Cerpen – Gulita Membawa Suka by Prestian Farley

Cerpen - Gulita Membawa Suka by Prestian Farley

Dua orang atau lebih yang mengikrarkan untuk selalu bersama dalam suka dan duka, mau membersamai saat bahagia dan terluka, dan tak pernah mengeluh. Sossok yang mau menerima segala kekurangan diri dan tak melihat pada kelebihan yang dimiliki. Seorang yang siap mengulurkan tangan untuk membantu dan menyiapkan bahu untuk bersandar. Seorang teman yang tak pernah mengungkit apa yang telah diberikan maupun yang tak bisa diberikan. Tak ada batasan dalam menyuarakan isi hati terdalam. Itulah persahabatan.

Salah satu keindahan persahabatan sejati adalah kemampuan untuk dipahami dan memahami satu sama lain.” (Lucius Annaeus Seneca)

Persahaban mampu membuang ego dan gengsi hingga mengubah jadi empati dan peduli. Tak semua hal mampu diungkapkan dengan kata-kata. Namun pelukan sahabat mampu menerjemahkan bahasa yang sulit diungkapkan sekalipun. Kasih sayang yang teruntai dari seorang sahabat tulus mampu merobohkan dinding pemisah antara mereka. Dinding yang terbuat dari status sosial, harta kekayaan, derajat, rupawan, martabat, serta batasan lain yang seringnya membuat hubungan manusia berjarak. Namun bersama sahabat, semuanya melebur, menyatu, tak ada artinya hanya kebahagiaan saat bersama.

Cerpen – Gulita Membawa Suka by Prestian Farley

Memang, memiliki sahabat sejati bukan perkara mudah untuk ditemukan. Terlebih banyak yang melihat dalam bentuk keuntungan semata. Memanfaatkan kelebihan untuk meraup manfaat bagi seorang diri. Namun saat sahabat sejati itu telah ditemukan, perasaan bahagia haru akan menyelimuti hari-hari yang tak selalu cerah. Kadang awan gelap menyelimuti perjalanan hidup, tetapi sahabat hadir membawa secerca kegembiraan tersendiri.

Kisahku menemukan sahabat bermula saat aku memasuki sekolah SMK swasta di Jakarta. Semua murid baru kelas IX SMK di sebuah sekolah swasta di Jakarta diharuskan mengikuti MOS atau masa orientasi siswa. Kegiatan MOS ini diadakan di luar sekolah yakni puncak gunung bundar, kota Bogor. Kegiatan yang akan dilaksanakan selama tiga hari ini bertujuan untuk menempa mental para murid agar mandiri, bekerja kelompok, gotong royong, dan mengenal alam. Tepatnya di hari Sabtu kami semua berangkat dari sekolah menggunakan mobil angkatan darat yang tingginya mencapai tiga meter dengan roda depan dan belakang  hampir setinggi kepalaku. Kami berangkat pagi hari pukul 07.00 WIB dan tiba di sana sekitar pukul 13.00 WIB. Pembina MOS langsung mengintruksikan para anggota untuk mendirikan tenda di area yang telah disediakan.

Kami dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 6 orang tiap kelompoknya. Kelompokku saat itu beranggotakan Aulia, Endah, Tri, Lia, Dwi, dan aku sendiri. Siang menjelang sore kami baru selesai membuat tenda. Kami membagi tugas dari mengambil air, membuat perapian untuk memasak air, sebagian lagi mempersiapkan peralatan makan.

Aku    : “Ehh, bukannya kita sekelas ya?” sambil menunjuk ke arah Aulia dan Endah.

Aulia  : “Iya ya, tapi kita ngga pernah ngobrol ya? Pantesan kita bisa sekelompok karena guru nentuin berdasarkan kelas yang sama.”

Endah : “ Wuahh seru ya kayaknya kemah di sini, pemandangannya bagus banget. Banyak pohon pinus di mana-mana. Nanti gue mau ambil bawa pulang ahh buat oleh-oleh.”

Aku    : “Tapi hati-hati lho, mitosnya kalo bawa pulang sesuatu dari tempat yang angker bisa- bisa ada yang ngikutin. Hihhiii.” Sambil menakuti.

Malam yang gelap gulita pun tiba, semua murid berkumpul di tengah lapangan untuk menyalakan api unggun. Belum sempat api dinyalakan, perlahan langit berubah mendung. Hujan rintik pada awalnya sekejap berubah menjadi lebat hingga membuat barisan para murid berhamburan.

