Tangisan adikku menyadarkanku dari lamunan, menuntunku untuk segera mencari pertolongan dari warga lain. Kuedarkan pandangan dan melihat seorang pemuda yang sepertinya sedang berbenah di samping perahunya. Kudatangi ia sambil sesekali menenangkan adik yang berada dalam gendonganku.
“Permisi, Pak. Maukah Anda berbaik hati mengantarkan adikku berobat? Sudah dua hari demamnya tak kunjung menurun,” kataku.
Pemuda itu menatap dari ujung kaki hingga kepala, kemudian pandangannya terfokus pada adikku yang masih menangis dan meronta. “Berapa yang kamu punya?”
Sejenak merasa bingung dengan pertanyaannya, aku pun merogoh saku dan mendapati uang kumal bernilai lima ribu rupiah. Kuserahkan uang itu pada pemuda tadi yang kini malah mengusirku. “Pergilah! Aku bersedia mengantarkanmu dengan tunai lima puluh ribu. Maaf, tapi aku juga perlu uang untuk keluargaku.”
Aku memohon belas kasihan hingga air mataku tumpah ruah. Pikiranku kembali terisi dengan berbagai kemungkinan buruk tentang adikku. Namun, percuma saja, pemuda itu mengacuhkanku dan pergi ke perahunya. Aku meraung, tak peduli dengan pandangan beberapa orang yang melintas dan dengan bodohnya hanya melihat tanpa mencoba menawarkan bantuan atau bahkan menenangkanku.
Bukannya berharap, tapi lihatlah adikku. Tubuhnya semakin panas dan melemas—tak adakah yang peduli?!
Dengan amarah yang memuncak, kekecewaan, dan keputusasaan, kubawa adikku pergi dari tepi pantai. Hanya satu hal yang terlintas dalam otakku, bahwa aku harus pergi menjual ikan milik para nelayan ke pasar ikan beberapa ratus meter dari rumah. Seharusnya aku bekerja dua hari sekali setiap sore harinya, tapi tiga hari kemarin aku disibukkan dengan adikku yang demam dan kupikir akan sangat fatal membawanya ke pasar atau meninggalkannya sendirian di rumah.
Hari sudah mulai gelap saat Laura kembali dari pasar ikan. Sore tadi ia bekerja dengan sangat keras mengangkat sekeranjang ikan dari para nelayan, menjual sebagian pada beberapa pedagang ikan dan sebagian lagi akan ia jual sendiri di pasar. Cukup kerepotan memang, terlebih dengan seorang adik yang setia berada dalam gendongannya.
Upah yang didapat membuatnya merasa senang, karena dengan uang itu ia dapat membawa adiknya berobat. Keringat bercucuran di pelipis, tubuhnya pun sudah terlalu penat, bahkan untuk berjalan menyiapkan makanan di dapur. Dengan sisa tenaga, dipaksa kakinya untuk mengambil ubi agar ia bisa menyuapi adiknya yang masih tertidur di dalam kamar.
Laura mengambil sebuah piring, meletakkan dua buah ubi yang baru saja diangkatnya dari panci. Uap panas mengepul di udara, membuat perutnya kembali bersuara setelah hidungnya mencium aroma ubi itu. Senyum Laura merekah seiring langkahnya membawanya ke kamar.
“Bangun, Dek. Kakak sudah menyiapkan ubi hangat yang enak sekali.” Digoyangkan perlahan tubuh adiknya itu agar terbangun. Tak mendapat respons, Laura kembali berkata, “Bangun, Dek. Ayo kita makan, agar besok dapat segera pergi menemui dokter.”
Air matanya tak dapat lagi ditahan saat Laura menyentuh kulit adiknya yang sedingin es.
Menelisik wajah yang pucat pasi tanpa ada embusan napas dari hidung mungilnya itu. Adiknya tak bergerak, ia sudah tiada. Laura menangis sejadi-jadinya. Menarik kasar rambutnya sebab frustrasi akan kenyataan yang menampar keras dirinya. Sejenak ia terdiam, pikirannya memutar memori saat ia harus berjuang menghidupi adiknya.
Ia pikir dirinya akan gila setelah ini. Nyatanya, sebuah pemikiran yang melintas membuatnya tersadar, bahwa kini adiknya telah bahagia, hidup damai di alam sana tanpa harus menderita dan merasa sakit lagi. Ia harus ikhlas dan percaya.
Keluarga satu-satunya yang ia punya telah meninggal, tapi ia tak boleh menyerah. Kini ia hidup sendirian, tapi ia tak boleh lemah. Ia harus bisa bangkit, karena masih banyak yang harus ia perjuangkan. Akan ia buktikan, bahwa perjuangan dan pengorbanannya selama ini tak sia-sia. Akan ia buat adiknya bangga terhadap dirinya. Dimulai dari dirinya sendiri, ia harus yakin!
Penulis: Diajeng Candra Sahputri