Cerpen Kehidupan Kampus – Alasan Jangan Kasih Kendor Gebetan [KOMEDI ROMANTIS]

Pertama kali masuk kampus, aku mendapatkan kenalan cewek. Namanya Nadia. Perawakannya manis dan memiliki lesung pipi. Sangat enak dipandang lama, lalu membayangkan masa depan cerah dengannya. Badannya lebih tinggi beberapa centimeter dari aku. Saat kami sama-sama berdiri membicarakan mata kuliah, hanya dagunya yang dapat ku lihat. Jadi dapat disimpulkan, tinggi badanku sedagunya Nadia.

Meskipun beda jurusan, kami sering ketemu dan membicarakan mata kuliah. Kalau boleh jujur, aku hanya bermodalkan sok tahu saat Nadia bertanya tentang mata kuliahnya. Jaga image aja, biar gak dikira bodoh. Meskipun sebenarnya aku gak pinter-pinter amat.

Setelah pertemuan pertama di kantin fakultas beberapa hari setelah kuliah pertama, aku dan Nadia semakin sering menjadwalkan ketemu. Hampir setiap minggu kami ketemu di depan gedung pertemuan kampus sambil menikmati free wifi dan sebungkus makanan ringan. Wajahnya yang manis membuatku betah berlama-lama dengannya. Tidak pernah kami ketemu kurang dari 2 jam. Selalu lebih dan masih kurang aja. Hanya senja dan malam hari yang bisa memisahkan kami.

Setelah beberapa bulan dekat, ada perasaan aneh numpang di diriku. Seperti dorongan untuk lebih dekat dengan Nadia. Lebih dekat dari saat ini. Ku rasa aku jatuh cinta. Tapi aku masih bingung, aku takut jika aku membicarakan perasaan ini dengannya, dia menjauh dan tak mau berbicara denganku lagi. Aku masih menunggu sampai saat yang tepat. Setidaknya ketika Nadia juga mengisyaratkan perasaan yang sama denganku.

Suatu sore setelah pulang ngampus, aku mampir di salah satu warung kopi dekat kampus. Ada Nadia dan beberapa temannya di sana. Aku menghampirinya.

“Nad, ngapain kau?” kataku berjalan mendekatinya.

Nadia yang tak sadar dengan kedatanganku kaget melihatku mendekatinya. “Minum aja sih Rif, ngapain kau? Tumben mampir ke sini?”

“Bodrek, gila. Tadi aku ada quiz microeconomy, pertanyaannya parah abis. Dapet C bersyukur banget!”

“Ohh kacian, sini duduk dekat aku!” Nadia mempersilahkan aku duduk dekatnya. Teman-teman Nadia yang menyadari kedatanganku agak geser dari tempat asalnya. “Mbak kopi susu” kataku ke penjaga warung.

“Gimana, cerita? Sesulit apa sih soal yang kamu kerjain?”

“Ya gitulah Nad, udah bahas yang lain aja yak! Jangan buat aku jadi risau” ucapku memohon Nadia membicarakan hal lain.

Nadia hanya senyum kepadaku. Seolah-olah senyumnya mewakili lisannya. Mungkin jika diterjemahkan dia akan berkata “Iya Arif ganteng”. Makasih loh.

“Udah jam setengah lima nih, kamu gak balik ke kos?” tanyaku.

“Nunggu kamu aja Rif, sekalian anter aku gitu. Hehe”

Kosan Nadia tak jauh dari kosanku, jika dihitung dengan penggaris 30 cm palingan Cuma butuh 50 penggaris. Iya, jaraknya tak lebih dari 150 meter. Itulah alasan kenapa kami sering bertemu dan ngobrol bareng. Sepertinya tempat ini menunjangku untuk bisa memiliki Nadia. Setidaknya waktu dan kesempatan bersamanya. Suatu saat pasti hatinya yang bakalan aku miliki.

“Yuk naik!”

“Aku duluan ya gaes!” Suara lantang Nadia kepada beberapa temannya itu.

Sepeda matic peningglan kolonial ini menjadi saksi bagaimana keseharian kami. Hampir setiap hari Nadia nempel di jok belakang sepedaku. Biarpun butut, tapi sejarahnya itu loh, gak bisa dilupakan. Sepuluh menit berselang kami sudah ada di depan kosan Nadia. Ada beberapa cewek disana, beberapa diantaranya aku kenal. Saking seringnya kesini mungkin.

“Dari mana aja nih, sore baru pulang!” kata Anti.

“Ah ikut campur masalah orang dewasa aja kau!” kataku. Anti memang unik. Tubuhnya kecil, wajahnya bersih dan tak pernah berias. Kebanyakan orang akan tertipu dengan tampangnya, mengira dia masih SMP. Sama seperti aku dulu.

