Cerpen – Hidupku Milikku by Inong Islamiyati Abdullah

Cerpen - Hidupku Milikku by InongIslamiyati Abdullah

Aku kembali menatap langit di malam yang dingin ini, sendiri. Kurebahkan tubuhku dan berusaha memejamkan mata. Perlahan air mata keluar dari pelipisku. Dan hatiku meringis. Kenapa hidup ini seolah tak adil.

Orang yang kaya semakin kaya. Sementara orang yang miskin semakin miskin. Hidup ini bukanlah drama. Kalau kau pernah menonton film tentang pembantu yang menikahi majikannya, atau tentang gadis miskin yang menikahi direktur perusahaan.

Percayalah, di dunia ini hal tersebut nyaris mustahil. Kalau pun ada, bagiku kemungkinannya hanya 10%. Orang kaya tentu akan menikahi orang kaya agar kekayaan mereka semakin banyak, dan orang miskin akan menikah dengan orang miskin. Sehinggakehidupan mereka tidak akan berubah. Bahkan, menjadi lebih parah.

Disinilah aku tinggal. Hidup berjibaku dengan tumpukan sampah dan mengandalkan otot tubuhku guna mencari sesuap nasi untuk menyambung hidup. Namun, aku berbeda dengan anak-anak lainnya di desa pemulung ini.

Setiap aku menemukan buku bekas, koran ataupun bacaan yang menurutku menarik, aku tidak akan membuangnya. Aku membaca dan menyimpannya di tempat rahasiaku. Saat aku merasa terpuruk, sedih ataupun kecewa, akan kubuka lembaran-lembaran itu. Kubaca dengan saksama, dan hatiku ikut merasa tenang.

“Dito kamu ngapain sih? Udah berhenti bacanya. Mending ayo kita lanjut memulung lagi,” teriak Wandi, sahabatku.

“Sabar wan, nanggung dikit lagi,” ucapku sambil tetap fokus membaca.

“Kau jangan bermimpi terlalu tinggi Dit. Kamu pikir hanya dengan membaca kau bisa merubah nasibmu. Terimalah takdir. Kita ini orang miskin dan akan selamanya begitu,” ujar Wandi, Sahabatku.

Seharusnya, kini dia sudah duduk di kelas 2 SMA. Namun apa daya. Kondisi ekonomi membuat dia harus rela hanya bisa mencicipi pendidikan hingga kelas 6 SD. Bahkan kami berdua bisa dikatakan cukup beruntung. Di desa pemulung ini, bisa dihitung berapa banyak anak yang pernah bersekolah dan bisa membaca serta menulis.Seperti aku dan Wandi.

Cerpen – Hidupku Milikku by InongIslamiyati Abdullah

Aku menutup buku dan mulai turun ke bawah menemui Wandi. Seperti biasa, Aku dan Wandimencari sampah yang masih bisa di daur ulang agar dapat mengumpulkan beberapa rupiah.Uang kami tergantung banyaknya sampah yang bisa kami kumpulkan. Kadang banyak, namun tak jarang hanya sedikit.

“Eh nih Dito. Kesukaanmu,” ujar Wandi sembari melemparkan tumpukan kertas bekas ke arahku

“Makasih Wandi,” sahutku dengan senyum semringah.

Bagi Wandi,Aku adalah seorang pemimpi. Kebiasaanku yang suka membaca dan berkhayal untuk keluar dari lingkaran setan kemiskinan ini adalah sesuatu yang mustahil, pikirnya. Di keluarga Wandi saja misalnya.

Dia menghitung sudah sekitar tiga generasi keluarganya tetap memiliki masalah dengan yang namanya ekonomi. Kebiasaanku ini juga membuat Wandi sering diejek oleh teman-teman kami yang lain. Wandi dianggap aneh dan bodoh karena mau berteman dengan kutu buku seperti aku.

Setiap kali aku selesai membaca, aku akan menuangkan kesan di secarik kertas. Dengan bermodalkan sebuah pulpen murahan, kesan tersebut kutulis dan kukeluarkan isi kepalaku di atasnya.

Tulisan tersebut sudah sangat banyak dan memenuhi ranjangku. Tak jarang, banyak yang mencoba mencuri kertas-kertas milikku untuk sekadar dijual. Tetapi aku pasti menolaknya dengan tegas.

“Dito, ngapain sih kamu susah payah menulis. Lebih baik kalau kertas-kertas bekas itu dijual saja. Kan lumayan untuk membeli makanan kita hari ini,” ujar Wandi dengan sedikit geram.

“Wan, ini bukan kertas bekas biasa. Ini adalah hasil pemikiranku. Kerja kerasku setelah membaca tulisan yang juga aku dapatkan dengan susah payah. Mana mungkin aku mau menjualnya,” tegasku sambil merapikan tumpukan kertas yang berserakan.

“Huh dasar pemimpi buta,” Seru Wandi sambil berjalan cepat meninggalkan aku yang masih berkutat dengan kertas bekasku.