Para guru pergi ke tempat yang aman, sedang sebagian murid tampak lingkung karena tenda yang telah didirikan perlahan mulai roboh. Kayu yang menancap ke dalam tanah terangkat oleh derasnya air hujan. Tenda yang sudah dibangun berjam-jam harus rata dengan tanah bersama barang-barang milik kami. Rekan satu kelompokku entah menyelamatkan diri kemana, hanya tinggal aku, Endah dan Aulia saja yang masih menggigil kebingungan dan tak tahu harus pergi ke mana. Kami langsung mencari tas yang sudah basah tertimpa tenda dan terguyur air hujan. Dalam kegelapan dan tanpa senter penerangan, kami bertiga berpegangan mencari tempat untuk berteduh. Sulitnya mencari tempat bernaung lantaran sejauh mata memandang hanyalah hamparan pohon rindang yang menjulang.

Ketakutan, gemetaran, dan rasa lapar menyatu dalam hingar bingar malam. Akhirnya kami melihat mobil-mobil yang kami gunakan untuk mengangkut para murid terparkir di ujung lapangan. Kami lari sekuat tenaga dengan sekujur tubuh yang mulai kaku kedinginan. Tangan kami tetap saling berpegangan satu sama lain menerobos derasnya hujan dan pekatnya malam. Setibanya di mobil, kami melihat sudah banyak anak-anak yang tidur di atasnya. Kondisi di dalamnya amat penuh sesak dengan bercampur antara laki-laki dan perempuan. Aku hendak naik ke atas tetapi salah satu temanku memilih mencari mobil lain untuk ditempati. Kami pun bergegas mencari mobil lain yang lebih sepi untuk beristirahat. Setelah pencarian ke empat mobil dan semuanya terisi penuh, akhirnya kami menemukan mobil dengan sedikit anak di dalamnya. Mobil yang terparkir paling belakang, jauh dari keramaian. Alhamdulillah, akhirnya kami menemukan tempat beristirahat malam ini. Setidaknya sampai tenda kami diperbaiki besok pagi. Kami pun langsung tertidur lelap dengan tangan masih berpegangan.

Acara ini berlangsung selama tiga hari dua malam, yang artinya kami harus menghabiskan satu malam lagi di tempat ini. Pada malam ke dua, Aulia dijemput oleh orang tuanya untuk pulang ke rumah.

Aulia  : “Tian, Endah, maafin Aul ya, Aul udah dijemput sama nyokap dan bokap. Gue disuruh balik malam ini juga. Kalian jaga diri ya, hati-hati ya!” Kata Aul dengan raut khawatir akan nasib kami berdua.

Aku dan Endah : “Iya Aul, ngga apa-apa. Lo juga hati-hati yaa.”

Orang tuanya amat khawatir hingga memutuskan menjemput Aulia menggunakan taksi sampai rumah. Sepanjang jalan ia memikirkan nasib kami berdua. Walau kami baru saja kenal di perkemahan ini, namun kami merasakan kedekatan satu sama lain. Kami merasa saling memiliki dan hubungan persahabatan kami bermula dari sini rupanya. Malam ke dua tak kalah menyeramkan, di mana banyak rekan kami yang mengalami kesurupan setelah acara bersama guru.

Murid  : “Aaargghh !” teriak seorang murid sambil menyeringai memecahkan malam gulita.

Guru    : “Ketua kelompok, tolong angkat siswa itu dan bawa ke sana!” Kata seorang guru pada ketua kelompok sambil menunjuk arah mushola tak jauh dari lokasi ia berdiri.

Belum selesai murid itu dibawa ke dalam mushola tiba tiba terdengar auara dari arah belakang.

“Bruugg!”

Murid   : “Aaaaaaaggh pergi kamu !” sambil menunjuk arah pohon besar.

Ketua kelompok : “Hei tolong-tolong yang lain bantu angkat pindahin dulu.”

Tak banyak yang mau membantu mengangkat murid perempuan itu lantaran takut. Aku dan Endah pun hanya diam terpaku melihat banyaknya orang lalu lalang dan teriakan di sana-sini.

Hujan kembali turun pada malam ke dua sama derasnya dengan malam kemarin. Bedanya kali ini aku dan Endah menginap di kantor pengurus tempat wisata ini. Lokasinya amat jauh dari perkemahan. Guru menyarankan untuk kembali pulang malam ini karena mengkhawatirkan kondisi sebagian besar murid-murid yang tak sadarkan diri. Namun mempertimbangkan hujan yang lebat pasti membuat jalan raya licin untuk dilewati. Terlebih pada malam hari sepanjang jalan ke puncak minim penerangan. Akhirnya diputuskan bahwa semuanya akan menginap malam ini dan baru pulang pada keesokan harinya.

