Mentari bersinar terik, cahayanya mengintip di sela-sela jendela. Dering suara alarm memekakkan telinga. Aku meraba nakas di samping tempat tidur, mematikan alarm yang terus berbunyi.
“Hoammm,” Aku menguap panjang.
Menyesuaikan mata dengan cahaya, melirik jam di atas nakas pukul enam pagi. Aku meregangkan badan, segera mandi jika tidak bergegas aku akan terlambat pergi kerja. Setelah bersiap-siap, aku mengambil tas yang terletak di atas meja. Gerakan tanganku terhenti saat mataku menangkap sebuah foto yang diambil sekitar sepuluh tahun yang lalu. Aku mengusap foto, memperhatikan bingkainya yang telah usang.
Aku sepertinya harus segera mengganti bingkai itu. Kembali meletakkan foto di tempat semula, segera meraih tas lalu berjalan ke arah pintu.
Tanganku memegang pegangan pintu, menoleh sekali lagi ke pigura kemudian tersenyum. Aku segera membuka pintu sambil melirik jam di tangan. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh tepat, aku harus segera bergegas.
Cerpen – Kasih Sepanjang Galah by Cherie Aurora
“Selamat siang anak-anak.” Setelah dua kali memasuki kelas yang berbeda, ruang ini adalah kelas terakhirku.
“Siang Bu,” Aku tersenyum.
Selalu menyenangkan mendengar jawaban dari anak-anak didikku. Ya, inilah pekerjaanku. Aku menjadi salah satu guru di sekolah menengah atas. Pekerjaan yang kata orang-orang sangat mulia. Para pendidik generasi penerus bangsa, itulah julukan yang sering didapat oleh seorang guru.
“Baik, keluarkan tugas kalian!” Mendengar perintahku mereka mulai mengeluarkan tugas yang kuberikan minggu lalu.
“Ivan, data apa yang kamu dapatkan?” Aku memanggil salah satu siswa.
“Kami meneliti data para orang tua di panti jompo Bu, dari hasil penelitian kami, setiap tahun orang tua yang dimasukkan ke dalam panti jompo terus meningkat,” Ucapnya.
Aku menghela nafas, “Itu buruk sekali anak-anak.”
“Kenapa buruk Bu? Bukankah sudah dari lama orang-orang lebih memilih memasukan orang tuanya ke panti jompo atau menyewa seseorang untuk mengurusinya. Mereka merasa itu sudah menjadi kebiasaan, saya rasa sudah tidak ada lagi anak yang bersedia mengurus orang tuanya dengan alasan sibuk bekerja.” Teman sebangku Ivan menimpali.
Aku menghela nafas, “Kamu benar, pada zaman sekarang orang-orang lebih mementingkan pekerjaan mereka ketimbang merawat orang tuanya. Mereka berpikir selama kebutuhan orang tua mereka terpenuhi, itu sudah cukup, bahkan tak jarang yang rela mengorban orang tuanya demi sebuah pekerjaan atau materi.”
Aku menjeda kalimatku sejenak, menatap anak didikku satu-persatu. Wajah-wajah yang menunjukkan berbagai ekspresi.
“Mau mendengar sebuah kisah menarik?.” Tanyaku.
“Mau Bu.” Mereka menjawab antusias.
“Baiklah dengarkan baik-baik, semoga kalian memahami apa pesan dari cerita yang akan Ibu sampaikan.” Aku menarik nafas sebelum memulai cerita.
***
Seorang lelaki muda berdiri menghadap cermin yang menampilkan bayangin dirinya yang sedang memasang dasi dengan rapi. Setelah memakai dasi, lelaki tersebut menyisir rambut sambil melirik jam yang terletak di dinding.
Tersenyum, lelaki itu tersenyum, hari ini adalah hari kesekian kalinya dia datang ke tempat generasi penerus bangsa dididik. Menatap sekali lagi ke cermin memastikan bahwa penampilannya telah sempurna. Tersenyum sekali lagi, beranjak dari cermin mengambil tas yang berada di atas meja tak jauh dari jendela.
Tangannya terhenti saat ingin meraih tas, tanpa sengaja matanya melirik ke luar jendela.Di halaman rumahnya seseorang sedang berjalan ke luar pekarangan rumah menuju jalan raya. Sedetik kemudian dia berlari ke kamar, melewati ruang tamu terus menuju luar rumah sampai di teras rumah langkahnya terhenti, melihat sekitar mencari sosok yang berjalan di pekarangan rumahnya.