***

Sepuluh tahun telah berlalu. Wandi tidak pernah lagi melihat sosok Dito. Anak kecil yang dulu berusia sembilan tahun tersebut telah pergi meninggalkan kampung pemulung yang telah dia tinggali selama bertahun-tahun. Tidak ada yang tahu ke mana dia. Apakah dia masih hidup atau tidak.

Bahkan, namanya sudah terlupakan dari kampung tersebut. Hanya Wandi, yang masih ingat padanya. Itu juga karena Wandi menyimpan selembar tulisan Dito, yang terselip di dalam saku celananya saat dia marah pada Dito di sore hari terakhir mereka bersua.

“Alhamdulillah hari ini aku dapat lumayan banyak,” ucap Wandi sambil menyeka peluh di dahinya setelah memulung seharian.

Langit telah berubah warna menjadi kemerahan. Sebuah tanda bagi Wandi untuk pulang. Pada saat perjalanan pulangnya dia melihat seorang remaja yang tengah menunggu seseorang. Seorang wanita cantik datang kearahnya dan tersenyum lembut.

Ah pasangan yang serasi. Wandi yakin, dia pasti orang yang sangat kaya raya. Terlihat dari pakaian yang dikenakan olehnya. Juga mobil hitamnya yang sangat mewah. Yang membuatnya agak sedikit terkejut, saat lelaki tersebut menarik baju lusuhnya. Memaksanya untuk berhenti berjalan.

“Kamu Wandi kan?” tanya lelaki tersebut begitu Wandi lewat dari arah belakang mereka.

“Hah?” ucap Wandi dengan nada Heran

“Ini aku, Dito. Kamu masih ingat kan?”

“Dito! Dito yang itu?”

“Iya, Dito yang tinggal bersamamu di kampung pemulung. Apa kabar teman,” ucap Dito santai.

Wandi terkejut dan seolah tak percaya. Sahabatnya yang dahulu bertubuh kurus, hitam dan kumal tersebut kini telah berubah secara drastis. Tubuh Dito kini tinggi, kulitnya yang walaupun tidak putih namun berwarna kuning langsat yang sehat. Penampilan keren Dito kini sangat bertolak belakang dengan Wandi. Dengan rasa malu, Wandi berusaha menghindari Dito dan kabur dari sana secepat mungkin.

“Tunggu Wan?” cegah Dito

“Kamu mau apa datang kemari? Mau mengejekku?” ucap Wandi tanpa memandang wajah Dito.

“Wandi aku hanya ingin bertemu denganmu,” tegur Dito.

“Untuk apa?” tanya Wandi sambil menunduk.

“Apa kamu masih menyimpan kertasku waktu itu? Hari ini aku ingin mengambilnya,” ucap Dito.

Dengan sedikit terpaksa, Wandi mengajak Dito pulang bersamanya. Kemudian Wandi mengambil kertas Dito yang ditempelnya di dinding kamar. Masih dengan rasa penasaran melihat penampilan sahabatnya kini, Wandi memberanikan diri untuk bertanya.

“Ke mana saja kamu selama ini? Dan untuk apa kamu meminta lembaran itu kembali,” tanya Wandi dengan sedikit terbata-bata.

“Aku pergi untuk mewujudkan mimpiku,” sahut Dito.

“Dan untuk apa kau meminta lembaran itu lagi?” tanya Wandi lagi

“Apa kau sudah membacanya?” tanya Dito

“Tidak,” Wandi memalingkan wajahnya.

Dengan nada lembut, Dito membaca tulisan di kertas tersebut dengan nada keras agar sahabatnya mendengar.

“Aku memang seorang pemimpi. Ingatlah teman, sebuah impian besar berawal dari sebuah mimpi yang juga besar. Biar saja orang menganggapku gila. Ya, aku memang gila menurut mereka di masa lalu. Namun kini mereka tahu. Alasanku dulu menjauh. Karena aku, tidak suka diganggu.”

Dito menceritakan semuanya. Sejak terakhir mereka bertemu, dia tahu. Sahabatnya tak akan mau mengerti tentang mimpinya. Padahal dalam hati yang terdalam, Dito sangat ingin mewujudkan mimpinya bersama Wandi.

Secara diam-diam, Dito mengarang sebuah novel. Mimpi terbesarnya novel tersebut bisa difilmkan dan menginspirasi banyak orang, kini telah terwujud. Dia ingin Wandi yang menjadi pemain utama dalam filmnya.Karena Dito tahu, Wandi sangat berbakat dalam berakting.

Dito pergi. Jauh dan lama tak kembali, hanya untuk menjadikan mimpinya nyata. Dia akhirnya mengetahui satu hal. Bahwa, ketika kamu serius meraih mimpi,kamu akan kehilangan teman-temanmu.

Bukan karena tidak berteman lagi. Kamu hanya perlu waktu untuk sendiri. Fokus dan sibuk membenahi diri. Kamulah pemeran utama dalam kisah hidupmu sendiri. Percayalah dan berdoa. Maka hidupmu akan dipenuhi dengan keberkahan dan kebahagiaan.

Ditulis oleh: @inong_islamiyati

Tinggalkan Komentar