Aku sedikit lega karena tak jadi pulang, sekaligus ketakutan karena kini kami hanya berdua. Di tengah kondisi yang tidak kondusif dan teriakan mencekam di sana sini. Aku  dan Endah harus berjalan sekitar 2 km jauhnya hingga menemukan tempat yang ramai pengunjung. Sebuah kantor pengelola wisata setidaknya lebih baik untuk bersinggah daripada hari kemarin karena banyak lampu yang menerangi ruangan dan jalan. Namun karena kantor tersebut harus tutup, maka kami kembali ke arah perkemahan dan singgah di mushola. Banyak anak perempuan yang bermalam di sana. Setiap beberapa jam terdengar teriakan dari salah seorang murid yang membuat suasana malam makin mencekam. Kami tak dapat tidur nyenyak karena banyaknya murid yang mengalami kejadian di luar nalar. Sambil memaksakan memejamkan mata, akhirnya kami bisa tidur sesaat sebelum Subuh tiba.

Cahaya mentari mulai menyilaukan mata. Sudah pukul 07.00 WIB rupanya. Semua murid bergegas mandi dan membersihkan diri untuk bersiap pulang ke rumah.

Endah : “Akhirnya kita pulang ya Tian.”

Tian    : “Iya Ndah, gue udah ngga betah nginap disini biar semalam lagi.”

Endah : “Padahal kalo pagi pemandangannya bagus banget ya! Banyak pohon pinus, bisa lihat  pemandangan di bawah sana. Udaranya juga sejuk. Tapi kalo pas malem haduuh, engga banget deh.”

Tian   : “Makasih yaa Endah udah mau sama-sama sampe akhir. Gue ngga tau gimana jadinya kalo ngga ada lo. Aul udah balik, gue sendiri ngga bisa bayangin.”

Endah : “Iya Tian, gue juga lah ngga akan betah sendirian.”

Kami pun saling melingkarkan tangan di bahu tanda persahabatan yang mulai erat. Sepanjang perjalanan kami bercerita banyak hal satu sama lain. Mulai hobi, orang tua, kenakalan saat di bangku SD bahkan hal memalukan sekalipun. Tak ada rasa canggung sama sekali. Kami merasa amat bersyukur dipertemukan dengan seorang teman yang amat memahami. Tanpa memandang status sosial,kecantikan atau tingkat kecerdasan yang mana menjadi patokan penting saat ingin bergabung dalam sebuah “geng” pada masa itu.

Pernah suatu hari aku lupa membawa topi sebagai syarat wajib mengikuti upacara, akhirnya kedua temanku ikut menemaniku di hukum di depan lapangan. Tiada rasa sedih hanya senyum dan kami tertawa geli membayangkan betapa ini pengalaman yang lucu. Pernah juga satu waktu aku ketahuan makan permen saat jam belajar, guru langsung menghukumku untuk berdiri di depan kelas, karena tak mau melihatku di hukum sendiri, akhirnya kedua temanku ikut menemani berdiri. Sepanjang jam pelajaran berlangsung kami menahan tawa karena tingkah “aneh” kami sendiri. Setelah jam pelajaran usai, kami tertawa terbahak-bahak sepuasnya sambil membayangkan ini akan menjadi cerita di masa mendatang.

Kami menemukan sosok sahabat yang mau menemani kala suka dan duka. Mau berjuang bersama, di hukum bersama, tertawa bersama dan lelah bersama. Semenjak saat itu aku, Aulia, dan Endah selalu menghabiskan waktu bersama-sama. Mulai berangkat ke sekolah bersama hingga menghabiskan akhir pekan bersama-sama. Sesekali kami menginap di rumah Aulia, kadang di rumah Endah. Orang tua Aulia dan Endah sudah ku anggap seperti orang tuaku sendiri yang amat mengayomi kami bertiga. Ahh bersyukurnya memiliki sahabat terbaik seperti kalian.

Setelah lulus kami memilih jurusan kuliah yang berbeda dan kampus yang berbeda pula. Namun kami tetap menyempatkan waktu untuk bertemu di sela kesibukan masing-masing. Dapat dibayangkan alangkah bahagia rasanya saat kami bisa kembali mencurahkan semua isi hati dan kisah yang belum sempat diceritakan pada hari itu. Sepanjang waktu pertemuan kami penuh kenangan, kegembiraan, layak untuk dikenang, begitu berkualitas.

Biodata penulis

Saya Prestian Farley, biasa disapa Tian. Sehari-hari mengerjakan tugas mulia sebagai seorang ibu dari dua putra yang masih balita. Saya juga mengelola sebuah taman baca “Lentera Aksara” sebagai bentuk literasi lingkungan berkelanjutan. Saya menyukai mengajar dan berbagi ilmu pada siapa pun. Di sela kesibukan sebagai ibu rumah tangga, saya memiliki hobbi menulis sebagai salah satu me time dan menjaga mood. Hubungi saya melalui Whatsapp(087872732420) atau IG: https://www.instagram.com/tianfarley untuk saljng bertukar pikiran.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *