagi. Barangkali dia menangis semalaman, atau bisa jadi kelilipan sebelum tertidur. Ah, apa yang sedang aku katakan tadi?
Aku berjalan benjinjit untuk meminimalisir suara decitan akibat berat tubuhku ketika menginjak lantai kayu. Sepertinya beratku bertambah, atau bisa jadi lantai dari kayu-kayu ini yang terlampau tua hingga berderit berlebihan.
Entahlah, aku lebih suka argumenku yang pertama. Ku tatap lagi paras penuh kerut itu, aku tahu selama ini ibu terlampau sering berpura-pura. Berpura-pura bahagia, berpura-pura ceria, berpura-pura tidak kesepian, berpura-pura. Karena begitulah lazimnya orang semacam kami menjalani hidup.
Tak kupungkiri akupun sering berpura-pura. Berpura-pura tidak bersedih saat melihat ibu seperti ini, berpura-pura tidak tersinggung kala teman mencemooh pun berpura-pura bahagia saat segalanya terlihat begitu menyedihkan.
Artikel yang sesuai:
Aku mengambil selimut tipis yang sudah tak keruan warnanya. Aromanya pun tak lagi sedap meski berkali-kali direndam dalam air mawar atau rendaman daun pandan. Bagi kami, parfum atau pengharum pakaian bukan sesuatu yang lazim, malah terkesan aneh tak pantas.
Lupakan soal aromanya. Setidaknya, ini cukup untuk mengangatkan tubuh kala rinai hujan turun. Aku menyelimutkan kain yang lebih seperti kain lap ini pada ibuku. Aku ingin membangunkannya, namun enggan saat melihat wajah lelahnya tertidur begitu pulasnya.
Sepertinya ibu baru jatuh tertidur pada dua, atau barangkali tiga. Tetapi, tampaknya kurang nyaman ketika tertidur dengan posisi seperti itu. Terduduk diatas sebuah kursi.
“Bagaimana jika ibu sakit punggung?” Aku bergumam lebih kepada diri sendiri. Karena kenyataannya, di gubuk reyot ini hanya ada aku dan ibuku.
Akhirnya dengan berat hati aku guncangkan pelan tubuh ringkih itu. Lantas memanggil namanya pelan. Kelopak matanya terbuka perlahan. Tepat seperti dugaan. Mata merah itu menjelaskan semuanya.
“Hm. Kenapa nak?” tangannya mengusap wajah lelah itu.
“Ibu kenapa tidur disini lagi? Punggung ibu bisa sakit. Mari Senja antar ibu ke kamar” aku menuntun ibu berjalan naik ke atas dipan rumah, satu-satunya kasur di rumah ini jika itu dapat dikatakan sebagai kasur. Lantas kembali menyelimutinya dengan selimut tipis.
Tak dapat ku tampik, ini begitu menyedihkan. Aku begitu menyedihkan, karena tidak dapat membahagiakan satu-satunya keluargaku. Selama ini kami hidup atas kemurahan hati tetangga kanan kiri. Aku ingin mandiri, tapi aku belum mampu.
Berharap atas keajaiban yang tiba-tiba terjadi? Ini bukan kisah drama seperti di televisi bersemut yang sering ku lihat melalui jendela rumah tetangga. Butuh kerja keras untuk hidup. Butuh kerja keras untuk merubah hidup.
Ini tidak benar, aku sama sekali tidak boleh terus mengandalkan kemurahan hati tetangga. Tetapi aku ini apa? Hanya seorang Senja yang redup sinarnya karena tertutup pekatnya awan. Sekolahku hanya sampai kelas tiga sekolah dasar. Aku hanya bisa membaca dengan terbata. Berharap apa aku ini?
“Ah. Senja, apa sekarang kamu mencoba untuk mengeluh? Jangan sekali-sekali senja. Jangan pernah”
***
Beberapa orang berlalu lalang, beberapa lagi sibuk dengan sebuah persegi panjang kecil di tangannya. Senja selalu ingin tahu akan benda tersebut. Ironisnya, tak seorangpun mau memperkenalkan hal itu padanya. Tetapi toh, itu bukan hal penting.