“Mak… Emak,” Panggilnya sedikit berteriak.
“Mak… Emak!” Sekarang dia berteriak lebih keras, tidak mendapati orang yang sedang ia kejar, dia segera berlari keluar pekarangan rumah.
Setelah berada di jalan raya, dia mendapati seseorang yang dia cari sedang berjalan menjauh dengan posisi membelakangi sekitar 50 meter dari tempatnya berdiri.
“Mak!” Teriaknya sambil berlari mendekati.
“Emak, kenapa keluar rumah sendirian? Ayo kita pulang ke rumah.” Ajaknya lembut.
“Gun, kenapa kita disini? Bukankah kamu harus pergi kerja? Kenapa kita ada disini?” Ibunya menatap orang yang dipanggil Gun dengan heran.
Sebelum Gun menjawab, ucapannya dipotong oleh tetangga yang melintas.
“Pak Gun, Nek Asri kenapa disini? Gak pergi kerja Pak Gun?” Seorang tetangga menyapa ramah.
“Tadi Mak berjalan sendiri ke sini, jadi saya mengejarnya. Ini juga mau pergi kerja.” Pak Gun menjawab sopan.
“Ya sudah kalau begitu saya permisi ya Pak Gun, Nek Asri.” Pamitnya sopan.
Pak Gun mengangguk sopan, setelah tetangganya pergi, dia mengajak Nek Asri pulang ke rumah.
Setelah sampai di rumah, Pak Gun segera pergi mengambil tas kerjanya. Nek Asri hanya diam menunggu anaknya bersiap-siap.
“Mak, ayo naik.” Pak Gun mengajak Nek Asri naik ke atas motor butut miliknya.
“Pegangan Mak,” Ucapnya sebelum menarik gas motor.
Sedetik kemudian motor butut itu membelah jalan raya, berbaur dengan kendaraan lain yang melaju dengan kecepatan rata-rata. Nek Asri memeluk erat pinggang anaknya. Pak Gun tersenyum, baginya selalu menyenangkan berangkat kerja dengan ditemani ibu yang sangat dia sayangi.
Pak Gun melirik jam, sedikit mempercepat laju motor bututnya. Sehingga membuat kendaraan roda dua itu terkentut-kentut.
***
Setelah tiba di tempat kerjanya beberapa menit lalu, Pak Gun memapah Nek Asri di lorong sekolah. Mereka sedang berjalan menuju kelas tempat Pak Gun biasanya mengajar. Tiba di dalam kelas, Pak Gun menuntun Nek Asri duduk di kursi yang berada di depan bagian samping meja kerjanya.
“Mak tunggu disini sebentar ya.” Ucapnya lembut.
“Kamu mau kemana? Kenapa kita ada disini?” Nek Asri menatap heran orang-orang yang berada di dalam ruangan.
“Ini tempat kerja Gun, Mak. Ingatkan? Mereka anak didik Gun.” Nek Asri berpikir sejenak kemudian mengangguk pertanda dia mengerti. Setelah melihat anggukan Nek Asri, Pak Gun kembali ke tempat duduknya meletakkan tas diatas meja lalu berdiri di depan kelas.
“Selamat pagi anak-anak,” sapanya ramah seperti biasa.
“Pagi Pak. maaf semuanya, seperti biasa Bapak membawa beliau.” Tunjuknya pada Nek Asri yang melamun entah memikirkan apa.
“Sudah biasa Pak, Kita sudah biasa belajar dengan memandang nenek-nenek tua,” Ucap salah satu siswa sambil menguap.
“Aldo, kamu gak boleh bicara seperti itu.” Tegur Vivin, teman sekelas Aldo.
“Memang benar bukan,” Ucap Aldo cuek. “Maafkan kesalahan Aldo Pak,” Reina teman sebangku Vivin berkata sopan.
Pak Gun hanya tersenyum mendengar ucapan Aldo. Dia sudah terbiasa mendapatkan perlakuan atau kata-kata kasar dari salah satu anak didiknya itu. Pelajaran kembali dilanjutkan. Pak Gun mulai menerangkan materi hari ini.
***
Beberapa jam kemudian bel istirahat terdengar. Semua berhamburan keluar menuju kantin. Pak Gun segera menutup spidol lalu berjalan ke pojok ruangan menghampiri sang ibu. Dia memapah Nek Asri hati-hati.