“Udah cepet balik sana, Nadia steril disini. Gak ada yang godain. Palingan pak satpam itu” anti menunjuk pos satpam depan kosan Nadia.

Wajah cemberut ku hadiahkan ke Anti, Nadia yang melihat tingkah kami hanya senyum. Seperti maklum melihat dua Remaja kurang bahagia seperti kami.

“Nad besok kan Sabtu, nanti ketemu gak? Atau besok pagi gitu?” kataku menawari Nadia keluar.

“Nggak besok malam aja?”

Hem, benar juga apa kata dia. Sabtu malam minggu sepertinya waktu yang tepat untuk kencan berdua. Meskipun saat ini status kami hanya teman dekat. Tapi harapanku, besok aku harus bisa mengungkapkan perasaanku. Tapi gatau juga sih. Mentalku masih lemah.

Aku senyum, lalu bilang “Yaudah aku balik”

Kosan menjadi tempat paling lama aku berfikir. Besok malam adalah hari pembuktianku. Pria tidaknya diriku ditentukan besok malam. Aku memang sudah suka Nadia sejak beberapa bulan setelah kenal. Dari gerak-geriknya, sepertinya Nadia memiliki perasaan yang sama denganku. Aku yakin itu. Setiap ketemu dia suka mepet-mepet. Seakan-akan aku adalah tempat ternyaman untuk disandari di dunia ini.

“Cara nembak cewek yang baik dan benar” tulisku di kotak pencarian Google.

Aku memang tak jago untuk urusan ini. Terakhir aku nembak cewek saat masih SMA. Itupun ditolak. Maka, demi jaga-jaga, guru terbaik saat ini adalah Google. Lagian gak mungkin tanya Hadi, teman sekosan. Dia lebih parah dariku. Sejak lahir sampai umur 19 tahun tidak pernah merasakan indahnya pacaran. Jika aku nekat bertanya padanya, jawaban yang pasti keluar dari mulutnya adalah “Temani aku aja bro! Single itu enak”. Itulah kata yang sering dia katakan padaku. Bukan tak mungkin, kata itu dia ucapkan kembali saat aku meminta saran nembak cewek padanya.

“Had! Aku besok malam mau nembak cewek nih. Ada trik gak buat gak gugup?”

“Nembak cewek? Yang bener kau?” kata Hadi terkejut.

“Ya maaf aja, aku gak bisa nemanimu jomblo seumur hidup” kataku sedikit tertawa.

“Eh eh, gila ngeremehin Hadi. Tadi aku habis nembak Anita loh!”

“Wih mantab bener!” Anita adalah anak paling cantik di fakultas ekonomi. Wajahnya seperti setengah eropa dan setengah cina. Mempunyai lesung pipi sama seperti Nadia. Pokoknya bunga fakultas deh.

“Terus diterima?” tanyaku kagum.

“Ditolak lah, kayak gak tau aku aja” jawab Hadi santai.

Hadi memang gak punya malu, secara hidup dia punya prinsip “single happy” tapi selalu ditolak cewek. Aku rasa ada keanehan dalam hidup Hadi. Dia memang selalu ditolak cewek. Kesalahan dia emang, semua yang dia tembak kebanyakan cewek cantik. Sangat cantik bahkan.

“Hemm. Rugi tanya aku. Udah ke berapa ini?”

“Apanya?” tanya Hadi bingung.

“Ditolak”

“Gak aku hitung Rif, banyak deh. Gini aja, kau kan mau nembak cewek. Jangan gugup. Aku pergi dulu. Ada urusan UKM”

Buset deh ini anak. Aku tahu, cara nembak cewek memang jangan pernah gugup. Yang aku tanyain, bagaimana mengatasi gugup. Ah syudahlah. Biarpun Google Cuma website, tapi tak segila Hadi. Baca lagi ah..

Sabtu sore penuh teka-teki, nanti malam adalah malam penantian 3 tahun setelah jomblo. Nasibku sebagai jones dipertaruhkan malam ini. Aku memilih baju keren kesukaanku, kaos polos warna hitam corak pink. Agak feminim memang, tapi gak terlalu kelihatan saat aku tutup sweater. Jadi, terlihat agak keren. Setidaknya gak memalukan. Jam 3 sore tadi aku juga sudah ke ATM, jaga-jaga aja. Biar gak ada kesan kere.

“Rif, nanti malam jadi gak?” whatsapp Nadia.

“Jadi dong! Aku jemput kamu jam 7 ya?” balasku.

Setelah magrib, aku bersiap-siap. Memakai pakaian yang sudah ku persiapkan. Membersihkan sepeda bututku, agar terlihat sedikit ganteng saat momen bersejarah nanti.