Senja terlalu sibuk meraup rupiah demi rupiah untuk menyambung hidup. Seringkali dia gusar bagaimana dia akan menghadapi esok hari. Namun air mata sang ibu selalu menjadi penyemangat tatkala dirinya gundah dan meragu dalam pilu.
Pagi itu, untuk kesekian kalinya Senja merasakan kesepian dan kemalangan di tengah hiruk pikuk kota besar. Menatap orang-orang dengan pakaian bagus, pun menghirup aroma-aroma masakan lezat yang sama sekali tak pernah mampir dalam kehidupannya.
Yang dia tahu, hanya nasi biasa yang tak lagi putih dengan lauk sederhana untuknya dan ibundanya. Itu semua sudah sangat cukup dan Senja bersyukur akan hal itu. Hanya karena bersyukurlah hidupnya bahagia. Bukan sekali dia iri melihat remaja sebayanya mengenakan seragam sekolah. Pun tak terhitung berapa kali Senja merindukan sosok yang dapat dia sebut sebagai ayah.
Senja tak pernah punya yang satu ini. Pernah sekali-dua Senja bertanya pada ibunya. Namun hanya raut kesedihan yang dia dapatkan. Semenjak itu, Senja tak lagi bertanya-tanya soal ayah. Siapa dia, atau dimana dia, pun seperti apa rupanya. Senja tak lagi ingin tahu.
Alih-alih memikirkan kesedihannya yang tak berujung. Senja bergegas menyusuri gang-gang kecil di pinggiran kota untuk menjemput rupiah. Tanpa selembar kertas bernama ijazah, dan tanpa diiringi dengan keahlian. Senja hanya mampu bekerja serabutan. Menawarkan jasa yang tak seberapa. Dari rumah ke rumah.
Bersedia melakukan apapun. Mulai mencuci hingga mengangkat batu-bata konstruksi. Sekali lagi Senja lakukan untuk menyambung hidup.
“Terima kasih nak Senja. Ini upahnya” seorang bapak tua menyerahkan lembar rupiah pada Senja dengan seulas senyum. Senja selalu tau adalah dua arti dari senyum itu. Ada senyum tulus atas rasa terima kasih, serta senyum miris melihat gadis belia sepertinya harus bekerja alih-alih bersekolah. Senja membalas senyum itu serta merta berucap terima kasih.
Siang beranjak petang tatkala Senja menjinjing kantong plastik berisi nasi dan lauk untuk malam ini. Lagi-lagi makanan sederhana dengan harga tak seberapa. Namun bibir indah namun kusam itu tak henti-hentinya tersenyum.
Sesekali dia menyenandungkan nada-nada yang dia dengar dari rumah-rumah dimana dia bekerja. Senja berhenti didepan sebuah gubuk reyot yang dia sebut rumah. Dia menatap miris gubuk dengan dinding bambu yang tak lagi kokoh itu. Belum lagi lubang seolah menjadi hiasan di sana-sini. Namun lagi-lagi gadis itu dipenuhi rasa syukur.
Bukankah banyak dari mereka yang tidak seberuntung Senja? Setidaknya, Senja memiliki atap untuk bernaung. Gumamnya dengan seulas senyum.
Tetapi kali ini, senja tak lagi menatap rumah itu. Sempurna sudah tatapannya terpaku pada sosok di depan rumahnya. Sudah lama sekali semenjak terakhir kali gubuknya kedatangan tamu. Pria paruh baya, dengan wajah ramah dan sorot mata tenang.
Pakaiannya rapi sangat kontras apabila dibandingkan dengan gubuknya. Senja segera tersadar, dia melangkah pada dua orang disana. Masih dengan senyum berbalut tanda tanya. Senja menyalami mereka berdua. Pria paruh baya itu kembali tersenyum.
“Jadi ini Senja? Cantik sekali” hal ini dirasa Senja sebagai pujian yang berlebihan. Atau barangkali karena Senja tak pernah mendapatkannya sebelumnya, dia merasa kikuk.
Dan membalas dengan senyum. Senja menyimpan plastik yang dia bawa dan bergegas mandi di jamban yang sejujurnya terasa kurang nyaman. Namun hanya ini yang dia punya dan Senja harus bersyukur. Itu pesan yang selalu tersampaikan oleh ibunya menjelang tidur.