Di perjalanan menuju ruangan Pak Gun berpapasan dengan beberapa guru lainnya, ada yang menatap iba ada yang menatap tidak suka.
Bukan rahasia umum lagi jika banyak yang tidak menyukai Pak Gun. Bukan karena dirinya, tetapi karena ia selalu membawa Nek Asri ikut mengajar. Bagi beberapa guru dan banyak orang tua siswa, itu sangat menganggu aktifitas belajar siswa.
Pak Gun bukan tidak mengetahuinya, hanya saja ia memilih untuk mengabaikannya. Sebenarnya Pak Gun tidak mengajar disini pada awalnya. Dia mengajar di sekolah favorit tetapi itu hanya bertahan beberapa bulan, tepat di bulan ke tiga Nek Asri sakit keras.
Nek Asri ditemukan jatuh di kamar mandi. Tidak terlalu parah tetapi karena tubuhnya yang sudah lemah dan tua, Nek Asri mengalami kritis selama beberapa hari. Tuhan masih berbaik hati, Nek Asri sembuh. Hanya saja akibat dari benturan ketika jatuh membuat Nek Asri menjadi pikun.
Karena khawatir Pak Gun memutuskan mengajak Nek Asri ikut ke sekolah tempatnya mengajar. Sekolah menentang keputusan Pak Gun, mereka memecatnya. Setelah beberapa bulan akhirnya Pak Gun kembali mengajar di sekolah yang tak jauh dari rumah walaupun dengan gaji kecil.
Istirahat kali ini digunakan Pak Gun untuk menyuapi Nek Asri, beberapa siswa yang makan di kantin memperhatikan mereka. Pak Gun terlihat sangat sabar menghadapi Nek Asri yang telah tua dan pikun.
“Lagi memperhatikan apa Rein?” tanya Vivin sambil menyikut Reina yang sedari tadi sibuk memperhatikan Pak Gun dan Nek Asri sehingga mengabaikan makan siangnya begitu saja.
“Vin, kamu lihat Pak Gun, sepertinya Pak Gun sangat sayang sama Nek Asri,” Reina menjawab pertanyaan Vivin.
“Tentu saja, jika tidak Pak Gun tidak mungkin setiap hari membawa Nek Asri ke sekolah.”
“Kasihan ya Pak Gun.” Ucap Reina iba.
“Kenapa harus kasihan? Seharusnya kita iri kepada Pak Gun.”
“Iri?” Reina tidak mengerti dengan ucapan Vivin.
“Iya iri, kamu tahu Pak Gun bisa saja memasukkan Nek Asri ke panti jompo. Kenapa dia tidak melakukan itu? Jawabannya hanya satu karena Pak Gun begitu menyayangi Nek Asri. Kamu tahu kan jika kita ikhlas merawat orang tua kita, balasan yang kita dapat adalah surga.” Ucap Vivin
“Nah, Pak Gun sangat menyayangi ibunya, merawatnya, menjaganya. Tentu saja surga telah menanti beliau. Bukankah semua orang menginginkan surga? Lalu apa yang harus kita kasihani dari orang yang telah dijanjikan surga untuknya, dan satu lagi Pak Gun diberi tuhan kesempatan untuk merawat ibunya, sedangkan kita? Kita tidak tahu apakah nanti mendapatkan kesempatan itu. Kesempatan untuk membalas semua jasa seorang ibu.” Vivin mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum.
Reina ikut tersenyum, sekarang dia mengerti arti kalimat Vivin.
“Pak Gun kenapa selalu membawa ibunya sih, apa dia tidak tahu jika itu sangat mengganggu.” Keluh seorang siswa yang duduk tidak jauh dari tempat Reina dan Vivin.
“Sttt, jangan terlalu keras nanti kedengaran Pak Gun,” Ucap temannya.
“Aku dengar beberapa orang tua melakukan protes dan jika terus berlanjut kemungkinan Pak Gun akan dikeluarkan dari sekolah ini.” Ucap Vivin
“Vin, apakah itu benar?” Reina bertanya kepada Vivin memastikan jika pendengarannya tidak salah.
“Benar, besok Kepala Sekolah akan mengadakan pertemuan dengan para orang tua.” Reina terdiam mendengar ucapan itu, bagaimana jika Pak Gun benar-benar dikeluarkan dari sekolah? Reina sangat yakin Pak Gun pasti memilih ibunya.