“Jadi Rif?” Hadi membuka pintu.

“Iya Had, bentar lagi aku jalan”

“Nih!” kata Hadi sambil memberikan sebuah barang dalam kresek hitam.

“Jangan dibuka, taruh tasmu aja. Buka nanti setelah kencan”

Kadang hadi memang menjadi teman yang baik. Contohnya seperti ini, aku dikasih mantra ala orang plosok. Ya gapapa sih. Semoga aja apa yang aku inginkan tercapai malam ini. Ekspektasiku sangat tinggi.

Sebelum aku melancarkan serangan maut, aku ngajak Nadia makan di salah satu restoran jawa kesukaanku. Itung-itung amal, aku bayar semua makanan yang dia pesan.

“Kita ke Kafe medika yuk!” kafe medika adalah salah satu kafe elit di kota ini. Bisa dibilang tongkrongan anak keren dan kaya disana. Ingin memberikan kesan baik aja ke Nadia. Masak aku nembak cewek secantik Nadia di trotoar pinggir jalan. Kan kurang gimana gitu kesannya. Kalau di kafe mewah kan ada kesan kerennya gitu. Jadi sedikit bangga.

“Yuk”

Saat perjalanan, dalam hati aku latihan mengucapkan kata pamungkas “Nad kamu mau jadi pacar aku!”. Kata-kata itu melayang-layang dalam anganku. Sampai tak terasa, tangan Nadia mendekap pinggangku. Padahal tidak dingin dan aku mengendarai motor cukup pelan. Aku senang. Sepertinya hasilnya sudah kelihatan nih, fikirku.

Setelah minum dan ngobrol sana-sini, akhirnya aku akan mengucapkan kata pamungkas yang sudah ku siapkan. Aku agak gugup.

“Nad!” awalku.

“Kenapa Rif?”

“Kamu tahu gak kenapa Hp butuh baterai?”

“Biar menyala lah Rif!” jawab Nadia.

“Iya benar, menyala itu bagaikan kebahagiaan. Kamu bakalan tahu Hp bahagia jika Hpnya bisa menyala. Ibaratnya, Hp dan baterai tidak bisa dipisahkan. Saling membutuhkan untuk bisa menyala”

“Iya sih” Jawab Nadia singkat.

“Kamu tau gak, aku bagaikan Hp, dan kamu adalah baterainya”

Nadia hanya diam dan melihatku tajam.

“Nad, aku sudah suka sama kamu sejak beberapa bulan setelah kita kenal, aku gak bisa menahan perasaan ini lebih lama. Malam ini, di tempat ini aku ingin mengatakan padamu. Aku mencintaimu Nad”

“Hmm ..” Nadia terkejut dengan ucapanku.

“Kamu mau jadi pacar aku?” ajak ku.

Nadia memalingkan wajahnya sejenak, lalu melihatkau kembali. Wajahnya terlihat bingung, gelisah dan agak memerah. Aku belum pernah lihat Nadia seperti ini.

“Aku juga suka kamu Rif” katanya singkat. Lalu dia menghirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya seketika.

“Tapi aku gak bisa pacaran Rif, kamu aku anggap teman level 3” teman level tiga adalah teman yang dekat lebih dekat dari dekat. Gitulah pokoknya. Seperti teman tapi mesra tapi tingkatannya lebih tinggi.

“Jadi?” tanyaku.

“Aku pengen kita jadi teman level 3 dulu aja!”

Setelah jawaban itu suasana jadi dingin dan hening. Beberapa menit kemudian aku dan Nadia pulang tanpa banyak kata. Entah kenapa aku sedih, padahal aku sudah dianggap teman level 3. Tapi, itu bukanlah status sebenarnya. Aku masih belum bisa menerima semua ini.

Kejadian malam minggu itu membuatku agak jauh dengan Nadia. Komunikasi mulai jarang. Aku lebih sibuk dengan hobbyku, bermain musik dan menulis. Sedangkan Nadia diketahui, aku tahu dari Anti, bahwa dia sudah memiliki pacar seminggu setelah aku nembaknya waktu itu. Sepertinya alasannya semakin nyatan. Dia memang tidak terlalu menyukaiku. Sejak saat itu pula, hampir setiap chatku tidak pernah dibalas Nadia lagi. Sepertinya alasanku menangis malam setelah aku nembak Nadia tak sia-sia, apalagi kantong kresek misterius pemberian Hadi berguna. Satu bungkus tisue. Hadi memang peramal sejati. Pada akhirnya, aku tetap jomblo dan semakin berhati-hati mendekati cewek.

Tinggalkan Komentar