Berjuta tanya menyapu seluruh kepalanya. Namun yang dilakukan senja hanya diam. Dia tak berani bicara.
***
Petang resmi berganti malam. Dan lampu minyak bersinar laksana selimut senja di gubuk tua ini. Senja risau. Logikanya dipenuhi rasa ingin tahu, tetapi dia tak tahu mesti memulai dari mana. Setelah makan, ibunya kembali melanjutkan jahitan. Mesin tua itu telah berderit-derit.
Terseok-seok bekerja karena telah dimakan usia. Hingga malam mendaki usia, Senja masih dipenuhi rasa ingin tahu. Dia berusaha mengalihkan dengan melipat helai pakaian yang cepat selesai karena jumlahnya yang tak seberapa. Menyapu lantai kayu berkali-kali dengan ijuk bekas yang nyatanya masih saja meninggalkan debu.
Senja kian risau, sedari tadi ibunya terdiam. Rasa khawatir menenggelamkannya begitu dalam. Senja mulai berfikir macam-macam.
“Apakah Pria tadi wakil pemerintah yang akan menggusur rumah ini?” Senja yang tahu gubuk ini berdiri diatas lahan bantuan pemerintah kian takut akan kemungkinan itu. Dia jadi menyesal memikirkan hal itu. Ini membuatnya tak tenang.
Tepat di sembilan ketika Senja kian ditikam ingin tahu yang menjadi. Serta merta sang ibu telah menyelesaikan kerjanya. Ibunya beranjak, naik keatas dipan yang lagi-lagi menimbulkan suara berderit tidak nyaman.
“Senja…” suara sang ibu mematahkan argumen yang kian keterlaluan di kepala Senja. Senja beranjak menghampiri ibunya.
“Ada yang ingin kamu ketahui nak? Sedari tadi ibu perhatikan kamu begitu gelisah”
“Eh. Anu. Senja ingin tahu. Kenapa ibu sangat menyayangi batik tua itu” kalimat itu dengan mudahnya lolos begitu saja dari bibir tipis Senja. Senja merutuki dirinya, mengapa itu yang dia katakan? Semestinya, dia bertanya mengenai kepentingan pria tadi.
Ibunya tersenyum “Itu batik untuk ayahmu nak. Dulu sekali, dia begitu menyukai motif itu. Ibu tahu apa yang kamu pikirkan. Seleranya payah sekali” ucapnya kemudian seraya tersenyum kecil. Senja diam. Suara kendaraan berlalu-lalang masih terdengar meski malam kian pekat. Ibu Senja menghela nafas, lantas itatapnya wajah putri semata wayangnya itu.
Rasanya, sudah masanya Senja mengetahui keseluruhan cerita.
“Senja..” Panggil ibunya memutus lamunan Senja. Senja beralih menatap wajah yang menyiratkan lelah itu. yang Senja tahu, ibunya selalu cantik meskipun telah menua. Sejatinya, ibunya belum setua itu. Usianya belum empat puluh. Namun beban hidup menggerus usianya hingga tampaklah ibunya telah begitu ringkih dan rapuh.
“Ayahmu orang baik nak. Dia sangat baik, dan juga tampan..” Senja sempurna terdiam, dia tahu ibunya telah siap.
Siap mengorek luka lama tepat ketika luka itu beranjak kering, membiarkannya basah, lantas menikmati sakitnya.
“Jangan pernah sekalipun kamu membenci ayahmu nak” mata ibunya mulai berkaca. Senja menggeleng, tak pernah sekalipun dia membenci ayahnya. Apa haknya untuk membenci orang-orang yang belum pernah dia temui? Tidak ada.
“Dia teramat baik dan pekerja keras. Sayang, nasib belum berpihak. Berkali-kali ayahmu gagal berbisnis. Pada akhirnya malah meninggalkan hutang yang kian membesar. Seperti yang kamu tahu, ada beberapa hal yang memang harus dikorbankan. Rela tidak rela. Siap tidak siap. Dan ayahmu, dia mengorbankan dirinya. Tepat sepekan setelah ibu melahirkanmu, dia pergi. Pergi demi melunasi hutang-hutang agar kelak hidup kita tak terbebani. Ibu tak setuju, tidak akan pernah. Akan lebih baik tetap bersama memecahkan masalah ini. Namun ayahmu tak ingin, dia ingin menyelesaikannya sendiri. Sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab. Sebelum semuanya bertambah rumit dan tak menyisakan celah untuk bertahan hidup. Dengan berat, ayahmu tetap pergi. Entah kemana, entah bagaimana. Meski demikian, dia berhasil. Hutang kita lunas”.
“Di tahun pertama, ayahmu dengan rutin mengirim surat setiap bulannya. Bertanya mengenai beberapa hal, lebih banyak tentang bagaimana putrinya yang cantik tumbuh. Tahun-tahun berikutnya semakin jarang. Terkadang setahun hanya dua kali, setahun sekali, hingga tak pernah lagi hingga saat ini. Semuanya hilang, ibu kehilangan suami dan kamu kehilangan sosok ayah. Kita tak pernah tahu bagaimana kabarnya, dimana dia. Apakah dia masih hidup ataukah tidak. Ibu tahu Senja teramat merindukan sosok ayah. namun semuanya hilang nak, bahkan sebelum kamu mengenalnya” Senja masih diam, otaknya masih merangkai segala hal yang terjadi.
Entah darimana, rindu yang hebat segera menyapu tubuh kurusnya. Dia merindukan ayahnya. Amat sangat. Matanya berkaca. Sungguh, rindu pada sosok yang tidak mampu diingat lebih menyiksa dari apapun.
“Lantas siapa pria tadi? Dia adalah pamanmu nak. Kamu tidak pernah tau tentangnya karena ibu telah memutuskan segalanya. Ibu memutuskan hubungan dengan keluarga ayahmu dengan dalih bahwa ibu kecewa terhadap sikap ayahmu. Itu kesalahan besar, amat besar. Dan sekarang, ibu menyesal. Dia datang bersama kabar yang disampaikan ayahmu. Ayahmu berhasil, dia telah menjadi ayah yang dapat kamu banggakan. Esok pagi, paman akan menjemput kita menemui ayah yang selama ini kamu rindukan”. Sempurna sudah rindu menenggelamkan Senja.
***
Hampir tak terbayangkan dalam hidupnya, Senja akan menaiki sebuah mobil. Selama ini dalam hidupnya, membayangkan untuk menyentuhnya saja Senja merasa tak pantas. Pakaian lusuh yang dia kenakan sangat berbanding terbalik dengan mobil yang dia tumpangi.
Senja tersenyum, bahagia. Teramat bahagia untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia akan berjumpa pahlawannya. Senja mendekap erat tas plastik berisikan kemeja batik untuk ayahnya. Senja ingin menyerahkannya sendiri. Kemeja kuno dengan motif kesukaan ayahnya.
Senja tak kuasa membendung bahagianya kala dipersilahkan memasuki sebuah rumah yang tergolong mewah. Senja merasa lebih terlihat seperti pengemis dibandingkan anak pemilik rumah. Ayahnya begitu mencintainya, di setiap pilar rumah yang terbuat dari kayu mewah itu terukir namanya. Bahkan kamar tidurnya sendiri telah diisi beragam perlengkapan yang tak pernah berani Senja impikan. Tak henti-hentinya Senja tersenyum. Ibunya pundemikian.
“Ayah dimana bu?” ibunya tersenyum.
***
Senja kehilangan senyumnya. Tatapan matanya redup. Dia sama sekali tidak menyangka akan hal ini. Apa ini? Bukankah dia meminta menemui ayahnya? Mengapa dia harus sampai di pemakaman sepi ini? Senja terbata membaca nama di nisan itu. Angkasa.
“Ayah..” Lirih senja. Seketika hujan jatuh dengan deras di mata Senja. Dia telah kehilangan, kehilangan hal yang belum pernah dia miliki.
Senja meraung diatas tanah pekuburan yang masih merah itu. Harum aroma kelopak mawar kian menyayat hati Senja. Senja berkali-kali memanggil nama ayahnya. Pakaian putihnya yang baru telah penuh oleh noda. Perasaannya sekacau penampilannya saat ini.
Senja kehilangan, dia kehilangan Angkasanya. Dia kehilangan ayah yang belum sempat dia sayangi. Seperti apa rasanya? Senja tak mampu mengatakannya. Ibunya menatap dari kejauhan, dia tak sanggup menatap putrinya yang tengah terluka.
Namun dia membiarkan putrinya ‘menyapa’ ayahnya. Dia membiarkan Senja ‘menyapa’ angkasanya. Senja telah menemukan angkasanya untuk pertama kalinya selama hidupnya. Ayah, maaf Senja datang terlambat lirihnya penuh kepiluan.
***
Tatap matanya selalu redup. Senja, tak lagi kemilau menyampaikan keindahan. Dia masih kehilangan angkasanya. Ayahnya. Ibunya memandang dari kejauhan, tak sampai hati melihat keadaan putrinya. Kini putrinya dikelilingi oleh harta. Namun sama sekali tak berbahagia.
Rupanya, harta sama sekali tidak menjamin kebahagiaan. Senja menggenggam sebuah surat, surat yang telah diberikan ibunya sepulang dari tempat pemakaman, namun sama sekali belum dia buka. Dia masih tak percaya akan semua roda kehidupan yang tak berhenti mempermainkannya.
Petang itu, tepat ketika hujan mengetuk jendela kamar gadis itu. Senja membuka suratnya. Teruntuk putriku, Senja. Bagaimana kabarmu nak? Ayah meminta maaf karena tidak bisa menjadi Angkasamu. Ayah belum bisa menjadi Angkasa tempat Senja menyalurkan segala suka dan duka. Ayah teramat menyesal telah meninggalkan senja tanpa angkasa.
Ayah selalu mencintaimu nak. Tepat ketika ayah pergi untuk memperbaiki kehidupan kita. Ayah sama sekali tidak pernah tidak merindukanmu. Setiap hela nafas ayah lalui dengan mengingatmu, mengingat senja, putri ayah. Senja, ayah teramat merindukanmu.
Setiap suap nasi dan tetes peluh, ayah kian mengenangmu. Bagaimana kabar putriku sekarang? Apakah dia makan dengan baik? Apakah dia tumbuh dengan cantik?
Senja, bahkan lelah ayah selama bekerja terhapus seketika saat mendapatkan balasan surat dari ibumu. Ayah sangat bahagia mengetahui kamu tumbuh dengan sehat. Ayah kian merindukanmu. Namun ayah harus menyelesaikan semuanya, ayah harus punya uang untuk bahagiamu. Ayah bekerja sangat keras untukmu. Ayah bertekad untuk memberimu bahagia.
Tahun terus beranjak. Ayah kian merindukannmu, namun semua ini belum cukup. Hasil yang ayah dapatkan belum cukup. Ayah harus bekerja lebih keras agar Senja bahagia, agar Senja tidak kesulitan macam ayah. Biarlah ayah mengorbankan diri ayah demi Senja.
Senja, tepat setahun yang lalu ayah ingin menjemputmu. Ayah kira, semuanya telah selesai. Kita telah dapat hidup bahagia bersama. Namun ayah salah besar, rencana Tuhan ternyata tidak serupa dengan rencana ayah. Mereka bilang ayah sakit, dan ayah harus pergi tanpa sempat menemui putri ayah.
Maafkan ayah yang tidak sempat berpamitan pada Senja, pada putri ayah. Ayah selalu merindukanmu nak. Ayah telah berusaha untuk bertahan, sungguh. Namun ayah ternyata tidak sekuat itu. Ayahmu tidak sehebat itu nak. Angkasamu belum bisa jadi tempat senja berpulang.
Senja, pada titik ini ayah menyerah. Ayah tetap mencintaimu, sungguh. Akan selalu begitu. Senja, berjanjilah nak. Jika Senja akan terus bahagia, Senja akan menjadi putri yang membanggakan. Senja akan menjadi senja yang cantik, bersinar dengan indah layaknya sepotong senja pada bulan April. Senja, berbahagialah nak. Agar ayahmu tahu bahwa dia telah berhasil. Dari yang teramat sangat mencintaimu.
Ayah
Senja menangis, meraih batik tua milik mendiang ayahnya lantas menghirup dalam aromanya. Mencari-cari sosok yang selalu dia banggakan.
“Ayah, Senja selalu merindukan ayah. Terima kasih telah memberi Senja begitu banyak cinta dan kasih sayang” ucapnya lirih.
Ditulis Oleh:@nengerlin_m