“Asal kamu tahu Rein, sebenarnya beberapa orang tua sudah beberapa kali melakukan protes tapi Kepala Sekolah selalu menyelamatkan Pak Gun. Dia selalu bilang akan mengurusnya nanti. Beberapa hari terakhir Kepala Sekolah tidak bisa menahan lagi, maka dari itu besok diadakan rapat.” Vivin berbisik, Reina terdiam mendengar kalimat itu.
“Ayo masuk kelas, bel sudah berbunyi.” Ucapan Vivin memutus lamunan Reina.
Reina menghela nafas, mengangguk pelan. Entahlah tiba-tiba dia kehilangan semangat. Reina dan Vivin berdiri kemudian keduanya berjalan bersama menuju kelas.
***
“Pak Gun, saya mohon maaf, besok kita terpaksa mengadakan rapat dengan orang tua siswa dari anak didik Pak Gun. Saya sudah tidak bisa memberikan alasan, mereka memaksa mangadakan rapat.” Kepala Sekolah menatap Pak Gun dengan pandangan kasihan.
Pak Gun tersenyum,“Jika itu keputusan yang terbaik lakukan saja Pak, bahkan jika saya harus keluar dari sekolah ini.”
“Baiklah, besok siang kita adakan rapat.” Ucap Kepala Sekolah.
“Baik Pak, kalau begitu saya permisi.” Pak Gun pamit undur diri.
“Mari saya antar.” Kepala Sekolah berdiri dari kursi kebesarannya. Pak Gun ikut berdiri, mereka berjalan keluar ruangan Kepala Sekolah.
“Pak Gun, Nek Asri…” Reina datang tergopoh-gopoh.
“Ada apa Rein? Ibu saya kenapa?” Pak Gun bertanya panik. Reina tidak menjawab pertanyaan Pak Gun, ia langsung menarik tangan Pak Gun berlari melewati lorong sekolah menuju rumah guru. Sesampainya di ruang guru, Pak Gun mendapati Nek Asri sedang menangis ketakutan.
Di depannya berdiri seorang guru yang sedang berteriak marah kepada Nek Asri. Pak Gun yang melihat itu segera menghampiri Nek Asri dan memeluknya.
“Nek lihat berkas ini sangat penting, bagaimana bisa Nenek menumpahkan air kopi diatasnya. Ini harus dikirim sore ini Nek!” Guru itu berkata dengan nada suara tinggi.
“Tenang sebentar Bu, apa yang sedang terjadi?” Kepala sekolah yang baru tiba bertanya kepada Guru wanita yang sedang marah-marah.
“Nek Asri menumpahkan air kopi ke berkas yang harus dikirim sore ini Pak Kepala Sekolah.” Timpal Pak Gun.
“Ibu saya tidak mungkin melakukan itu.” Pak Gun ikut bersuara.
“Siapa lagi jika bukan Nek Asri? Hanya dia yang ada disini.” Kesal guru wanita itu.
“Benar, Nek Asri tidak mungkin melakukan itu,” Reina yang berdiri tidak jauh ikut bersuara. Beberapa siswa mulai berdatangan, penasaran dengan apa yang sedang terjadi.
“Mak… Bukan Mak kan? Bukan Emak yang melakukan itu?” Pak Gun bertanya, Nek Asri menggeleng sambil menyeka sisa-sisa air mata.
“Kita tidak bisa bertanya dengan Nek Asri. Dia pikun bagaimana dia ingat kejadian ini jika nama sendiri saja dia lupa.” Guru tadi menggeleng.
Kepala Sekolah menarik nafas,“Berkas apa itu Bu?”
“Laporan data peserta yang akan mengikuti olimpiade tingkat nasional Pak, sore ini batas akhir waktu yang ditentukan. Jika kita tidak mengirim sampai sore nanti mereka menganggap sekolah kita menyerah. Masalahnya data ini harus ditandangi oleh peserta dan para peserta telah berangkat sejak tadi pagi ke kota provinsi untuk mengikuti olimpiade.” Jelas Guru
Kepala Sekolah menatap kertas yang berada di tangan guru itu, memperbaiki kertas itu tidak mungkin. Kertas tersebut telah berwarna hitam bercampur dengan warna kopi yang tumpah diatasnya.“Pak Gun ini kesalahan yang sangat fatal. Saya dengan sangat terpaksa meminta anda untuk tidak membawa Nek Asri ke sekolah lagi. Kita tidak mau kejadian ini terulang lagi.”
Pak Gun terdiam, mencerna kalimat yang keluar dari mulut Kepala Sekolah.“Maksud Bapak saya dipecat?” Tanggap Pak Gun
“Saya tidak memecat anda Pak Gun, saya hanya mengatakan bahwa anda tidak bisa membawa Nek Asri ke sekolah lagi,” Jelas Kepala Sekolah.
“Dengan segala hormat, itu sama saja dengan memecat saya Pak. Saya tidak mungkin meninggalkan ibu saya sendirian di rumah dan saya juga percaya bukan ibu saya yang menumpahkan kopi di kertas itu. Sekali lagi dengan segala hormat saya mengundurkan diri Pak.” Ucap Pak Gun.
Reina dan Vivin yang melihat kejadian itu menahan nafas. Lihatlah di depan sana Pak Gun memapah pelan Nek Asri menuju motor bututnya yang terparkir di halaman sekolah. Pak Gun menaiki motornya lalu membantu memegang Nek Asri menaiki motor.
“Pak Gun, anda bisa kembali besok jika anda berubah pikiran.” Ucap Kepala Sekolah sebelum Pak Gun benar-benar meninggalkan sekolah diiringi berbagai macam tatapan dari siswa yang diajar oleh Pak Gun.
***
“Apa yang terjadi selanjutnya Bu?” Tanya Ivan tak sabaran.
“Apakah Pak Gun kembali keesokan harinya?” Temannya menimpali.
Aku mengangguk.” Beliau kembali ke sekolah keesokan harinya.”
“Berarti Pak Gun berubah pikiran,” Aku menggeleng.
“Lalu apa yang terjadi Bu?” Ivan kembali berseru tak sabaran.
“Iya Bu, apa yang terjadi?” Siswa lain ikut mendesak.
***
Keesokan paginya Pak Gun kembali ke sekolah, dia berjalan dengan tersenyum ramah seperti biasanya.
“Pak Gun, Apa yang Bapak lakukan disini?” Vivin bertanya dengan Pak Gun. Dia dan Reina tidak sengaja bertemu di koridor sekolah.
“Bapak kembali mengajar kami?” Reina berkata antusias.
“Hai Vivin, Halo Rein. Tidak. Bapak tidak kembali untuk mengajar. Bapak kesini mau mengambil beberapa barang yang tertinggal.” Jawab Pak Gun.
“Yahhh,” Vivin dan Reina berseru kecewa.
“Kalau begitu Bapak permisi ya, kalian belajar yang rajin. Hai Aldo kamu tidak apa-apa? Lukamu tidak parah kan?” Pak Gun menyapa Aldo yang kebetulan lewat saat ia ingin melangkah pergi.
“Pagi Pak, saya baik-baik saja Pak.” Aldo berkata sopan. Reina dan Vivin saling tatap, mereka bingung kenapa Aldo tiba-tiba berbicara sopan.
“Bagus sekali. Oh iya Bapak tidak bisa berlama-lama, kalau begitu Bapak permisi anak-anak,” Uar Pak Gun lalu berlalu pergi.
“Aduh,” Aldo berseru karena kerah seragamnya ditarik oleh Reina.
“Apa yang terjadi sehingga kamu berbicara sopan kepada Pak Gun?” Reina menatap Aldo dengan tatapan menyelidik.
“Tidak ada yang terjadi,” Ucap Aldo lalu berniat pergi tapi gerakannya terhenti karena Reina kembali menarik kerah bajunya.
“Bilang dulu apa yang terjadi baru kita lepasin,” Sekarang Vivin membantu Reina.
Aldo menghembuskan nafas.” Kemarin aku dihajar sama preman pasar yang sering meresahkan warga. Pak Gun yang lewat saat ingin pulang berhenti. Pak Gun menolongku dari para preman pasar itu. Preman pasar itu tentu saja tidak mau mengalah saat melihat Pak Gun dan Nek Asri. Mereka juga berniat memukul Pak Gun, tapi ia menghindar sehingga pukulan itu meleset, pukulan itu mengenai Nek Asri. Nek Asri terluka dan tanpa sengaja jatuh, kepalanya membentur trotoar. Melihat kejadian itu para preman tersebut kabur ditambah dengan beberapa warga yang datang. Pak Gun dan warga segera membawa Nek Asri ke rumah sakit, syukurlah tidak ada yang parah tapi Nek Asri tetap dirawat beberapa hari agar tubuhnya benar-benar pulih. Makanya Pak Gun ke sekolah tanpa Nek Asri.” jelas Aldo dengan nada bersalah.
“Nek Asri masuk rumah sakit,” Reina menutup mulutnya karena terkejut. Sebagai jawaban Aldo mengangguk.
“Di rumah sakit mana?”
“Pelita Kasih,”
“Kamu tidak ingin ikut kami menjenguknya?” Tanya Vivin kepada Aldo.
“Tentu saja aku akan menjenguknya. Aku juga harus meminta maaf dan mengucapkan terimakasih. Tapi sebelum itu ada yang harus aku lakukan.”
Reina mengangkat sebelah alisnya bertanya lewat ekspresi sedangkan Vivin memilih menunggu ucapan Aldo selanjutnya.
“Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan. Rapat orang tua hampir selesai.” Aldo berkata sambil berlari pergi.
Vivin dan Reina yang masih penasaran bercampur bingung memutuskan untuk mengejar Aldo.
***
Sementara di tempat lain Kepala Sekolah sedang mengadakan rapat dengan orang tua siswa. Mereka sedang menyimak apa yang disampaikan oleh Kepala Sekolah.
“Pak Gun adalah guru yang sangat berprestasi. Bahkan banyak sekolah yang menawari Pak Gun untuk mengajar disana dengan fasilitas yang baik dan gaji yang tinggi, tapi Pak Gun menolak semua tawaran itu. Dia lebih memilih sekolah ini, karena sekolah ini dekat dengan rumahnya dan juga karena sekolah ini mengizinkan Pak Gun membawa ibunya. Pak Gun tidak mau memasukan ibunya ke panti jompo. Dia ingin mengabdikan diri kepada ibunya. Pak Gun pernah berkata bahwa dia hanya memiliki ibunya dan ibunya hanya milikinya. Sebenarnya Nek Asri adalah orang tua yang baik, dia tidak pernah merepotkan siswa disini. Dia juga tidak pernah mengganggu siswa dan guru disini.” Kepala Sekolah menjeda kalimatnya.
“Tapi kalian semua memberikan protes, menginginkan Pak Gun untuk tidak membawa Nek Asri ke sekolah. Kami tidak bisa memaksa kalian menerima Pak Gun membawa Nek Asri ke sekolah, dengan begitu saya memutuskan sekarang kita mengambil suara, silahkan isi surat pernyataan ini dan buat pernyataan jika anda setuju atau tidak setuju sekolah mengeluarkan Pak Gun, kenapa saya mengatakan mengeluarkan Pak Gun. Karena jika kita melarang Pak Gun membawa ibunya ke sekolah sama saja kita mengeluarkan Pak Gun secara tidak langsung.” Kepala sekolah mengambil keputusan.
“Bukankah kita tidak perlu mengambil suara. Saya mendengar kemarin Nek Asri merusak dokumen penting milik sekolah.” Salah satu orang tua siswa ikut bicara disambut anggukan oleh beberapa orang tua lain.
“Itu tidak benar, bukan Nek Asri yang merusak dokumen tersebut.” Aldo memotong dengan sedikit terengah-engah, dibelakangnya berdiri Reina dan Vivin.
“Maaf jika saya lancang masuk ke ruang rapat. Tapi ada yang ingin saya sampaikan sebelum terlambat. Kemarin saya yang tidak sengaja menumpahkan kopi diatas dokumen sekolah. Saya yang merasa takut langsung pergi begitu saja tanpa tahu Nek Asri juga berada di ruangan itu. Karena merasa ada orang yang melihat, saya bolos dari sekolah. Perbuatan yang sangat tidak pantas di contoh. Saya terus lari, hingga di tengah jalan saya dihadang oleh preman dan mereka memalak saya. Karena tidak ingin memberi uang, para preman itu memukuli saya dan tanpa diduga Pak Gun datang menolong saya. Sekali lagi disini saya ingin meluruskan masalah itu. Bukan Nek Asri yang merusak dokumen tapi saya lah pelakunya.” Aldo menatap seluruh ruangan.
“Dengan pengakuan ini saya rasa tidak ada alasan untuk mengeluarkan Pak Gun. Tentang masalah Nek Asri, dia tidak pernah mengganggu orang lain. Saat dikelas dia hanya diam memperhatikan Pak Gun yang sedang mengajar. Lalu tentang Pak Gun yang membawa Nek Asri ke sekolah, bukankah kalian disini pernah menjadi anak dan sekarang kalian menjadi orang tua. Saya yakin saat kalian di posisi Pak Gun kalian akan melakukan hal yang sama. Merawat orang tua kalian dengan sabar, mencintai mereka dengan tulus, mengabdi kepada orang tua hingga maut datang menjemput dan jika kalian diposisi Nek Asri saya yakin kalian akan sangat senang dan bahagia dicintai dengan tulus oleh anak yang telah dibesarkan, dirawat dengan ikhlas oleh anak yang telah kalian didik dan bangga kepada anak yang telah memberi waktunya untuk menemani kalian melewati hari tua.” Ucap Aldo panjang lebar.
Beberapa orang tua mengangguk bahkan tidak sedikit yang menyeka air mata. Kepala Sekolah tersenyum bangga sedangkan Reina dan Vivin menganga tidak percaya dengan kalimat yang terucap dari mulut Aldo. Siswa nakal yang sering berkata kasar kepada Pak Gun hari ini, menit ini, dan detik ini membela Pak Gun mati-matian. Benarlah kata orang kebaikan adalah kunci segalanya.
“Kembali saya mengatakan tidak ada alasan lagi untuk mengeluarkan Pak Gun dari sekolah ini. Pak Gun adalah guru yang sangat kompeten, saya telah menanyakan kepada para siswa yang diajari oleh Pak Gun. Mereka semua tidak ingin Pak Gun keluar dari sekolah ini. Mereka sangat senang diajari oleh Pak Gun. Sebenarnya ada dua orang yang belum saya tanya. Mereka berdua adalah orang yang sedang berdiri di belakang saya. Tapi saya yakin jawaban mereka sama yaitu tidak ingin Pak Gun berhenti mengajar disini. “ Aldo berucap dengan mantap.
Seseorang berdiri, dia adalah orang yang mengatakan tidak perlu mengambil suara tadi.“Kamu benar nak, jika kami melakukan itu. Kami menjadi orang tua yang sangat jahat.” Dia menatap kepala sekolah.
“Bapak Kepala Sekolah. Saya rasa kita tidak perlu mengambil suara lagi, Pak Gun tidak perlu dikeluarkan dari sekolah ini.”
Orang tua siswa mengangguk, menyetujui keputusan. Kepala Sekolah tersenyum. Aldo bernafas lega sedangkan Vivin melompat kegirangan. Vivin menoleh ke samping mencari Reina yang telah hilang entah kemana. Saat semua sibuk bergembira Reina keluar ruangan, dia berlari mencari Pak Gun. Reina ingin memberitahu Pak Gun secepatnya. Reina berlari di koridor sesekali menabrak dan ditabrak siswa lain tapi ia tidak peduli. Hal yang paling penting adalah menemui Pak Gun.
***
Siang itu Reina menemui Pak Gun di ruangannya. Tapi sayang Pak Gun telah pulang. Tidak putus asa Reina dengan ditemani Vivin dan Aldo pergi ke rumah sakit tempat Nek Asri dirawat.
Disana lah Reina memberikan kabar bahagia tersebut, disana pula Aldo meminta maaf dan mengucapkan terimakasih kepada Pak Gun dan Nek Asri, tidak lupa Aldo juga mengajak Pak Gun, Nek Asri, Vivin, dan Reina berfoto bersama.
Aldo mengatakan foto itu akan menjadi kenangan di masa depan. Untuk Aldo dia mendapat hukuman di skorsing selama tiga hari karena telah lari dari tanggung jawab. Sisanya kembali normal, besok-besok Pak Gun kembali mengajar dengan ditemani Nek Asri.
“Apa yang bisa kalian ambil dari kisah ini?” Tanyaku setelah mengakhiri cerita.
“Kita harus menyayangi orang tua kita dengan tulus dan merawat mereka dengan ikhlas tidak peduli meskipun pekerjaan kita yang menjadi taruhannya,” Jawab salah satu siswa.
“Ada lagi?”
“Kita harus menjadi orang yang bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan dan kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan karena kebaikan adalah kunci dari segalanya,” Jawab Ivan.
“Bagus sekali anak-anak. Karena bel pulang telah berbunyi lima menit yang lalu kalian boleh pulang sekarang.” Ucapku sambil memandang mereka seraya tersenyum.” Ya Ivan, ada pertanyaan?” Aku menatap Ivan yang sedang mengacungkan tangan.
“Apakah kisah yang ibu ceritakan itu nyata?” Aku menatap Ivan lalu mengedarkan pandangan menatap satu persatu anak didikku, lalu tatapanku kembali ke Ivan.
“Terlepas kisah itu nyata atau tidak. Hidup lah dengan pemahaman-pemahaman yang telah tersirat di kisah Pak Gun tadi. Hidup lah dengan menyanyangi orang tua kalian dengan tulus, merawat mereka dengan ikhlas. Belajar bertanggung jawab dan jangan membalas kejahatan dengan kejahatan. Balas kejahatan dengan kebaikan. Karena kebaikan itu ibarat hujan deras diatas tanah yang gersang. Satu hal yang tidak kalah penting adalah tidak selamanya kasih sayang seorang anak sepanjang galah, kasih sayang seorang anak juga bisa sepanjang masa, sama seperti kasih sayang seorang ibu. Kalian mengerti?”
“Mengerti Bu!” Jawab mereka berbarengan.
“Bagus sekali, sekarang silahkan pulang.” Aku kembali mengingatkan kepada mereka bahwa sekarang sudah jam pulang.
Mereka mulai mengemasi peralatan sekolah, menggendong tas lalu satu persatu maju bersalaman kemudian keluar dari kelas. Saat semua telah keluar menyisakan aku di dalam ruangan kelas yang kosong, aku mulai membereskan barang-barang, memasukkan ke dalam tas.
“Permisi Bu Diandra,” Aku menoleh ke sumber suara.
“Ada yang ketinggalan Ivan?” Tanyaku saat melihat Ivan berdiri di depan pintu kelas.
“Tidak ada Bu. Saya hanya ingin memberitahu bahwa di luar ada yang sedang menunggu Ibu.”
“Siapa?”
“Saya kurang tahu Bu. Dia seorang kakek-kakek, ketika saya memintanya langsung menemui Ibu, katanya dia menunggu di luar saja.”
“Terimakasih Ivan,”
“Sama-sama Bu, Kalau begitu saya permisi Bu.” Ivan mengundurkan diri.
Aku mengangguk, mempercepat kegiatanku lalu melangkah keluar kelas. Saat berada di luar aku terpaku melihat seseorang yang sedang berdiri tidak lupa dengan senyum ramah khas miliknya.
“Selamat siang Ibu Reina atau saya harus memanggil Ibu Diandra,”
“Pak Gun,” aku masih terpaku melihat guru sekolah menengah atasku sekarang berdiri di depanku.
“Iya, ini saya Bu Diandara atau Bu Reina. Sekali lagi saya bertanya harus memanggil apa?” Pak Gun tersenyum jahil.
Aku terkekeh.“Bapak bisa memanggil keduanya. Bukankah keduanya nama saya, Reina Diandra?”
Pak Gun ikut terkekeh. “Apa kabar?” Pak Gun kembali bersuara. Aku segera menyalami tangannya.
“Baik Pak, Bapak sendiri bagaimana?”
“Seperti yang kamu lihat,” Ucapnya sambil tersenyum bangga.
“Ada perlu apa datang ke sini Pak?”
“Ingin bernostalgia saja.”
Aku tersenyum, “Kalau begitu boleh saya menemani Bapak bernostalgia?”
“Tentu saja, hitung-hitung kamu juga ikut nostalgia.” Aku terkekeh mendengar ucapan Pak Gun.
“Ayo Rein kita mengenang kisah sepuluh tahun lalu,” Ajak Pak Gun sambil berjalan menyelusuri koridor sekolah yang telah berkembang pesat sepuluh tahun terakhir. Aku segera mengejar Pak Gun yang telah berjalan beberapa meter di depanku.
Kami berjalan menyelusuri lorong sekolah. Mengingat semua kenangan, bercerita banyak hal. Mentari yang bersinar terik diatas sana, angin yang berhembus sepoi-sepoi, ranting pohon yang melamba-lambai menemani dua orang yang sedang bernostalgia dengan masa lalu. Terimakasih Pak Gun telah memberikan inspirasi kepada orang-orang sekitarmu.
Ditulis Oleh: cherie.aurora__official